OPINI
OPINI - Menyoal Pembangunan Landmark BPJS Ketenagakerjaan
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Oleh:
Aqrama Wardana
(Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas)
Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) BPJS Ketenagakerjaan dibuktikan dengan kontribusinya terhadap pembangunan daerah, melalui membangun landmark Ruang Terbuka Hijau (RTH) di beberapa daerah di Indonesia.
Hal serupa dilaksanakan BPJS TK di Kota Makassar melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan & BPJS Ketenagakerjaan pada November 2017.
Ditindak lanjuti dengan realisasi pemberian hibah oleh BPJS ketenagakerjaan dengan dibangunnya landmark Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Lahan Center Point Of Indonesia (CPI) Pada Tahun 2018.
Terampasnya hak-hak masyarakat perkotaan terhadap akses Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kebutuhan mendesak, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Selain diperuntukkan demi tujuan keindahan & kenyamanan wilayah perkotaan, Ruang Terbuka Hijau juga diperlukan sebagai sarana interaksi sosial masyarakat.
Baca: Panitia Terbentuk, Alumni Angkatan 2001 SMPN 2 Kolaka Siap Gelar Reuni
Desakan kebutuhan akan akses RTH tersebut menjadi faktor yang mendorong pihak BPJS Ketenagakerjaan turut berpartisipasi dalam pembangunan daerah dengan menginisasi pembangunan landmark (RTH) sebagai bentuk tanggungjawab sosial lingkungan BPJS Ketenagakerjaan.
Pembangunan landmark yang dilakukan di atas lahan seluas 2,5 Hektar dan menghabiskan anggaran senilai Rp 7 miliar untuk tahap pertama 1,6 hektar untuk tahap kedua menjadi bukti kemegahan landmark.
Hal tersebut dibuktikan dengan kelengkapan fasilitas penunjang seperti area bermain anak sesuai standar Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), area olahraga seperti jogging track, volley ball, basket ball, wall climbing, dan skate park, serta media informasi tentang program BPJS Ketenagakerjaan di tiap sudut area, ketersediaan fasilitas membuktikan bahwa ke-megah-an landmark bukan isapan jempol.
Hak Pekerja
Kemegahan pembangunan landmark sebagaimana telah dijelaskan hanya didasari atas kebutuhan & kepentingan publik dan bagaimanapun alasan pembangunan landmark yang bernilai Rp. 7 miliar tersebut seyogyanya tidak hanya mementingkan kepentingan publik perkotaan namun juga harus berpihak pada hak para pekerja.
Pembangunan landmark RTH hendaknya mengutamakan hak pekerja sebagaimana diatur dalam kovenan Intenational Labour Organisation (ILO) No.102 Tahun 1952.
Baca: Ditinggal Pemiliknya, Dua Rumah di Tamalanrea Makassar Ludes Dilalap Si Jago Merah
Selain empat manfaat wajib yang diperoleh pekerja dari penyelenggaraan jaminan sosial yang dijalankan, BPJS TK harusnya juga memahami bahwa ada aspek pembangunan fasilitas yang diatur sebagai bagian hak-hak buruh atas fasilitas penunjang seperti rest area, rusunawa khusus pekerja, fasilitas transportasi atau supermarket dan kebutuhan fasilitas lainnya yang menjangkau ruang lingkup kawasan industri.
Namun patut disayangkan statement yang disampaikan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto tentang pembangunan landmark “ditujukan demi kebutuhan iconic” BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2018 lalu, menjadi anekdot seolah-olah pembangunan landmark hanya ditujukan demi kepentingan pemasaran melalui image branding dan iconinc building.
Padahal BPJS ketenagakerjaan merupakan badan negara yang dibentuk melalui Undang-Undang dan tidak lagi berbentuk persero yang mengejar image branding dalam penyelenggaraannya.
Tidak berpihaknya pembangunan landmark pada kepentingan pekerja juga kebijakan & konsep pembangunan landmark menjadi contoh bahwa aroma persero masa lalu masih menyelimuti BPJS Ketenagakerjaan.
Baca: Panen Jagung Melimpah, Baznas Enrekang Imbau Petani Bayar Zakatnya
Hal ini patut dipersoalkan karena pembangunan landmark yang menghabiskan dana sebesar Rp 7 miliar tersebut tentunya menggunakan dana jaminan sosial yang terkumpul melalui premi pembayaran perbulan oleh para pekerja.
Hal tersebut bertentangan dengan asas penyelenggaraan jaminan sosial sebagaimana tentang prinsip amanah sebagaimana di atur dalam pasal 4 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Tidak berpihaknya pembangunan landmark pada kepentingan buruh tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak buruh atas fasilitas. Maka mempersoalkan landmark tersebut adalah keharusan.
Lingkungan
Realisasi pembangunan landmark RTH sebagai bentuk tanggungjawab sosial lingkungan, memang merupakan bentuk kepedulian BPJS terhadap hak masyarakat perkotaan atas ruang terbuka hijau.
Namun pembangunan RTH yang tidak memiliki keberpihakan pada kebutuhan fasilitas pekerja tersebut juga tidak boleh mengesampingkan aspek keadilan dalam pelaksanaannya.
Aksesi lokasi yang berada di pusat pengembangan ekonomi dan jauh dari kehidupan masyarakat mengakibatkan fasilitas RTH diyakini hanya akan dinikmati oleh segelintir kalangan masyarakat saja.
Hal tersebut juga menjadi alasan kenapa pembangunan landmark RTH ini harus dipersoalkan. Ini berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
Baca: LPM Penalaran UNM Gelar Pelatihan Proposal dan Instrumen Penelitian
Seyogyanya aksesi masyarakat perkotaan terhadap fasilitas RTH haruslah berada pada titik tengah dan dekat dengan seluruh kalangan masyarakat, sehingga dapat dirasakan oleh seluruh penduduk Kota Makassar.
Di lain sisi, lokasi pembangunan yang berada pada lahan Center Point Of Indonesia tentunya menjadi soal baru.
Hal ini berkaitan dengan keadilan ekologi, pembangunan pada pesisir pantai tentu punya dampak terhadap kerusakan lingkungan.
Maka menjadi atensi tersendiri untuk mempersoalkan hibah pembangunan landmark RTH BPJS Ketenagakerjaan.
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Sabtu (30/3/2019)