OPINI
OPINI - Sistem Zonasi dan Pendidikan Inklusif
Penulis adalah Dosen Pemerintahan Fisip Unismuh Makassar - Anggota Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan
Oleh:
Amir Muhiddin
Dosen Pemerintahan Fisip Unismuh Makassar - Anggota Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi sudah dimulai Senin (24/6/2019) lalu. Harap-harap cemas pun menghantui sebagian orangtua murid: apakah anaknya diterima atau tidak.
Terutama di sekolah favorit yang selama ini diidamkan. Masalahnya sistem zonasi membatasi keinginan masuk di sekolah idaman.
Dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Ini artinya kalau sekolah idaman tidak berada pada zona tersebut pastilah akan ditolak.
Selain itu kalau kuota 90% (sudah direvisi menjadi 85%) sudah terpenuhi, maka meskipun masuk pada zona terdekat, impian untuk masuk sekolah negeri pun akan hilang.
Inilah salah satu kerisauan masyarakat sehingga mereka galau dan menimbulkan riak-riak dalam bentuk unjuk rasa menolak PPDB dalam sistem zonasi.
Baca: IKA SMP 2 Sajoanging Apresiasi Siswa Berprestasi
Terlepas dari beberapa kendala teknis di lapangan, sistem zonasi sebenarnya relevan dengan keinginan pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan “pendidikan untuk semua”.
Sistem ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk menciptakan pendidikan yang inklusif, bukan pendidikan ekslusif yang hanya diperuntukkan bagi orang atau kelompok tertentu yang selama puluhan tahun dilaksanakan.
Sebagaimana diketahui bahwa selama inipenerimaan siswa baru berdasar pada sistem nilai tertinggi atau Grouping Student by Ability.
Sistem ini dinilai cenderung ekslusif karena hanya melihat pada satu dimensi yaitu nilai yang tinggi yang justru lebih banyak berasal dari keluarga the have dan cenderung mengabaikan mereka yang tergolong the have not.
Akibatnya ditemukan fakta bahwa keluarga-keluarga berharta dan bertahta menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik dan favorit.
Sebaliknya keluarga keluarga tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah tidak berkualitas, mereka masuk dalam lingkaran setan secara missing link masuk dalam jebakan batman dan terperangkap di sekolah yang tidak bermutu, berteman dengan murid yang nilai-nilainya rendah dan segala-galanya rendah.
Baca: Polres Toraja Gelar Anjangsana di Panti Asuhan Kristen Tangmentoe
Idiologis dan Konstitusional
Sistem zonasi bukan saja ideologis, akan tetapi didukung dengan konstitusi Undang-undang Dasar 1945.
Ideologis karena zonasi berorientasi pada pendidikan inklusif, pendidikan untuk semua dan berdasar pada sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu zonasi juga didukung oleh beberapa pasal di dalam UUD 1945.
Salah satunya adalah pasal Pasal 31 (amandement UUD 1945) yang menyebut bahwa (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Isi pasal dan ayat-ayat ini mengandung arti bahwa hak bagi seluruh rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Bahkan pemerintah dan negara wajib hadir untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, bukan untuk kelompok tertentu.
Pelaksanaa sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) perlu didukung sebab sistem ini mengandung banyak nilai-nilai. Di antaranya nilai-nilai solidaritas atau setiakawan.
Menempatkan murid di suatu sekolah dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan kemampuan intelegensi yang berbeda, bisa menciptakan masyarakat baru ke depan.
Baca: HUT IBI Sulbar, Wabup Mamasa Promosikan Pariwisata
Masyarakat yang saling mengerti dan memahami. Masyarakat yang peduli dan senang berbagi dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Tentu ini berbeda ketika pendidikan menjadi bagian dari eklusifisme di mana murid disekat-sekat oleh latar belakang ekonomi, sosial dan kemampuan intelegensi.
Kalau ini terjadi, maka nampaklah masyarakat dengan kelas tertentu “the have dan the have not”.
Itu artinya PPDB yang selama puluhan tahun dilaksanakan selama ini menciptakan luaran kapitalisme borjuis dan kaum miskin dengan gelar kaum proletariat.
Kesenjangan pembangunan yang selama ini terjadi, baik antar wilayah dan antar golongan dalam masyarakat, juga muda diduga disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang berawal dari sistem penerimaan siswa baru.
Sejak lama pemerintah dan masyarakat tanpa sadar telah meciptakan sendiri kesenjangan. Celakanya karena itu dimulai dari sektor pendidikan.
Fenomena ini harus diakhir karena justru akan merugikan semua pihak bahkan bertentangan dengan idiologis Pancasila dan UUD 1945.
Baca: PPI Sulsel Tolak Aksi Mahasiswa Pro Papua Merdeka di Makassar
Tantangan & Solusi
Sistem zonasi memang masih baru dan tentu saja menemui banyak kendala, bukan saja secara tehnis akan tetapi juga karena pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang selama puluhan tahun disuguhi model-model pendidikan ekslusifisme.
Oleh sebab itu meskipun pemerintah sudah melakukan sosialisasi, akan tetapi masih perlu peningkatan agar masyarakat semakin memgetahui dan semakin sadar bahwa sistem zonasi sangat baik dan relevan dengan upaya untuk menciptakan pemerataan dan keadilan dalam bidang pendidikan.
Disadari benar bahwa meskipun dalam pengelolaan pemerintah dan pemerintah daerah, sekolah-sekolah negeri masih banyak yang belum layak untuk menjadi pilihan dan favorit bagi masyarakat.
Oleh sebab itu sistem zonasi seharusnya menjadi momentum bagi kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk berbenah diri seraya meningkatkan kualitas, baik guru, infra sturuktur dan tata kelola sekolah yang baik.
Masyarakat juga harus menerima kenyataan dan dengan ikhlas menerima gagasan baru bahwa pendidikan harus untuk semua, bukan untuk sekolompok orang saja.
Baca: GenPI Luwu Utara Hadirkan Pasar Sirenden di Permandian Tandung, Ini Jadwalnya
Oleh sebab itu, pola pikir, sikap dan perilaku mereka harus berubah, apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dengan pendidikan yang ekslusif dalam jangka panjang justru merugikan semua karena model pendidikan seperti inilah yang melahirkan benih-benih kesenjangan, baik antar wilayah maupun antar golongan.
Terhadap mereka yang belum bisa menerima sistem zonasi, pemerintah masih membuka peluang untuk bersekolah di bawah binaan masyarakat atau swasta.
Sangat banyak sekolah swasta yang justru lebih berkualitas dari sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah.
Oleh sebab itu sistem zonasi juga seharusnya menjadi momentum bagi sekolah swasta terutama yang belum terakreditasi baik untuk berbenah diri agar kualitas pendidikan benar-benar merata dan masyarakat bebas memilih sekolah favorit mana saja yang mereka inginkan. (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Sabtu (29/06/2019)