Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Wiki

TRIBUNWIKI: Kisah La Sinrang Pahlawan Asal Sawitto Pinrang, Kini Jadi Nama Jl Lasinrang

Pada zaman penjajahan Belanda , yakni 1856, telah lahir seorang putera yang bernama La Sinrang di Dolangan, salah satu daerah di bawah kerajaan Sawitt

Penulis: Ina Maharani | Editor: Ina Maharani
hery/tribunpinrang.com
Patung Lasinrang di taman kota, Jl Jend Sudirman, Kecamatan Watang Sawitto. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Nama Jl Lasinrang cukup terkenal di Makassar. DI sini, terdapat banyak toko-toko jalangkote dan lumpia khas Makassar.

Tak hanya itu, di ruas jalan yang menghubungkan Jl Karunrung dan Jl Lagaligo ini juga banyak terdapat toko kebutuhan bayi dan mainan anak-anak.

Siapakah itu La Sinrang?

Seperti dilansir dalam buku Biografi Pahlawan La Sinrang Bakka Lolona Sawitto terbitan CV Aksara, Sejarah Perjuangan La Sinrang ( Bakka Lolona Sawitto) dari Bahri Majid dkk 2005, dan  Losara Media Informasi Sejarah Dan Budaya Sul-sel, Sultra dan Sulbar, yang diunggah di http://muhishaqramli.blogspot.com, pengejaan nama yang tepat bukanlah Lasinrang, melainkan La Sinrang

La Sinrang adalah pahlawab asal Kabupaten Pinrang.

Lahir Tahun 1856 di Sawitto

Pada zaman penjajahan Belanda , yakni 1856, telah lahir seorang putera yang bernama La Sinrang di Dolangan, salah satu daerah di bawah kerajaan Sawitto. Dolangan merupakan salah satu desa di kecematan Mattiro Bulu kabupaten Pinrang.

Ayah La Sinrang bernama La Tamma. Sedangkan ibunya bernama I Rahima. Sejak lahir La sinrang telah memiliki keistimewaan , yakni dadanya di tumbuhi bulu-bulu yang arahnya berlawanan keatas ( bulu sussang), yang menurut kepercayaan orang tua dahulu suatu bertanda bahwa anak tersebut mempunyai ciri-ciri tabiat pemberani dan suka membela kebenaran jika kelak sudah dewasa.

Sejak masih kanak-kanak La Sinrang sudah di berikan pendidikan moral dan etika oleh orang tuannya. Yang dilandasi dengan siri dan pesse, yang merupakan konsep kebudayaan masyarakat bugis Makassar yang selalu menjadi penekanan dan pembinaan La Sinrang.

Hal yang tidak kurang menariknya untuk di sajikan disini adalah pengalaman masa kecil La Sinrang yang gemar pada permainan rakyat, seperti mallogo, maggasing, massaung manu, dan lain- lain.

Namun kegemaran utama La Sinrang yang berlanjut hingga dewasa adalah massaung manu (menyabung ayam). Kegemaran La Sinrang ini selalu menjodohkan manu bakka yaitu ayam yang buluhnya berwarna putih berbatik-batik merah pada bagian dada melingkar sampai ke belakang.

Ayam tersebut jarang dimiliki oleh orang lain, sehingga kegemaran menyabung ayam dengan menjagokan manu bakka terkenal keluar daerah. Itu pulahlah sebabnya La Sinrang mendapat julukan bakka lolona Sawitto, yang berarti pemuda pemberani dari Sawitto, dan gelaran ini semakin popular ketika La Sinrang memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Masa Dewasa

Setelah memasuki usia remaja/dewasa, salah satu kegemaran La Sinrang adalah kesenian tradisional “pajoge” yaitu salah satu jenis tari-tarian dari daerah Bone. Itulah sebabnya pada saat pajoge dari pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto.

Maka La Sinrang semakin tertarik dengan jenis tearian tersebut. Oleh karena itu maka La Sinrang pergi ke pammana dan tinggal disana. Setelah tinggal di pammana La Sinrang kembali ke Sawitto, . Pada saat itu beliau telah memiliki dua orang putra masing-masing La Koro dan La Mappangaro dari perkawinanya dengan Indo Jamarro dan Indo Intan.

Sesampainya di Sawitto La Sinrang memulai rencananya dengan menaklukkan perang dengan kerajaaan di sekitarnya seperti suppa, alitta, binanga karraeng, rubai, madalle, cempa, jampue dan kerajaan kecil di Sawitto.

Tetapi ternyata kerajaan tersebut tidak bersedia berperan. Sehingga kerajaan tersebut tidak takluk di bawah kekuasaan kerajaan Sawitto di bawah pemerintahan adattung La Tamma.

Diasingkan ke Bone, Lalu Wajo

Oleh karena La Sinrang berada di Sawitto semakin menjadi nakal, maka addatuang Sawitto megasingkannya ke Bon. Akan tetapi setahun tinggal diBone, La Sinrang terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang di istana di Bone, yaitu Pakkalawing epu’na arung Bone.

Selama di Wajo ia mendapatkan didikan dari La Jalanti putra arung matoa Wajo yaitu la koro arung padali yang bergelar watara Wajo. Sedankang kedudukan La Jalanti pada waktu itu adalah menjadi komandan pasukan Wajo di tempe dengan pankat jendral.

Lawan Belanda, Jadi Panglima Sawitto

Dalam perkembaganya kemudian ketika seragan Belanda terhadap kerajaan Sawitto tahun 1903 semakin  hebat maka La Sinrang di panggil pulang ayahnya dan selanjutnya di angkat menjadi panglima di kerajaan Sawitto.

Dalam perlawanannya La sinrang menggunakan beberapa sistem perlawanan yaitu sistem penggalangan massa, sistem gerilya, dan kerjama sama dengan raja-raja.

Ketiga sistem ini digunakan La Sinrang untuk melawan tentara Belanda. Sistem pengalangan massa dengan cara pembentukan pasukan yang di beri nama “ passiuno lappung” yaitu berupa pasukan berani mati tak kenal menyerah dan mundur walaupun setapak.

La sinrang dalam peperaganya mengunakan taktik perang gerilya yaitu menyerang di saat musuh sedang lenggah atau istirahat dan mundur di saat musuh menyerang.

Dalam melaksanakan perang gerilya terhadap pasukan Belanda, La Sinrang mengadakan taktik berpindah-pindah tempat dan setiap tempat yang di datangi segera menyusun kekuatan baru di tempat tersebut.

Taktik yang demikian tersebut cukup memusingkan pihak Belanda sehingga tidak dapat memusatkan segala kekuatanya untuk menghadapi serangan-serangan La Sinrang yang di lakukan secara tiba-tiba kemudian menghilang lagi.

sistem kerja sama dengan raja-raja di Sulawesi selatan usaha bersama menyusun strategi untuk mengusir Belanda dari tanah air. Sebagaimana kita ketahui bahwa raja di Sulawesi tidak ada senang pada Belanda.

Dibantu Raja Gowa

Pada tahun 1905 raja Gowa Sultan Husain bersama putranya I Panguriseng Arung Alitta dan I Mappanyukki Datu Suppa serta Mangimangi Karaeng Bontonompo,bersama dengan dengan pasukanya melanjutkan perjuanganya di Sawitto dengan jalan bekerjasama dengan Addatuang Sawitto (LATAMMA) bersama dengan panglima perang kerajaan Sawitto La Sinrang untuk menhadapi Belanda.

Maka di bidang pertahanan juga di bentuk sekitarnya seperti: alitta, suppa tiroang, talabangi, lepangan tassa, langga, jampue dll dengan bekerja sama dengan para bangsawan yang ada di sekitar kerajaan Sawitto. Perlawan rakyat Sawitto yang dipimpin La Sinrang berhasil mengoyahkan sendi-sendi pemerintahan india Belanda di Sulawesi selatan.

Konsep hidup La Sinrang dalam melawan Belanda, bahwa ia adalah seorang pemimpin (panlima perang) yang berjiwa nasionalis, patriotik sejati orang yang taat pada agamanya yaitu islam.

Untuk mendapatkan bukti sehubungan dengan argument tersebut di atas dapat di lihat bagaimana La Sinrang melawan Belanda pada tahun 1905 di kerajaan Bone yang rajanya pada waktu itu adalah LA PAWAWOI KARAENG SIGERI dengan bunyinya sebagai berikut:

Walaupun aku terdampar di luar bumi sekalipun, asalkan tak goya juga keyakinanku pada kitab yang di bawah nabiku, karena itu adalah pendirianku, biar tubuhku menhadap atau tertawan tetapi pantang bersua dengan komponi. Sikap raja Bone itu, menjadi sikap raja-raja di Sulawesi selatan, termasuk semboyang yang di pedomani dan menjadi prinsip hiddup di pegan oleh la sinrang yang mengandung nilai jihat.

Semboyan ain dari La Sinrang yaitu:
PAJJAGURU MALLEMALLEBU ARRO WELLEBA, DARA TEA MITTI, OLLI TEA TILLALA, BUKU TEA POLA UPE TEA PETTU.

Artinya: tinju bundar, dada lebar, darah tidak menetes, kulit tidak mau terkelupas, tulat tidak mau patah, dan urat tidak mau putus. Maksud dari semboyang tersebut menunyukan suatu sikap keberanian dan pantang menyerah oleh La Sinrang dalam menghadapi musuh dalam hal ini pemerintah penjajahan Belanda.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh tentara Belanda untuk menanamkan kekuasaanya di daerah Sulawesi Selatan telah di tempuh berbagai cara, sampai kepada cara yang paling tidak manusiawi pun telah dilakukan.

Termaksud di kerajaan Sawitto di bawah kekuasaan addatuang Sawitto La Tamma. Selain itu, pemerintahan Belanda melancarkan politik pecah belah atau adu domba di kalangan aristokrat kerajaan Sawitto dan komandan-komandan La sinrang di samping terus menerus melancarkan operasi-operasi militer dan perang urat syaraf untuk mendudukan perlawanan rakyat Sawitto yang dipimpin oleh La Sinrang.

Sasaran utama bukan hanya ditujukan kepada addatuang Sawitto bersama kelompok aristokratnya, tetapi juga ditujukan kepada komandan-komandan tempur pasukan dan buah La Sinrang sedangkan mereka yang tidak berhasil ditangkap, tetap melanjutkan perlawanan terhadap pasukan militer Belanda.

Namun sebelum kunci utamanya yaitu La Sinrang, Api pemberontakan rakyat Sawitto yang dipimpin oleh La Sinrang dianggap belum berhasil oleh karena itu, setelah berbagai cara untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Sawitto di bawah pimpinan La Sinrang selalu mengalami kegagalan maka pada tanggal 25 juli 1906, adattuang Sawitto latammayang sudah berusia lanjut ditangkap oleh Belanda.

Ketika pemerintahan kolonial Belanda menangkap kesayangan La Sinrang tersebut, dan disiksa serta diancam diasingkan ke daerah pembuangan yang menyensarahkan.

Oleh karena itu, maka pada akhir bulan juli 1906, La Sinrang bersama sisa-sisa pasukannya yang berjumlah sekitar 100 orang masuk kota Pinrang untuk membebaskan Addatuang Sawitto La Tamma dan isteri La sinrang I Makkanyuma.

Pada saat itulah La Sinrang di kepung ketat dan kedua orang kesayangannya, yang disandera dan di tahan dijadikan perisai oleh Belanda, dengan isyarat bahwa jika La Sinrang melakukan perlawanan, maka kedua orang kesayangannya akan dibunuh.

Ditawan Belanda, Dibuang ke Jawa

Demi kelangsungan kerajaan Sawitto dan keselamatan rakyat banyak serta keselamatan jiwa kedua orang kesayangannya tersebut akhirnya La Sinrang berhasil ditangkap oleh Belanda.

La Sinrang akhirnya ditawan Belanda, praktis perlawanan pasukan La Sinrang dengan mudah dapat di patahkan oleh tentara Belanda, apalagi setelah tertangkapnya pula teman La Sinrang sebagai salah seorang pasukannya yaitu Uwa Dadi pada tanggal 31 juli 1906.

La Sinrang ditawan oleh tentara Belanda atas permintaan ayahnya sendiri. Oleh ayah andanya dan beberapa temannya, bukan karena La Sinrang kalah perang ataupun di tangkap oleh tentara Belanda.

Tetapi sebelum La Sinrang menyerahkan diri, dia berpesan bahwa aku ( La Sinrang ) mau menyerahkan diri kepada Belanda jika peluruhku sudah habis semuannya. Demikianlah pesan dan sekaligus janji kepada dirinya sendiri, janji ini memang di tepati oleh La Sinrang, tepat pada peluru yang penghabisan, La Sinrang datang menyerahkan diri.

Penyerahan dirinya tidak langsug kepada tentara Belanda, akan tetapi ia datang hanya kepada ayahnya sebagai orang yang di tempati mengikrarkan janjinya dulu.

Setelah menghadap addatuang Sawitto La Temma (ayahhandanya sendiri), maka barulah kemuadian Belanda menahannya dan mengasingkannya ke daerah tempat pembuangan.

Setelah ditahan beberapa hari lamanya La Sinrang di kunjungi “Tuan Petoro” (controluer).

Meskipun La Sinrang dalam tawanan keberanian La Sinrang tidak kendor sedikit pun. Suatu adegan yang mengagumkan ketika Tuan Petoro mengulurkan tangan kepada La Sinrang dengan maksud berjabat tangan dengan tagan kiri, karena tangan kanan tetap memengang gagang kerisnya.

Peristiwa tersebut membuat orang yang menyaksikannya merasa kagum di ikuti dengan rasa keragu-raguan dan hati yang berdebar-debar. Pada pertemuannya antara Tuan Petoro dengan La Sinrang tersebut Tuan Petoro mengajak La Sianrang ke Makassar dengan alasan untuk berkenalan dengan pembesar-pembesar Belanda di Makassar.

Ajakan tersebut di terimah oleh La Sinrang dengan syarat seluruh pasukannya turut serta pula. Untuk itu berangkatlah La Sinrang di antar menghadap ke pare-pare dengan hanya mengendarai kuda turut pula dalam rombongan itu adalah Arung Lepangeng, Arung padakkalawa, Arung Talabangi, Ajudannya sendiri yaitu La Salatang.

Di Pare-pare dia diterimah oleh Tuan Obas (overste) Belanda dan semuanya di perlakukan sebagai tawanan untuk selanjutnya di bawah ke Makassar untuk di masukkan ke dalam penjara.
Beberapa hari lamanya La sinrang dan ajudannya La Salatang berada di Makassar dalam penjara Belanda.

Dengan pertimbangan demi keamanan khususnya kerajaan Sawitto, maka La Sinrang dan ajudannya harus dibuang ke pulau luar sulawesi. La Sinrang kemudian di buang ke pulau jawa bersama dengan istrinya I Makkanyuma, juga ikut di buang ajudannya sendiri (La Salatang), La Mattoliang, I Daruma dari langnga.

Mereka di tempatkan di tiga tempat yaitu Bogor, Bandung, dan Banyumas.

Dibebaskan 1937, Meninggal 1938

Setelah La Sinrang menjalani pahit getirnya kehidupan seorang tawanan dalam pengasingan di daerah tempat pembuanganselama tiga puluh satu tahun (31 tahun), karena sudah lanjut usia dan dalam keadaan sakit-sakitan serta dianggap tidak berbahaya lagi bagi kedudukan pemeritahan Belanda, maka akhirnya La Sinrang di bebaskan dari tawanan dan dikembalikan ke Sawitto pada tahun 1937.

Dalam sumber lain di sebutkan bahwa sekitar tahun 1938 La Sinrang di pulangkan ke Sawitto ( pinrang), setelah bertahun-tahun menekan dalam tahanan di tempat pembungannya, dengan menderita penyakit yang cukup parah.

Konon selama ditahanan La Sinrang di beri suntikan khusus yang mampuh melumpuhkan syaraf. Kesehatan beliau sudah semakin parah. Di samping sebahagian anggota badannya lumpuh tak berdaya, juga beliau hanya mampu berbicara dengan bahasa isyarat atau bisu.

Belanda mengembalikan La Sinrang dari daerah pembuangan, mungkin kesempatan terakhir di negeri yang sejak semula dibela dan di pertahankanya. Pada tanggal 29 oktober 1938, jenaza baginda di makamkan di Amassangang (terletak dipinggir kota Pinrang sekarang).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved