Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Pemilu dan Ancaman Demokrasi

Prof Ma’ruf Hafidz bahkan menyerukan politik uang dimasukkan dalam kejahatan luar biasa atau ekstra ordinary crime.

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Pemilu dan Ancaman Demokrasi
amir muhiddin1

Oleh:
Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar - Anggota Forum Dosen

Forum Dosen kembali melaksanakan diskusi, 22 April 2019. Kali ini membahas pelaksanaan pemilu serentak 2019.

Berlangsung di Gedung Tribun Timur, Makassar. Dihadiri 20-an doktor dan profesor dari berbagai kampus di Kota Makassar.

Kegiatan ini seperti lazimnya Forum Rektor selalu hadir di tengah-tengah suasana kebatinan masyarakat dengan berbagai isu-isu sensitif dan memerlukan solusi yang konstruktif serta berupaya hadir sebagai penengah yang tak berpihak.

Salah satu isu yang menarik dan sensitif tersebut adalah pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang berujung manis bagi sebagian orang, tetapi tidak sedikit yang mengisahkan pahit dengan berbagai pelanggaran, kecurangan.

Koordinator Forum Dosen Dr Adi Suryadi Culla dalam pengantar diskusi menyebut bahwa pemilu kali ini masih marak dengan money politic dan hoax yang pada gilirannya mengancam eksistensi demokrasi.

Bahkan dengan nada kesal Majid Sallatu mengemukakan setelah belasan tahun Reformasi berlangsung dan demokrasi dibangun, bukan tambah baik, malah tambah amburadul.

Demokrasi tidak lagi menjadi suatu nilai kerakyatan malah cenderung dikapitalisasi yang pada gilirannya semua orang sudah menjadi economic animal.

Kok seperti ini perekembangan politik kita, patutkah demokrasi ini berlangsung terus?

Baca: Yayasan Al Fityan Cabang Gowa Akan Gelar Wisuda Akbar ke-5

Politik Uang
Politik uang yang marak pada pemilu kali ini benar-benar merusak tatanan demokrasi bahkan mungkin merusak tata kelola pemerintahan, begitu membahyakan fenomena ini sehingga perlu antsipasi karena akan merusak sendi-sendi demokrasi.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universita Muslin Indonesia (UMI) Prof Ma’ruf Hafidz bahkan menyerukan politik uang dimasukkan dalam kejahatan luar biasa atau ekstra ordinary crime.

Menurut mantan etua Panwas Sulsel ini, politik uang sudah setara dengan korupsi.

Politik uang sudah menjadi kebiasaan, malah kalau tidak diantisipasi cepat kemungkinan akan menjadi budaya.

Saiful Jihad yang hadir di forum dosen selaku Panwas Pemilu Sulsel menemukan fakta di beberapa tempat di mana masyarakat bukan lagi malu menerima uang dari kandidat, malah uang pemberian yang disebut money politic itu sudah dianggap rezeki.

Celakanya menurut beliau sebagian masyarakat malah merasa malu kalau tidak menerima uang.

Dalam sosiologi hukun disebutkan bahwa meskipun sesuatu itu salah, akan tetapi kalau berulang-ulang dilakukan suatu saat sesuatu itu akan menjadi benar.

Baca: 80 Perguruan Tinggi se-Indonesia Hadir di UMI

Menurut Dr. Hasrullah kebiasaan-kebiasaan negatif dalam post-truth akan menjadi positif ketika kebiasaan-kebiasaan itu berlangsung terus-menerus tanpa kendali dan dalam waktu bersamaan masyarakat juga permissif dan memberi legitimasi sebagai sebuah kebenaran.

Dalam kaitan ini Evan Davis (2017) dalam bukunya Post Truth – Why we Have Reached Peak Bullshit and What We Can Do About it yang diterbitkan Little Brown and Company.

Pascakebenaran: Mengapa Kita Telah Mencapai Puncak Omong Kosong dan apa yang dapat kita lakukan tentang itu.

Devis dalam buku tersebut nampaknya gelisah memilihat realitas hidup manusia yang tidak bisa lagi membedakan mana value yang mengandung nilai-nilai kebenaran dan mana fakta (fact) yang sesungguhnya.

Celakanya menurut Tom Nichol peran ilmuan di perguruan tinggi semakin sedikit dan dalam bukunya berjudul The Death of Expertise Nichol menyebut matinya para pakar.

Ini karena tingkat kepercayaan pada narasumber populer seringkali lebih tinggi dari ilmuwan yang populis yang memang sejak lama hanya bekerja untuk mencari kebenaran.

Faktor Kelembagaan
Pemilu serentak 2019 adalah pemilu terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan mungkin seantero dunia.

Pemilu yang menggabungkan pemilihan ekseskutif dan legislatif ini diselenggarakan oleh ribuan penyelenggara, dari kota sampai ke pelosok desa, diikuti oleh kontestan dengan berbagai latar belakang agama, suku, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengalaman.

Baca: ACT Sudah Bangun Hunian Sementara untuk 1000 KK di Sulawesi Tengah

Diikuti partai dengan berbagai aliran pemikiran politik, berbagai keinginan, harapan dan kepentingan, semua bergabung dalam satu.

Mereka berkompetisi pada hari yang sama tanggal 17 April 2019.

Karena itulah menurut Dr Iqbal Latif, dosen Unhas sekaligus mantan Ketua KPU Sulsel, wajar jika di sana-sini terdapat kekurangan, kekeliruan dan mungkin berbagai penyimpangan dan pelanggaran.

Itu disebabkan karena pengalaman pertama dan perlu upaya evaluasi untuk penyempurnaan di kemudian hari.

Faktor kelembagaan, terutama organisasi penyelenggara pemilu, sumber daya manusia, dan regulasi yang menyertainya memang disebut-sebut menjadi faktor determinan dalam mempengaruhi penyelenggaraan pemilu kali ini.

Komunikasi organisasi di semua tingkatan seringkali mengalami gangguan sehingga apa yang menjadi kebijakan KPU pusat dimaknai berbeda dengan KPU di daerah dan secara berjenjang.

Menurut Iqbal Latif, secara normatif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ikut memberi kontribusi berbagai masalah pemilu.

UU ini menurutnya menempatkan KPU Pusat sebagai pemegang otoritas dan kewenangan yang besar. Bahkan cenderung sentralistik.

Akibatnya pengambilan-pengambilan keputusan, bukan saja lambat, malah terkadang tidak partisipatif dan relatif mudah disorientasi.

Baca: Belanda Godok Kerjasama 10 Top Investasi Milik Pemkot Makassar

Rusaknya sejumlah suarat suara, lambatnya pengiriman logistik dan sebagainya, itu contoh sentraliasasi yang bias dan perlu dievaluasi kembali.

Waktu yang panjang dalam kampanye, jumlah pemilih, jumlah kontestan dan sebagainya ikut memberi konstribusi carut marut pelaksanaan pemilu kali ini.

Kampanye yang panjang sangat melelahkan, menguras tenaga, waktu dan biaya yang sangat mahal. Oleh sebab itu secara kelembagaan tidak berimbang dengan hasil pemilu yang berkualitas.

Alhasil banyak di antara penyelenggara pemilu, petugas keamanan yang sakit dan tidak sedikit di antara mereka yang wafat sebagai korban kebijakan pemilu.

Komisioner KPU Sulsel Asram Jaya, menyebut bahwa Sulsel merupakan salah satu daerah pemilihan yang petugas pemilunya banyak meninggal dan 129 sakit.

Kepada mereka yang wafat, kita doakan semoga khusnul khotimah. Dekan FTI UMI Dr Zakir Sabara ST MT IPM menyebut bahwa UU Pemilu melanggar HAM.

Bahkan cenderung tidak manusiawi mempekerjakan orang selama 24 jam dengan honor Rp 500.000. Maunya efisien malah menjadi inefisien.

Dengan kesal beliau mengusulkan agar UU Pemilu dievaluasi kembali dan Komisi II DPR RI harus bertanggung jawab terkait masalah ini.

Baca: Begini Keseruan 400 Anak Ikut Lomba Menggambar Alfamidi di Jeneponto

Prof Hambali Thalib menyebut bahwa UU Pemilu meskipun secara prosedural sudah adil, tetapi di dalamnya belum berisi keadilan subtantif.

Oleh sebab itu pemilu secara serentak perlu dievaluasi kembali, termasuk undang-undangnya sendiri. Gagasan ini diamini oleh peserta diskusi.

Bahkan menurut Dekan FIS UNM Prof Hasnawi Haris perlu kajian yang lebih mendalam, kalau perlu dilakukan riset colaboratif antar perguruan tinggi untuk mendapat hasil pemilu yang lebh berkualitas. Semoga!

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Selasa (23/04/2019)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Financial Wellness

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved