Tribun Wiki
TRIBUNWIKI: Masih Ingat Becak? Begini Riwayat dan Asal Usulnya!
Ada yang menyebut becak diperkenalkan dari Hongkong atau China tahun 1941 hingga meluas ke Pulau Jawa. Dan dari Surabaya lalu dibawa ke Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kota-kota besar di Indonesia kebingungan mengendalikan polusi udara yang ditimbulkan oleh lalulalang kendaraan. Selain itu, kemacetan lalulintas pun hingga kini belum menemukan solusi efektif sebab volume kendaraan dengan beragam jenisnya terus bertambah.
Pengendalian kepemilikan kendaraan telah diterapkan pemerintah dalam beberapa tahun melalui kebijakan Pajak Progresif—dimana pemeilik kendaraan roda empat dengan jumlah diatas dua buah akan dikenakan tarif pajak khusus.
Tapi tampaknya, kebijakan ini tak jua mampu menekan jumlah kendaraan yang saban hari malang melintang diruas-ruas jalan perkotaan, seperti Makassar.
“Perihal kendaraan bebas polusi udara alias ramah lingkungan, mengingatkan kita pada ‘Becak’. Moda transportasi roda tiga ini tergolong ramah lingkungan, sebab tak menggunakan bahan bakar minyak sebagaimana kendaraan modern lainnya. Mesin pembakarnya, adalah sang penggayuh sendiri. Lebarnya, tak cukup semeter. Panjangnya, lebih semeter dengan tenda segi empat yang juga tak cukup semeter persegi,” jelas pengamat sosial dan praktisi demokratsi, Abdul Karim.
Selain ramah lingkungan, menurut mantan Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel yang aktif meneliti becak di Makassar itu, becak juga tergolong moda transportasi “ramah Polantas”.
“Becak tak wajib memiliki surat-surat kendaraan seperti STNK dan BPKB. Pengendaranya pun tak harus mengantongi Surat Izin Mengemudi (SIM). Dan ketika melanggar rambu-rambu lalu lintas, pengendaranya bebas tilang. Karena itu, becak ramah polantas. Tak pernah berurusan dengan Polantas,” kata Karim.
Menumpangi becak, keselamatan pun relatif terjamin. Jarang ditemukan terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti tabrakan antar sesama becak. Dan juga efektif, sebab becak mampu menyusuri jalanan sekelas lorong (gang) dikota. Penumpang bucak dapat diantar hingga depan rumahnya, kendatipun jalanannya harus menyusuri lorong-lorong sempit. Efektif pula, lantaran tarifnya tak semahal moda transportasi modern lainnya, seperti Taxi.
Pengayuh becak, umumnya didominasi oleh kelas masyarakat bawah dengan tingkat pendidikan yang terbatas.
Lebih luas lagi, artikel Erwiza Erman dalam “Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa” berjudul “Kehidupan dan Politik Penarik Becak di Jakarta [1930-1960]: (Buku Obor-KITLV Jakarta, 2013)” menyebut penarik becak adalah sebuah kategori sosial yang digolongkan sebagai masyarakat kelas bawah dengan berbagai stempel yang dikenakan pada mereka, yakni kemiskinan, ketidakteraturan, dan kekotoran serta pengganggu keindahan dan ketertiban kota.
Berbagai stempel itu, menurut Erwiza dikonstruksi umumnya oleh para agen pembangunan kota.
Sementara itu, Sartono Kartodirjo lewat studinya tentang latar belakang sosial-ekonomi tukang becak tahun 1970-an di sekitar Yogyakarta menyebut, bahwa para penarik becak umumnya berasal dari kelas bawah seperti petani penggarap, dan berpendidikan rendah (Sartono Kartodirjo; 1981). Sebab memang dalam faktanya, untuk menjadi penarik/pengemudi becak tak memerlukan keahlian tertentu.
Di kota Makassar, kita jumpai pengayuh atau penarik/tukang becak sering menanti penumpang di pinggir jalan utama. Adapun pemilik becak, biasanya dimiliki oleh kelas masyarakat mampu dengan sistem sewa harian oleh para pengayuh/penarik becak. Relasi patron-klien kental disini.
Tetapi sejak tahun 2004 becak dikota Makassar mulai tersingkir. Moda transportasi roda tiga ini tersingkir oleh kelahiran “adik tirinya” sendiri yang dikenal dengan nama “Bentor” (becak motor), sebuah kendaraan beroda tiga meneyerupai becak, hasil modivikasi motor bekas dengan becak.
“Ada yang bilang, evolusi becak ke bentor ide awalnya berasal dari kota Gorontalo. Namun menumpangi bentor tentu saja tarifnya tak semurah becak, sebab Bentor menggunakan bahan bakar minyak. Dan, tentu pula Bentor tak ramah lingkungan dan tak ramah Polantas,” ujar Karim.
Tetapi Bentor terlanjur tumbuh walau dengan menggunakan motor bekas. Kemudian sekitar tahun 2004 Bentor dengan motor baru mulai bertumbuh. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh semakin bertumbuhnya perusahaan pembiayaan kepemilikan kendaraan motor dengan diskon dan layanan kemudahan lainnya.
Sejumlah perusahaan pembiayaan berlomba memberi kemudahan pada publik untuk transaksi kredit motor. Di era inilah, pembiayaan kredit kendaraan tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Motor misalnya, dapat dimiliki hanya dengan menyetor Rp 500 ribu uang panjar dengan syarat administrasi yang mudah pula. Cukup dengan foto copy KTP, kartu keluarga, dan rekeing pemabayaran listrik. Maka semakin massiflah pertumbuhan bentor, dan kian hari becak semakin langka.
Walau begitu, becak tak mesti “dibuang” begitu saja. Becak tak harus dilupakan begitu saja, sebab ia adalah bagian dari masa lalu kota Makassar. Dengan kata lain, becak merupakan salah satu bagian dari sejarah kota Makassar yang megah ini. Lantas, bagaimana riwayat roda tiga ini?
Asal Muasal
Becak punya cerita, becak punya kisah sejarah yang panjang. Mulai sejarah ekonomi, sosial, politik, urbanisasi hingga sejarah tentang kemiskinan di kota ini.
Barangkali karena terabaikannya komunitas becak dalam historiografi di Indonesia membuat naskah tentang asal muasal becak secara umum sangat terbatas. Erwiza Erman dalam artikelnya “Kehidupan dan Politik Penarik Becak di Jakarta [1930-1960]: (Buku Obor-KITLV Jakarta, 2013)” menyebut sejumlah sumber sejarah yang terbatas itu bertema becak, diantaranya; Sartono Kartodirjo memulai studi latar belakang sosial-ekonomi tukang becak pada tahun 1970-an (1981).
Ada pula Prof DR Sry Edi Ahimsa yang menganalisis etnografi tiga keluarga tukang becak di Yogyakarta (1977a, 1977b, dan 1978). Studi kontemporer tentang penarik/tukang becak lahir dari karya Heru Winarno (1997), Verdi yusuf (1992), Kamala (1994), Azuma (2001), dan Paul Koetsier (1989).
Erwiza Erman merujuk pada Warren (1986) menyebut becak pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1869 dan kemudian menjadi transportasi modern diakkhir abad 19 dan awal abad ke-20.
Bentuk awalnya, sangat sederhana, ditarik oleh orang didepan. Pelan-pelan becak mengalami kemajuan tekhnologi, tak lagi ditarik oleh tanaga manusia, tetapi dijalankan dengan roda tiga, oleh penarikanya dibagian belakang. Pada abad 19 dan abad ke-20 kendaraan ini dijumpai di kota-kota besar seperti Yokohama, Peking, Shanghai, Rangoon, Hongkong, Calcutta, Singapura dan Jakarta.
Ada pula yang menyebut, becak mulai populer di Asia Tenggara pada tahun 1940-an. Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar, menulis becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an.
Tak diketahui persisnya, kapan becak mulai hadir di Indonesia dan dari mana ia didatangkan. Tetapi di Surabaya—menurut Erwiza Erman, becak telah hadir disana yang dikenal dengan Angkong sebelum tahun 1900, pemilik dan penariknya umumnya berasal dari suku Hok Cia.
Adapula yang menyebut becak diperkenalkan dari Hongkong atau China pada tahun 1941 hingga meluas ke Pulau Jawa. Dan dari Surabaya lalu dibawa ke Makassar. Namun, pemberitaan Jawa Shinbun, edisi 20 Januari 1943 menyebut, becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia (Jakarta) pada akhir tahun 1930-an.
Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam catatan berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan, becak ditemukan orang Jepang yang bermukim di Makassar, bernama Seiko-san. Ia memiliki toko sepeda. Karena penjualan seret, ia memutar otak agar tumpukan sepeda yang tak terjual bisa dikurangi. Dia membuat kendaraan roda tiga, dan terciptalah becak.(*)