Tribun Wiki
TRIBUNWIKI: Anak Dian Sastro Idap Autisme, Simak Ulasannya, Gejala, dan Diagnosis
Alhasil, perjuangan Dian Sastro pun terbayar lunas dengan kesembuhan total putranya kini.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Putra pertama Dian Sastro mengidap autisme.
Ia mengungkapkan perjuangan untuk menyembuhkan anaknya tersebut.
Meski, sempat tak mendapatkan dukungan dari sang suami untuk menjalani terapi.
Namun, anak pertama Dian Sastro yang bernama Naryama Sastraguna Sutowo tetap berjuang untuk sembut.
Alhasil, perjuangan Dian Sastro pun terbayar lunas dengan kesembuhan total putranya kini.
Dilansir dari Tribun Mataram, artis peran Dian Sastrowardoyo mengatakan bahwa suaminya, Maulana Indraguna Sutowo, sempat menyangkal bahwa putra sulung mereka, Shailendra Naryama Sastraguna Sutowo, didiagnosis mengidap autisme.
Meski tak mendapat dukungan dari suami, Dian tetap memberikan terapi untuk putranya tersebut.
"Saya tetap kekeh buat terapi-terapi itu karena terus terang suami saya enggak support," ujar Dian saat ditemui di Special Kids Expo (SPEKIX) 2019 yang digelar di Jakarta Convention Centre, Komplek Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Jumat (23/8/2019).
"Dia merasa anak kami enggak masalah dan saya kekeh saja sama insting ibu-ibu, ya kita kasih aja terapi itu.
Tahun-tahun awal, ciri-ciri autisme di anak saya kental banget," tambahnya.
Karena keyakinan Dian untuk terus memberikan terapi bagi putranya, anak sulungnya itu kini akhirnya sudah bisa bersosialisasi dengan normal.
"Dengan semua pengorbanannya, tapi alhamdulillah sekarang semuanya pay off (terbayar)," kata Dian.
"Jadi semua ternyata ada hasilnya. Anak saya sekarang sudah tidak begitu dan alhamdulillah normal 100 persen layaknya berperilaku seperti anak normal lain," ujarnya lagi.
Untuk itu, Dian menghimbau pada semua ibu agar percaya pada instingnya dan memeriksakan anak mereka pada ahli bila memiliki tanda-tanda autisme.
"Dan itu saya lumayan sad story karena enggak semua anak ceritanya sesukses saya.
Ada juga anak yang early intervension dan hasilnya enggak secepat saya. Saya tuh dari umur 8 bulan sekarang umur 6 tahun lepas terapi semua sama sekali," ujar Dian.
"Dan itukan berarti cuma lima tahun saya gencar melakukan intervensi.
Tapi mungkin anak lain ya beda-beda gitu. Ada yang mungkin enggak secepat itu ada yang lebih cepat," imbuhnya.
Apa itu Autisme?
Dilansir dari wikipedia, Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan.
Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal.
Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara.
Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari gangguan spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD).
Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.
Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal Amerika Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.
Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai "autisme".
Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan terbelakang bukan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan.
Hasil penelitian yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak perkembangan penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat terhadap anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964).
Namun model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif.
Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987).
Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
- Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail.
Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
- Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua.
Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat.
Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
- Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured.
Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris.
Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
- Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya.
Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA.
Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak.
Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum.
Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri.
Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan.
Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua.
Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri.
Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.
Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif.
Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan.
Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun:
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti.
Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesis mengenai penyebab autisme.
Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.
Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.
Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.
Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak.
Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.
Penanganan autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, tetapi persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini.
Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya.
Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- - Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
- - Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- - TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- - Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- - Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- - Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- - Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- - Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Sumber berita: https://mataram.tribunnews.com/2019/08/24/curhat-dian-sastro-berjuang-demi-kesembuhan-anak-yang-autis-suami-tak-support-karena-tak-percaya?page=all
Foto: Kolase Tribun Manado/ Ilustrasi