Mappasomba, 31 Tahun Menjaga Narapidana Lapas Bulukumba
Lapangan tenis Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Bulukumba, menjadi saksi bisu perbincangan Tribun Timur dengan sipir senior itu.
Penulis: Firki Arisandi | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNBULUKUMBA.COM, GANTARANG - Malam itu, usai melaksanakan penggeladahan rutin, H Mappasomba menapak tilas perjalanan hidupnya.
Lapangan tenis Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Bulukumba, menjadi saksi bisu perbincangan Tribun Timur dengan sipir senior itu.
Ia menceritakan, setahun pasca tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1987, pria kelahiran 1968 itu langsung lulus menjadi penjaga tahanan.
Selama bertugas di Lapas Kelas IIA Bulukumba, kurang lebih selama 31 tahun, H Mappasomba telah merasakan 13 kepemimpinan Kalapas.
Pria dengan tinggi diatas standar ukuran bintara polisi itu, bahkan masih merasakan bagaimana penerapan sistem penjara.
Sistem penjara yang dianut dan diterapkan di Indonesia, kala itu, masih reglement penjara titipan Kolonial Belanda.
"Dulu itu masih sistem penjara, bisa dibayangkanlah. Dulu itu, bagaimana memberikan efek jerah kepada tahanan. Beda dengan sekarang," kata H Mappasomba.
Aturan penjara mulai berubah sejak dikeluarkannya Undang-undang No 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan.
H Mappasomba menganggap, perubahan tersebut merupakan perubahan yang sangat luar biasa.
Sistem penjara yang sebelumnya tak mengedepankan rasa kemanusiaan, berubah menjadi sistem pemasyarakatan dan pembinaan.
Mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM), adalah di atas segala-segalanya.
Jika sebelumnya semua tahanan harus diberikan efek jerah, makanan ala kadarnya, semua fasilitas ala kadarnya, berubah menjadi sebaliknya.
Saat awal-awal bertugas, Lapas kelas IIA Bulukumba, masih menyaksikan kondisi becek dalam lapas, bahkan terkadang banjir saat musim hujan.
Lampu penerangan pun tak menggunakan listrik, hanya ada beberapa penerangan tradisional mirip lilin, yang menggunakan minyak tanah.
Masyarakat lokal Bulukumba kerap menyebut penerangan tersebut dengan istilah 'pelleng' atau 'sulo'.