Nongki Bareng Idris Manggabarani: Semester 2 Putuskan Mandiri, Jadi Marketing Vespa Sambil Kuliah
"Semester 2 di Fakultas Ekonomi Unhas, saya memutuskan untuk tidak menerima bantuan dari orang tua," katanya.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Arif Fuddin Usman
Laporan Wartawan Tribun Timur, Muhammad Fadhly Ali
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, nama Andi Idris Manggabarani tentu tidak asing lagi.
Kiprahnya dalam ekonomi dan sosial kemasyarakatan di daerah Sulsel telah memberi sumbangsih nyata dalam pembangunan daerah.
Buktinya? Melalui unit-unit perusahaannya, ia telah menyediakan ribuan lapangan kerja bagi masyarakat Sulsel. Hal ini di luar kerja sosialnya. Sedekah bantuan dana, bersih masjid, donor darah, dan aksi sosial lainnya tak luput dilakukan.
Baca: Target Sejuta Wisatawan, Kemenpar RI Promosi Danau Toba di Makassar
Baca: Proyek Kereta Api dan SPAM Regional Mamminasata Masuk Pengawasan Kejati, Ada Apa?
Beruntung Tribun Timur di Nongrong Sambil Diskusi (Nongki) ke-34, menguliti cerita sukses anak ke-12 dari Andi Hasan Manggabarani, mantan Bupati Polewali Mandar itu di lantai 4 Gedung Tribun Timur Jl Cenderawasih No 430 Makassar, Kamis (6/12/2018).
Di awal cerita, suami Nur Lily itu kilas balik kala memutuskan hidup mandiri. Pascatamat di bangku SMA, tepatnya di Kartika Chandra Kirana Makassar Jl Sudirman Makassar pada 1982, ia perlahan berani menolak pemberian orang tuanya. Hingga di bangku kuliah, ia pun berjanji.
"Semester 2 di Fakultas Ekonomi Unhas, saya memutuskan untuk tidak menerima bantuan dari orang tua," katanya.
Kenapa? "Orang tua saya sudah banyak keluarkan dana untuk memesarkan anak-anaknya. Tepatnya 11 kakak saya, saya anak ke-12, paling bungsu. Saya pun tidak ingin menyusahkannya," kata lelaki kelahiran Makassar, 27 Januari 1964 itu.
Otomatis, Komisaris Utama IMB Grup saat itu harus mencari kerjaan. "Saya mencari kerjaan sana-sini. Alhamdulillah diterima di perusahaan otomotif, diler motor Vespa, PT Diana Indonesia sebagai marketing," katanya.
Uniknya, saat berhadapan dengan manager, Idris bilang tidak ingin digaji. "Saat itu saya tidak berfikir gaji, intinya mau membuka diri, perbanyak networking dengan tekad kuat. Saya tidak perlu gaji dulu. Biarkan saya kerja dan hasil dari kerja saya itu, baru dibayarkan," ujarnya.
Sesuaikan Waktu
Ia pun diterima. "Bos siapa yang tidak ingin menerima tawaran seperti itu. Saya diterima dengan kompensasi. Tidak mengikuti waktu kerja karyawan lainnya," katanya.
Ini mengingat, Idris harus menyesuaikan waktu kuliahnya dengan waktu kerja. Pukul 11.00 Wita kuliah selesai, ia lebih dulu dilatih menjadi seorang marketing.
"Produk knowledge saya pelajari hingga tiga hari, hingga semua informasi terkait tipe, keunggulan, dan promo produk Vespa sudah dihafal di luar kepala," katanya.
Lebih dekat dengan Tribun Timur, subscribe channel YouTube kami:
Tidak sekadar pengetahuan terkait produk, penampilan pun harus harus mumpuni. "Saya pakai dasi, dengan kemeja. Seperti eksekutif muda. Apalagi kala itu, badan saya cukup oke, begitu juga dengan tampang pun cukup oke," katanya.
Selepas training, ia pun memulai kerja. Mantan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI ) Sulsel itu mendapat dispensasi boleh bekerja pukul 11.00. Mengingat, pagi ia harus kuliah.
"Bahkan, ada satu dua hari saya tidak masuk kantor dan bekerja karena harus kuliah. Namun saya tetap lapor, daftar kunjungan ke pimpinan," ujarnya.
Menjadi marketing adalah kesyukuran dirinya. Ia menilai kerjaan tersebut menjadi jendela keberhasilan, kesuksesan, dan awal jadi besar. Karena networking-nya yang luas, membuat rezeki lancar.
"Saya pun mendatangi seluruh instansi, baik dinas, perusahaan, hingga Polri dan TNI. Tidak lain menawarkan produk jualan saya," katanya.
Cerita unik diumbarnya. Kala itu tahun 1988, ia ingin menawarkan produk Vespa-nya kepada Panglima kala itu.
"Sebelum ketemu, saya tidak ingin terlihat seperti sales. Bermodal dasi dan kemeja, saya permisi ke prajuritnya dengan alasan ingin bertemu Panglima berbicara terntang kesejahteraan para prajurit," katanya.
Cerdas sebagai Marketing
Di situlah cerdasnya Idris sebagai Marketing. "Karena yang piket provos tahu ini tentang kesejahteraan para prajurit, nah dia antar saya ke Panglima. Apalagi saya pakai dasi dengan tas ala bos muda, padahal isinya browsur Vespa," katanya.
Ketemu Panglima, ia berbagi informasi bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan memberikan motor sebagai alat transportasinya.
"Saya katakan saat itu, untuk mendapat motor Vespa, tidak perlu bayar uang muka. Saya kasi DP 0 persen. Nah bukan hanya sekarang DP 0 persen itu ada, Mas Joko ketinggalan zaman bila mengandalkan hal itu," ujarnya.
Namun saat itu, Panglima harus membantu dirinya untuk memberi daftar gaji prajurit, sehingga bisa ia atur berapa angsuran perbulan yang dibayarkan.
Follow juga akun instagram official kami:
"Mendengar itu, Panglima tertarik, bahkan Panglima yang pertama membelinya. Saya pun menyeruhkan ke perusahaan untuk memberi diskon," ujarnya.
Idris pun diarahkan Panglima untuk memajang Vespa di aula. "Saya kerja sendiri, naikkan Vespa ke pikap, dan mengantarnya kesana. "Alhamdulillah sehari ada 30 unit terjual," ujarnya.
Bertemu Banyak Orang
Memilih profesi marketing pun jadi pastion-nya. Bertemu dengan banyak orang, membangun networking yang bagus. Sebagai ganjaran, ia diberi bonus Vespa baru atas penjualan yang fantastis dihasilkannya.
"Namun GM-nya kala itu merasa tidak nyaman. Kebetulan ia anak mantan gubernur. Harmonisasi tidak terjalin. Akhirnya disampaikan manajer saya, GM tidak terima saya diberi bonus motor," ujarnya.
Ini dikarena, lama kerja yang masih minim sudah dapat bonus sebesar itu. "Saya pun memutuskan keluar. Padahal kalau diingat, saat masih kuliah sambil kerja, gaji saya RP 60 ribu di diler.
Lalu disidang sama Tetta dan Mama bersama kakak. Bapak bilang, ini anak kenapa mau kerja, padahal masih bisa saya biayai. Jangan sampai sibuk kerja tidak selesai kuliahnya," katanya mengikuti ucapan bapaknya.
Tenttanya pun menawarkan untuk bekerja sama bapak dan kakaknya. Gajinya pun di atas gajinya kini, Rp 120 ribu per bulan.
"Saya menolak dan memilih gaji Rp 60 ribu, daripada harus digaji sama keluarga sendiri. Terus kerjanya belajar saja sampai selesai," ujar Idris.
Paling menyentuh, kala gaji perdananya Rp 60 ribu diberikan kepada sang Mama. "Pas saya kasi, Mama saya menangis. Ia bilang Mama tidak butuh pemberian mu. Umur seperti ini sudah bekerja keras, saya pun dipeluk. Ia mendoakan saya semoga sukses," ujarnya.
Meski ia menyelesaikan kuliah hampir 5 tahun, namun ia sudah punya pengalaman banyak bagaimana hidup mandiri.
"Saya lambat lulus karena skripsi yang keburu. Namun di sisi lain, buah dari bekerja sebagai marketing dengan waktu yang relatif lebih sedikit ketimbang karyawan lainnya yang menjual pukul 08.00 hingga 17.00 Wita, masih jauh lebih banyak saya," katanya.
Bayangkan, saat kerja full, rekannya hanya mampu menjual 5 unit hingga 10 unit per bulan, sedangkan Idris mampu menjual rerata 15 unit per bulan.(*)