Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

TRIBUNWIKI: Hari Buku Nasional, Yuk Simak Kisah Tua dari Pramoedya Ananta Toer

Untuk memperingati hari tersebut, Tribunwiki akan mengisahkan salah satu tokoh penulis Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer.

Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ansar
Handover
Salah satu tokoh penulis Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Hari Buku Nasional jatuh pada tanggal 17 Mei.

Untuk memperingati hari tersebut, Tribunwiki akan mengisahkan salah satu tokoh penulis Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer.

Namanya tidak asing lagi tentunya bagi para pecinta buku.

Begini karier Pramoedya Ananta Toer.

Dilansir dari wikipedia, Pramoedya dilahirkan di Blora pada tahun 1925 di jantung Pulau Jawa, sebagai anak sulung dalam keluarganya.

Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.

Kapolres Mamasa Pimpin Upacara Hari Kesadaran Nasional, Ini Pesannya

Datangi Bawaslu Sulsel, Pengunjukrasa Cari Arumahi

Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya.

Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini.

Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang.

Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, berakhir tinggal di sana dan tidak kembali ke Jawa.

Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa.

Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menceritakan pengalamannya sendiri.

Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis.

Statistik Persib Bandung vs Persipura, Head to Head 5 Tahun Terakhir, Siapa yang Lebih Unggul?

Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995.

Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra.

Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok.

Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit.

Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya.

Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya.

Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara.

Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

 Ramadan, Napi Lapas Takalar Hatam Alquran Tiga Kali Sehari

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay.

Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa Demokrasi Terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufiq Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu.

Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'.

Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu.

Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan.

Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965.

Dan mereka menuntut pertanggung jawaban Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin.

TRIBUNWIKI - Ramadan Pertama Bersama Anak, Yuk Simak Perjalanan Karier Raisa Andriana

Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja.

Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala.

Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup.

Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'.

Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada, sejak dipindahkan dari Unit III ke Markas Komando atau Mako.

Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup lebih baik dalam penahanan itu.

Pramoedya kerap kali menjadi 'bintang' ketika ada tamu dari luar negeri yang berkunjung, karena reputasinya di Internasional sangat dihargai.

Tentang Pramoedya Ananta Toer

Nama Lahir: Pramoedya Ananta Mastoer

Lahir:Jawa Tengah, Hindia Belanda, 6 Februari 1925

Meninggal: Jakarta, Indonesia, 30 April 2006

Tempat tinggal: Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur.

Kebangsaan: Indonesia

Pekerjaan: Novelis, esais

Pasangan: Muthmainah

Anak:
Astuti Ananta Toer
Tatyana Ananta Toer
Poedjarosmi
Setyaning Rakyat Ananta Toer
Arina Ananta Toer
Etty Indriarti
Yudisthira Ananta Toer
Anggraini

Buku

Bibliografi
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan Penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi.
Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
Keluarga Gerilya (1950)
Tikus dan Manusia (1950), karya John Steinbeck yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Kembali pada Tjinta Kasihmu (1950), karya Leo Tolstoy yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi (1951), kumpulan 3 cerpen.
Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dan dimasukkan dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora
Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
Gulat di Jakarta (1953)
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
Korupsi (1954)
Perdjalanan Ziarah jang Aneh (1954), karya Leo Tolstoy yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Mari Mengarang (1955), tak jelas nasibnya di tangan penerbit di Jalan Kramat Raya, Jakarta
Ibunda (1956), karya Maxim Gorky yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (1956), karya Mikhail Sholokhov yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Cerita dari Jakarta (1957), kumpulan cerpen.
Cerita Calon Arang (1957)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
Dewi Uban: Opera Lima Babak (1958), karya He Tjing-Ce dan Ting Ji yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Asmara dari Russia (1959), karya Alexander Kuprin yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Kisah Manusia Sedjati (1959), karya Boris Polevoi yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer
Pertaruhan (1960), karya Anton Chekhov yang diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer bersama Koesalah Soebagyo Toer
Hoakiau di Indonesia (1960), dilarang oleh Pemerintah Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
Panggil Aku Kartini Saja I & II, (1963); bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Kumpulan Karya Kartini, yang pernah dimuat di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Gadis Pantai sebagai cerita bersambung rubrik lembar kebudayaan "Lentera" dalam harian "Bintang Timur" (1962-1965), bagian pertama trilogi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku pada 1987; dilarang Jaksa Agung pada 1987; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963).

Kejari Jeneponto Bawa Satu Koper Dokumen Saat Geledah RSUD Lanto Dg Pasewang

Ke mana uang Abutours yang Rp 1.6 miliar?

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved