Aktivis HAM Robertus Ditangkap, Relawan KPJKB di Makassar Buat Surat Terbuka untuk Kapolri
Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.
Penulis: Jumadi Mappanganro | Editor: Jumadi Mappanganro
Dalam Pasal 23 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara.
Pak Kapolri...
Dengan regulasi di atas, kami berpandangan bahwa penjemputan paksa terhadap Robertus Robet dari rumahnya ke Mabes Polri pada Rabu malam 6 Maret 2019 telah mencederai Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Tuduhan melanggar UU ITE terkait orasi dalam aksi damai Kamisan 28 Februari 2019 lalu yang menjadi alasan penangkapan Robertus yang juga dosen dan aktivis HAM itu terkesan dipaksakan.
Sebab Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil.
Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 & amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.
Memasukkan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yg telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.
Anehnya, orasi yang berisi refleksi pemikiran dan hasil kajian yang disampaikan Robet sebagai akademisi dan aktivis HAM dimuka publik itu berujung penangkapan.
Padahal Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.
Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil sama artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan pada era Orde Baru.
Tapi mengapa Robet dituduh melanggar pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Pak Kapolri...
Kami berpandangan bahwa pasal-pasal yang dikenakan terhadap Robet adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan sungguh tidak tepat.
Bahwa benar pada Pasal 207 KUHP berbunyi "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Tapi putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya telah mengatakan "dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan
daerah)."
Bagian lain putusan tersebut mengatakan "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana, halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau hadan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Sedangkan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE mengatur "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)."