Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Siapa Dalang Kerusuhan Mei 2019 di Jakarta, Ini Analisis Syamsuddin Radjab

Ia mengungkapkan, perseteruan kedua calon presiden ini bisa saja cair ketika Jokowi dan Prabowo bisa sepakat.

Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Imam Wahyudi
zoom-inlihat foto Siapa Dalang Kerusuhan Mei 2019 di Jakarta, Ini Analisis Syamsuddin Radjab
Syamsuddin Rajab

Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasim Arfah

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Dr Syamsuddin Radjab SH MH menganggap masa depan negara pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bakal ditentukan komunikasi politik antara calon presiden RI, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Ia mengungkapkan, perseteruan kedua calon presiden ini bisa saja cair ketika Jokowi dan Prabowo bisa sepakat.

Direktur Jenggala Center ini ragu seteru ini karena ideologi kedua calon presiden berbeda. Bahkan, ia menganggap ideologi kedua calon sangat beragam dan tak utuh.

Jokowi-Ma’ruf Amin berideologi nasionalis-islamis. Jokowi adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Universitas Gadjah Mada. Sementara itu, Ma'ruf Amin adalah Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu, partai pengusung berideologi nasionalis dan islamis.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Hanura dan Nasdem berideologi nasionalis. Ideologai islamis diwakili oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ollenk, sapaan Syamsuddin Radjab, menyebut ideologi pasangan nomor urut 01 ini sebagai Ultra Nasionalis Kanan.

Sementara itu, kelompok pendukung lebih banyak dari kelompok nasionalis, ulama Nahdlatul Ulama (NU), kelompok sekuler dan pengusaha. Ideologi ekonomi Jokowi-Ma'ruf lebih kepada kapitalis tapi realistis.

Sementara itu, Ollenk menyebut ideologi Prabowo Subianto sebagai nasionalis. Sementara itu, ideologi Sandiaga Salahuddin Uno lebih kepada kapitalis. Partai pengusung Gerindra dan Demokrat cenderung nasionalis. Sementara itu, PAN dan PKS cenderung berideologi Islamis.

Kelompok pendukung berasal dari kelompok ex militer, pengusaha, kelompok islam fundamental.

"Kelompok Islam fundamental ini sering kita sebut juga kelompok Islam jalanan, mereka banyak berasal dari FPI (Front Pembela Islam) dan aktivis ex Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," katanya.

“Latar belakang berbeda ini membuat curang perbedaan sangat besar. Dan tentu menghasilkan gelombang protes pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dan berakhir dengan meninggalnya 8 orang meninggal dalam aksi 21-22 Mei 2019,” katanya.

Sehingga, kepolisian “kecolongan” dalam aksi yang membuat 8 orang meninggal dunia.

Ia menganggap, gelombang protes ini sudah ada sejak Pilkada Jakarta, 2017 lalu. Sehingga, kepolisian harus membaca ancaman itu. Kelompok yang tak terima hasil Pilpres 2019 menuduhkan terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dan hambatan dalam Islam ketika Jokowi memimpin.

"Hal inilah yang memicu demo," katanya.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved