Tsunami, Gempa Palu - Penerjun Abadikan Dirinya di Udara Jelang Kejadian, Sebagian Rekannya Hilang
Sekitar 3 Jam Sebelum Tsunami, Petra Mandagi Abadikan Teluk Palu dari Paraglider
TRIBUN-TIMUR.COM - Update info gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
Petra Nathaniel Mandagi (35), satu dari 34 penerjun paraglider nasional sempat mengabadikan Teluk Palu, yang jadi wilayah sumber gelombang tsunami pasca-gempa 7,7 SR, Jumat (28/9/2018) petang.
Baca: Tsunami Palu - Momen Capt Fella dan Penumpang Batik Air Selamat Karena Cepat Terbang ke Makassar
Petra adalah 1 dari 34 paraglinder yang ikut Parade terjun X-Country 2018 di Festival Pesona Palu Mamoni, yang digelar 3 hari di Kota Palu.
Hingga Sabtu (29/9/2018) petang, atau 24 jam pasca-gempa dan tsunami, Petra dan 9 rekannya, masih berstatus hilang.
Baca: Gempa, Tsunami Palu dan Donggala - Warga Mulai Menjarah Barang di Toko-toko
Melalui akunnya pada Instagram @petranathanaelmandagi, Petra mengabadikan beberapa frame foto udara dengan kamera G-Pro dari kabin paraglidingnya.
Dari foto yang diunggah dari Hotel SwissBel, Silai, jalur Trans Palu-Donggala, sekitar pukul 14.00 Wita itu, sekitar 3 jam sebelum tsunami, terlihat jelas Kota Palu, Pantai Talise, Pelabuhan Pantoloan, dan Sungai Galambuse.
Gugusan Pegunungan yang diduga merupakan Jalur patahan Sesar Palu Koro, yang diduga kuat jadi sumber rentetan gempa, sepanjang Jumat (28/9/2018) dini hari hingga puncak Gempa 7.7 SR yang memicu tsunami, Jumat petang.
Baca: Nomor Ponsel Sempat Tidak Aktif, Begini Kabar Pasha Ungu dan Istri Sekarang
Hingga Sabtu (29/9/2018) petang, 20 panerjun paralayang yang sudah terevakuasi di Lanud Hasanuddin, Makassar.
Diantara mereka ada 5 atlet asing.
Ke-20 nama atlet yang akan diterbangkan ke Jakarta dengan pesawat Hercules TNI-AU itu, yakni:
1. Alfari Widyasmara,
2. Yustira Rama,
3. Hery dotulong,
4. Agus Wahyudi,
5. Wahyudi Widodo,
6. Rio Indra,
7. Agus sumanjaya,
8. Tagor lasak,
9. Michael,
10. Hans Mawikere,
11. Yhosi Pasha,
12. Rizky Dermawan,
13. Sugeng Santoso,
14. Viky Mahardiha,
15. Gigi Iman,
16. Gening Paradigma,
17. Ng Kok Choong,
18. Sulton Nur CH Opier,
19. Taufiq, dan
20. Francois de Neuville.
Ayah Tewas saat Atraksi
Sungguh tragis.
Theo Mandagi, ayah Petra, tewas justru pada saat sedang merayakan pemecahan rekor terjun payung kerjasama di udara yang dilakukan 100 penerjun dari 17 negara.
Kejadiannya pada 11 Agustus 2004.
Setelah berhasil memecahkan rekor, sejumlah penerjun lalu berinisiatif melakukan sunset jump, yakni terjun bersama-sama menjelang matahari terbenam.
Ajal tak dapat ditolak, payung Theo tidak membuka dengan sempurna. Akibatnya tubuh ayah dua anak ini meluncur bebas dan kemudian menghujam ke rawa-rawa di dekat Bandara Internasional, Ngurah Rai, Badung, Bali.
"Waktu itu saya memang mulai gelisah. Saya tidak melihat payung papa di antara penerjun," ujar Petra, putra Theo.
Ketika perasaan itu dikemukakannya, sang kakak, Pingkan, mencoba menenangkan dengan mengatakan dia tadi melihat payung papa mereka sudah mendarat.
"Saya kaget ketika melihat ternyata penerjun yang payungnya tidak mengembang itu Theo Mandagi," ujar Effendi Soen, sahabat Theo, yang waktu itu berada di lokasi.
Bahkan kamerawan TVRI itu sempat mengambil gambar detik-detik tubuh Theo meluncur ke bumi.
"Padahal sehari sebelumnya Theo bilang walau usianya sudah di atas 55 tahun, dia merasa masih sangat fit dan mampu terjun lima kali sehari," ungkap Effendi.
Kematian Theo seakan melengkapi tragedi yang dialami keluarga Mandagi.
Sebab pada 18 Mei 1986 tiga saudaranya sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik akibat pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Serpong, Tangerang, Banten.
Dalam peristiwa itu pilot dan seluruh penumpang tewas, termasuk tiga Mandagi bersaudara: Robbie, Alfred alias Woddy dan Chrisye.
Pasalnya, selain merupakan drama kehidupan yang luar biasa, Mandagi Bersaudara sudah menjadi ikon olahraga terjun payung di Indonesia.
Bahkan prestasi dan kecintaan mereka pada dunia terjun payung ini menghantarkan empat dari enam bersaudara ini sebagai legenda di dunia terjun payung.
"Mandagi Bersaudara sangat berjasa dalam olahraga terjun payung Indonesia. Mereka jugalah yang membuat olahraga ini berkembang," tutur Nifsu Chasbullah, Ketua Pordirga PB FASI, yang mewakili rekan-rekan sesama penerjun payung memberikan penghormatan kepada keempat almarhum.
Uniknya, semua istri mereka ternyata juga penerjun. Bahkan kedua anak Theo juga sudah mengantongi jam terjun yang cukup tinggi.
"Sepeninggal Theo, Woddy, Chrisye, dan Robbie tidak ada larangan bagi anak-anak untuk tetap menekuni terjun payung," ujar Uci, istri Theo.
"Siapa tidak sedih kehilangan empat dari anak saya. Tapi itu mungkin sudah takdir," ujar Ny Nelly Margaretha, ibu Mandagi Bersaudara.
Saat ini kuburan empat bersaudara itu sudah disatukan di pekarangan rumah keluarga Mandagi di Kalasey, Minahasa, Sulawesi Utara.
Bagi Indonesia, khususnya warga Manado, mereka adalah pahlawan.
Itu sebabnya pemerintah berniat mendirikan museum Mandagi Bersaudara untuk mengenang jasa dan prestasi mereka.
In Memoriam Mandagi Bersaudara kian mengharukan manakala anak tiri Robbie Mandagi, Yusha, membuatkan sebuah video klip tentang Mandagi Bersaudara ini yang dipersembahkan untuk Oma tercinta.
Mengenang Mandagi Bersaudara, sama dengan mengenang legenda yang hidup.(*)