Ini 3 Dasar Acuan yang Harus Dibuktikan Prabowo-Sandi Agar Menang di MK, Berikut Profil 9 Hakim
Ini 3 Dasar Acuan yang Harus Dibuktikan Prabowo-Sandi Agar Menang di MK, Berikut Profil 9 Hakim
TRIBUN-TIMUR.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang perdana pada Jumat (14/06) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan dalam sidang itu sembilan hakim konstitusi akan mendengarkan dalil permohonan yang diajukan pemohon capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Jadi pemohon kan kemarin sudah menyerahkan permohonan tertulis, sudah teregistrasi, kesempatan pertama pemohon menyampaikan permohonannya itu kepada majelis hakim," ujar Fajar Laksono kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (12/06).
Kalaupun ada penilaian bahwa permohonan itu tak memenuhi syarat, hakim MK akan tetap melanjutkan persidangan.
Menurut Fajar, sebaik atau seburuk apa pun dalil itu, menjadi kewenangan hakim konstitusi untuk memutuskan dalam sidang putusan 28 Juni 2019.
"Itu kewenangan hakim MK. Mau diperlakukan seperti apa, itu kewenangan MK yang kemudian ya harus melewati serangkaian persidangan. Kalau ada pihak-pihak minta (menolak gugatan) silakan saja jadi opini. Secara normatif itu kewenangan hakim MK," jelasnya.
"Hakim MK tidak bisa didesak melakukan ini-itu," sambungnya.
Fajar juga menegaskan, hakim konstitusi dalam memutus perkara sengketa mendasarkan pada tiga hal yakni fakta yang terungkap di persidangan, alat bukti, dan keyakinan hakim.
Itu mengapa, Fajar meminta semua pihak, agar tidak "mendesak" para hakim di luar forum persidangan.
"Biarkan persidangan ada dinamika, perdebatannya. Nah itulah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus."
Lebih jauh, dia juga menegaskan sepanjang sengketa Pilpres, hakim konstitusi tidak pernah mengeluarkan putusan sela.
Putusan semacam itu, kata dia, hanya berlaku untuk sengketa pilkada atau pemilu legislatif (pileg).
"Misalnya MK memutuskan memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang di daerah tertentu atau penghitungan suara ulang. Itu putusan sela. Setelah itu dilaporkan ke MK, baru ada putusan akhir."
"Belum pernah ada putusan sela dalam sengketa pilpres."
Pada sidang Jumat nanti, pihak-pihak yang dibolehkan hadir di ruang persidangan hanya dari pemohon yang berjumlah 15 orang, termohon juga 15 orang, dan Bawaslu 10 orang.
Di luar mereka, kata Fajar, dilarang masuk demi kelancaran jalannya sidang.
"Kita tidak mau ada hal-hal yang tidak diinginkan yang menghambat jalannya sidang. Apalagi MK hanya diberi waktu 14 hari kerja untuk memutuskan perkara."
Karena itu, MK menyediakan layar televisi yang menyiarkan secara langsung proses sidang di samping gedung MK dan juga kantor Kemenkopolhukam.
"Untuk kebutuhan agar persidangan berjalan tertib dan lancar. Tidak gaduh."
Setelah sidang mendengarkan permohonan pemohon selesai, MK akan mengagendakan sidang pemeriksaan pembuktian pada Senin (17/06).
Fajar menjelaskan, di situ pihak termohon yaitu KPU akan menyampaikan jawabannya.
Begitu pula Bawaslu.
"Di MK azas yang dianut azas semua pihak didengarkan keterangannya secara seimbang. Semua mendapat kesempatan yang seimbang, apapun yang disampaikan dalam sidang pendahuluan, akan terus bergulir," tukasnya.
Hasil akhir sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut kini berada di tangan 9 Hakim Konstitusi. Putusan yang akan dibacakan pada 28 Juni 2019, akan menentukan pemimpin Indonesia untuk 5 tahun mendatang.
Berikut profil 9 hakim yang akan menangani perkara PHPU:
1. Anwar Usman

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terpilih Anwar Usman.
Anwar merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini. Pria yang lahir pada 31 Desember 1956 ini mendapat gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, pada 1984.
Anwar kemudian memeroleh gelar S-2 Program Studi Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta, pada 2001. Setelah itu, pada 2010, Anwar menempuh gelar S-3 Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pria yang mencintai seni peran dan teater ini pernah memegang sejumlah jabatan di Mahkamah Agung, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 – 2003. Kemudian berlanjut dengan menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003 – 2006.
Kemudian, pada 2005, Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
2. Aswanto

Wakil Ketua MK terpilih Aswanto.
Hakim Aswanto merupakan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi saat ini. Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 1986.
Pria kelahiran 17 Juli 1964 ini kemudian mendapat gelar S-2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1992. Kemudian, mendapat gelar S-3 di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1999.
Aswanto juga mendapat gelar Diploma di Forensic Medicine and Human Rights, Institute of Groningen State University, Belanda, pada 2002.
Aswanto memiliki karier pekerjaan yang cukup panjang. Aswanto tercatat pernah menjadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan, pada Pemilu 2004. Kemudian, menjadi Koordinator Litbang Perludem Pusat pada 2005.
Aswanto juga menjadi anggota Forum Peningkatan Pembinaan Demokratisasi Penegakan Hukum dan HAM, pada 2006.
Aswanto juga pernah menjadi Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Selatan, pada 2007 dan Ketua Dewan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Barat, pada 2008-2009.
3. Arief Hidayat

Ketua Hakim MK Arief Hidayat
Arief Hidayat mulai menjabat sebagai Hakim Konstitusi pada 1 April 2013. Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua MK ini merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Arief mendapat gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Undip, pada 1980. Kemudian, mendapat gelar S-2 di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada1984. Selanjutnya, Arief mendapat gelar Doktor Ilmu Hukum Undip pada 2006.
Sebagian besar perjalanan karier Arief berada di bidang pendidikan. Arief pernah menjadi anggota Tim Assesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan anggota Tim Penilai Angka Kredit Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
4. Wahiduddin Adams
Wahiduddin mendapat gelar Sarjana Peradilan Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1979. Kemudian, dia mendapat pendidikan di De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda, pada 1987.
Ia kemudian mendapat gelar S-2 Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1991. Kemudian, mendapat gelar Doktor Hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 2002.
Wahiduddin juga mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta, pada 2005.
Wahiduddin pernah menjabat Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Kemudian, menjadi Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Wahiduddin juga pernah menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, pada 2010-2014.
5. I Dewa Gede Palguna

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna
Palguna mendapat gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bidang Kajian Utama Hukum Tata Negara, pada 1987. Dia kemudian mendapat gelar S-2 Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bidang Kajian Utama Hukum International, pada 1994.
Palguna mendapat gelar S-3 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bidang Kajian Hukum Tata Negara pada 2011.
Palguna kembali menjadi hakim konstitusi pada 2014. Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara dan Panitia Seleksi menghubungi Palguna untuk menjadi hakim konstitusi dari unsur Presiden.
Palguna pernah menjadi anggota MPR RI periode 1999- 2004, sebagai utusan daerah. Palguna menjadi salah satu pelaku sejarah ketika MPR RI mengamandemen UUD 1945.
Sebelum masa jabatannya usai, pada tahun 2003, Palguna dicalonkan DPR RI menjadi hakim konstitusi dan terpilih menjadi hakim konstitusi periode pertama sekaligus yang termuda.
6. Suhartoyo
Pada 17 Januari 2015, Suhartoyo mengucap sumpah di hadapan Presiden sebagai Hakim Konstitusi. Suhartoyo yang merupakan hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar itu terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya.
Pria kelahiran Sleman 15 November 1959 ini mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Indonesia, pada 1983. Ia kemudian melanjutkan program S-2 di Universitas Taruma Negara pada 2003.
Suhartoyo kemudian mendapat gelar doktor di Universitas Jayabaya, pada 2014.
Suhartoyo terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi pada 1999. Kemudian menjadi Ketua PN Praya pada 2004.
Selanjutnya, ia menjadi Wakil Ketua PN Pontianak pada 2009, Ketua PN Pontianak pada 2010, Wakil Ketua PN Jakarta Timur pada 2011, serta Ketua PN Jakarta Selatan pada 2011.
7. Manahan M P Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Sebelumnya, Manahan merupakan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin.
Manahan mendapat gelar sarjana Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara (USU), pada 1982. Ia kemudian melanjutkan program S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2001.
Kemudian, Manahan menyelesaikan program doktor jurusan Hukum Bisnis USU, pada 2009.
Karier hakimnya dimulai sejak dilantik di PN Kabanjahe pada 1986. Pada 2002, dia dipercaya menjadi Ketua PN Simalungun. Pada 2003, ia dimutasi menjadi hakim di PN Pontianak dan pada 2005 diangkat sebagai Wakil Ketua PN Sragen.
Pada 2007, ia dipercaya sebagai Ketua PN Cilacap. Setelah itu, Manahan diangkat menjadi Hakim Tinggi Manado, pada 2010.
8. Saldi Isra

Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra
Pada 11 April 2017, Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra dilantik menggantikan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya.
Saldi menuntaskan pendidikan pascasarjana dengan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia pada 2001. Kemudian pada 2009, ia berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.
Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional.
Saldi juga dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan. Ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
9. Enny Nurbaningsih

Hakim MK Enny Nurbaningsih
Perempuan kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini melanjutkan studi Hukum Tata Negara pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, pada 1995. Dia menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada 2005.
Enny tercatat pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Enny ikut membentuk Parliament Watch bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 – 2013 Mahfud MD pada 1998.
Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum.
Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Sidang Sengketa Pilpres tanpa Putusan Sela, Profil 9 Hakim Konstitusi Penentu Presiden 2019-2024