Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Polisi Tewas Akibat Gempa dan Tsunami Palu saat Akan Lamar Kekasihnya

Korban tewas akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, terus bertambah. Satu di antara ratusan korban tewas adalah

Editor: Edi Sumardi
TRIBUN BALI
Gusti Kade Sukadana dan Gusti Kade Miliasih menunjukkan foto anaknya, Gusti Kade Sukamiarta, di rumah duka di Mendoyo, Jembrana, Bali, Minggu (30/9/2018). Sukamiarta alias Gus Maiz turut jadi korban gempa dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Korban tewas akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, terus bertambah.

Versi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 844.

Namun, versi lembaga kemanusiaan ACT, jumlah korban tewas sebanyak 1.203.

Satu di antara ratusan korban tewas adalah warga Mendoyo Dangin, Banjar Tengah, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, Provinsi Bali, Brigadir I Gusti Kade Sukamiarta (32).

Mirisnya lagi, anggota Polri itu disapu tsunami ketika sudah bersiap melamar calon istrinya.

Ayah korban, I Gusti Kade Sukadana (57), menuturkan sang anak bertugas di Palu sejak 2005 setelah lulus SPN Singaraja.

Dalam waktu dekat, korban yang akrab disapa Gus Maiz berniat melangsungkan pernikahan.

Sesuai rencana, pekan ini dijadwalkan upacara lamaran.

Keluarga Gus Maiz akan menemui keluarga kekasihnya di Palu.

Selasa (2/10/2018) besok, Gus Maiz sedianya akan pulang ke Bali.

Selanjutnya, Kamis (4/10/2018) atau Jumat (5/10/2018), Gus Maiz mengajak ayahnya, Gusti Kade Sukadana, beserta ibunya, I Gusti Ayu Kade Miliasih (63), terbang ke Palu.

"Maunya akan ada lamaran. Anak saya akan menikah dengan pacarnya yang ada di Palu," tutur Gus Sukadana lirih saat ditemui di kediamannya, Minggu (30/9/2018).

Menurut Gus Sukadana, dewasa (hari baik) pernikahan sudah ditetapkan keluarganya.

Pernikahan secara adat Bali itu dijadwalkan menjelang Hari Raya Galungan pada Desember mendatang.

"Rencananya menikah dekat-dekat dengan perayaan Galungan mendatang," katanya dengan terbata-bata.

Namun takdir berkata lain. Rencana momen bahagia tersebut pupus setelah gempa bermagnitudo 7,4 SR dan diikuti tsunami menerjang Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Jumat (28/9/2018) sore.

Gus Maiz turut menjadi korban bencana dahsyat tersebut.

Gus Sukadana tidak dapat menahan pilu hatinya dengan kejadian itu.

Air mata berlinang dari matanya.

Terkadang tatapannya kosong, mengingat anak laki-laki tunggalnya itu.

Gus Maiz adalah anak ke dua dari dua bersaudara, Gus Maiz lulusan SPN Singaraja tahun 2005, dan langsung bertugas di Palu.

Ia menjadi anggota Satuan Lalu Lintas Polres Palu.

Saat gempa mengguncang dan diikuti tsunami di Palu, korban dikabarkan tengah bertugas untuk pengamanan (PAM) di Festival Palu Nomoni.

"Selama kariernya di polisi, dia sangat perhatian dengan orangtua. Ibunya selalu diperhatikan. Dan, kami tidak ada firasat apapun sebelum kejadian ini," ungkap Gus Sukadana.

Pacar Selamat

Kakak perempuan Gus Maiz, I Gusti Ayu Putu Widiantarini (35), menuturkan, terakhir berkomunikasi lewat telepon dengan adiknya dua hari sebelum kejadian.

Dan kabar meninggalnya Gus Maiz disampaikan pacar adiknya, yang berhasil selamat dan kini berada di pengungsian.

"Sempat pacar adik saya telepon kemarin malam (Sabtu malam). Dia bilang kalau adik meninggal. Posisi pacarnya adik di pengungsian, tapi ditelepon lagi tidak bisa," ucap Widiantari, sembari menuturkan pada Selasa besok dijanjikan akan dikasi uang oleh sang adik.

“Tidak biasanya adik mau kasi uang ke saya," sambungnya dengan nada pelan.

Widiantarini mengungkapkan lagi, Gus Maiz biasanya setiap setahun sekali pulang ke Bali.

Biasanya setiap Nyepi.

Namun, dalam dua tahun belakangan ini tidak pulang.

Gus Maiz selama ini menjadi tulang punggung keluarga, karena orangtuanya hanya bekerja sebagai petani. "Ibu itu selalu dikirimin uang Rp 1 juta setiap meminta, karena tidak punya uang," ungkapnya.

Sementara ibu korban, I Gusti Ayu Kade Miliasih mengungkapkan rencananya korban akan diaben di antara dua hari baik dalam kepercayaan Hindu Bali, yakni 4 Oktober 2018 atau 10 Oktober 2018.

Namun, hingga kemarin keluarga masih kesulitan berkomunikasi dengan berbagai pihak di Sulawesi Tengah. Belum ada kepastian yang jelas kapan jenazah Gus Maiz tiba di Bali.

"Semoga jenazahnya cepat dikirim ke Bali agar bisa segera diaben di sini," harap Miliasih.

Ipar korban yang juga anggota polisi, Ketut Sumadiya, menyebutkan kemarin jenazah korban dikabarkan berada di RS Bhayangkara, Sulawesi Tengah.

Karena itu, keluarga pun menggelar peneduh (terop) untuk menyambut jenazah.

Hanya saja, kabar kepulangan adik iparnya itu masih simpang siur. Sempat dikabarkan jenazah akan dipulangkan kemarin sore, ternyata batal.

Ada info harus keluarga yang tanda tangan untuk kepulangan jenazah dari Palu. Sementara tak ada pihak keluarga di Palu.

"Katanya akan dipulangkan hari ini (kemarin, red). Tapi informasinya setiap jenazah yang akan dipulangkan, menunggu tanda tangan dari pihak keluarga. Kalau tidak begitu, jenazah itu tidak bertuan. Kalau tidak ada tanda tangan keluarga, jenasah akan dikubur massal. Nah, ini jadi kesulitan dan keluhan kami," bebernya.

Dimakamkan Massal

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, hingga Minggu (30/9) siang, tercatat 832 korban meninggal dunia akibat gempa bumi dan tsunami yang melanda Kota Palu dan Kabupaten Donggala.

Para korban yang telah teridentidikasi kemudian dimakamkan secara massal dengan berbagai pertimbangan.

"Banyak korban yang dimakamkan secara massal karena pertimbangan kesehatan. Dan korban yang meninggal dimakamkan setelah diidentifikasi melalui DVI, face recognition, sidik jari," kata Sutopo dalam konferensi pers di Gedung BNPB, Jakarta, Minggu (30/9/2018).

Menurut Sutopo, para korban meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan saat peristiwa gempa dan tsunami.

Ada pun rinciannya, 821 korban meninggal di Kota Palu dan 11 korban meninggal di Kabupaten Donggala.

Sementara itu, korban luka tercatat 540 orang, pengungsi 16.732 orang yang ada di 24 titik.

Sutopo mengatakan, jumlah korban kemungkinan masih akan terus bertambah karena pencarian dan evakuasi terus dilakukan.

Proses pencarian dan evakuasi korban kemarin fokus di Hotel Roa Roa yang runtuh, Ramayana, Pantai Talise, hingga perumahan Balaroa. "Di Hotel Roa Roa diperkirakan ada 50-an orang korban," lanjutnya.

Sutopo mengatakan, operasi SAR tidak mudah karena terkendala listrik padam, minimnya fasilitas alat berat, hingga terputusnya akses menuju lokasi.

Tanggap Darurat

Sutopo menambahkan, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola telah menetapkan masa tanggap darurat terhadap gempa dan tsunami di Palu.

Masa tanggap darurat ditetapkan selama 14 hari, sejak 28 September 2018 hingga 11 Oktober 2018.

"Gubernur telah menunjuk Danrem Konrem 132/Tadulako sebagai komandan tanggap darurat penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah," ujarnya.

Sutopo menjelaskan, dengan ditetapkan status tanggap darurat, maka pemerintah daerah dan nasional memiliki kemudahan akses untuk pengerahan personel, logistik, peralatan, termasuk penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan dalam penanganan darurat di Sulawesi Tengah.

Posko induk tanggap darurat juga ditempatkan di Makorem 132/Tadulako, Kota Palu. Selain itu, setiap kabupaten yang terdampak juga mendirikan posko sehingga koordinasi dapat berjalan dengan baik.

Ada empat kabupaten/kota yang terdampak gempa dan tsunami, yaitu Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong. "Mendagri telah mengeluarkan surat kawat, memerintahkan buptai dan wali kota di empat kabupaten/kota tadi segera menetapkan status tanggap darurat agar ada kemudahan akses sehingga penanganan bisa dilakukan cepat," kata Sutopo.

Menurut Sutopo, ada dana siap pakai Rp 560 miliar dari BNPB yang siap dialokasikan dalam penanganan darurat gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan wilayah terdampak lainnya di Sulawesi Tengah.

Jika ternyata dana tersebut kurang, BNPB akan mengajukan permohonan tambahan anggaran penanganan darurat ke Kementerian Keuangan.

Di sisi lain, Sutopo mengakui ada kendala dalam mengalokasikan dana untuk menangani bencana di Palu. Salah satunya, BNPB harus memikirkan penanganan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang belum selesai.

"Karena kami juga menangani dampak gempa Lombok yang belum selesai, membutuhkan dana triliunan. Kemudian ditambah dengan kebutuhan dana penanganan di Sulteng," kata dia.

BNPB siap memperjuangkan dukungan bantuan mulai dari pendanaan, logistik hingga operasional di wilayah terdampak gempa bumi dan tsunami.

"Kami juga akan membelanjakan bantuan kebutuhan untuk penanganan para korban dibelanjakan di Makassar. Kemudian, segera diangkut menggunakan pesawat Hercules ke Palu," ujar Sutopo.

Ia memastikan, TNI, Polri, kementerian, dan lembaga terkait terus mendukung penanganan bencana.

Status Bencana Nasional

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah tak menetapkan status bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala sebagai bencana nasional.

Alasannya, pemerintahan daerah di wilayah Sulawesi Tengah masih berjalan.

Kondisi ini berbeda dengan situasi yang terjadi saat bencana yang sama terjadi di Aceh pada 2004.

"Kalau ditetapkan bencana nasional itu salah satu sebabnya kayak di Aceh kalau pemerintahnya lumpuh. Di sana (Palu) gubernur masih ada, bupati masih ada, (pemerintahan) masih jalan," kata Kalla, yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), di Kantor PMI, Jakarta, Minggu (30/9/2018).

Kalla menjelaskan, tidak adanya status bencana nasional bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan dalam menangani korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.

Ia memastikan, tidak ada perbedaan perlakuan antara bencana yang berstatus becana nasional maupun tidak.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved