Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Haul ke-73 KH. Daeng Digelar di Masjid Raya Al Hurriyah Tinambung Polman

Nama K.H Daeng diabadikan sebagai nama jalan dalam wilayah Kabupaten Majene, pada masa pemerintahan H.Abdul Rasyid Sulaiman

Penulis: Nurhadi | Editor: Anita Kusuma Wardana
HANDOVER
Haul ke-73 KH. Daeng Digelar di Masjid Raya Al Hurriyah Tinambung Polman 

Laporan Wartawan TribunSulbar.com, Nurhadi

TRIBUNSULBAR.COM, MAMUJU - Yayasan KH. Daeng Mandar Majene, Sulawesi Barat, akan menggelar Haul ke-73 KH. Daeng, di Masjid Raya Al Hurriyah Tinambung, Kabupaten Polman, Sabtu (25/8/2018).

Haul ke-73 ulama kharismatik di tanah Mandar, yang memiliki nama asli KH. As'ad Harun Bin KH Harun Al Rasyid, rencana akan dihadiri langsung Al Habib Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf (Puang Makka) dan Bupati Majene H. Fahmi Massiara selaku ketua Yayasan KH. Daeng.

Selain itu, juga rencananya akan dihadiri Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar, Kapolda Sulbar, Brigjen Pol Baharudin Djafar, Bupati Polman, Andi Ibrahim Masdar, para pimpinan OPD Majene, Forkopimda Majene, penyanyi dangdut Cici Faramida dan ratusan undangan lainnya.

Panitia pelaksana Ahmad Fauzi Arif Lopa mengatakan, Haul KH. Daeng ke-73 tahun mengangkat tema 'dengan perayaan Haul KH Daeng ke-73 tahun, kita wujudkan masyarakat yang islami dan malaqbiq di tanah Mandar.

"Haul ini dalam rangka mengenang dan mengenal ulama kharismatik dan berkarakter di tanah Mandar, KH. Daeng,"kata Ahmad Fauzi kepada TribunSulbar.com.

Mengenal KH. Daeng

K.H Daeng adalah ulama kharismatik yang berkarakter Islam, beliau penyebar agama Islam di tanah Mandar dan sekitarnya. Melalui dakwah bil Qaul dan bil Hal. Beliau adalah seorang Qadhi di tanah Mandar dikenal dengan nama K.H Daeng yang nama aslinya Kiai Haji Muhammad As’ad Harun Rasyid. Tinggal di kampung Binanga Kabupaten Majene Eks Afdeling Mandar.

Kampung Binanga adalah sebuah kampung kecil dalam lingkup Kelurahan Labuang Kecamatan Banggae pada waktu itu dan sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Banggae Timur setelah daerah tersebut dimekarkan.

Sosok K.H. As’ad bin Harun Rasyid adalah seorang ulama kharismatik Panrita Kayyang lahir di Majene pada Tahun 1871 dan wafat pada 16 Agustus 1945 dalam usia 74 tahun. Beliau memprakarsai pendirian Masjid Nurul Asrar pada masa lampau dan berganti nama menjadi Masjid Nurul Abrar pada zaman sekarang yang terletak di Lingkungan Labuang.

Beliau juga sebagai Qadhi Balanipa pada tahun 1940 berdasarkan SK Disctrik Belanda pada saat itu dan menjadi Qadhi di Majene pada tahun yang sama, beliau menjadi Qadhi di Balanipa pada masa Raja Balanipa Andi Baso Pabiseang.

Sebagai sosok imam dan ulama kharismatik yang berkarakter, menjadikan KH. Daeng diberi amanah sebagai Qadhi penghulu syara’ di Balanipa ( Tinamboeng ) pada tahun 1940 dengan SK 7 Maret 1940 selanjutnya diberi amanah juga sebagai Qadhi di Majene ( Mara’dianna Sara’ ) pada tahun 1940 berdasarkan SK pada Tgl 11 April 1940. ( Mara’dianna Sara’ ) jabatan seorang Qadhi adalah jabatan yang fundamental dan prinsipil karena mengurus masalah-masalah agama dalam semua lini.

Dengan dua jabatan yang diamanahkan padanya, beliau melaksanakan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab dibantu oleh ketiga putranya yaitu K.H Abd Fattah, K.H Makmun As’ad dan K.H Djuaeni As’ad, ketika beliau udzur maka, qadhi di Balanipa dipercayakan kepada putra keduanya yaitu K.H. Makmun As’ad yaitu kita kenal dengan sebutan Qadhi Makmun (Puang Qadhi Ma’amun) sebagai Qadhi Balanipa.

Putra pertamanya K.H. Abd Fattah As’ad diamanahkan sebagai imam di Majene dan putra ketiganya K.H. Djuaeni As’ad diamanahkan sebagai imam di Kandemeng salah satu wilayah dalam Kabupaten Polmas pada saat itu, beliau hingga sekarang dikenal dengan istilah Imam Kandemeng.

Jabatan Qadhi Balanipa berikutnya diserahkan kepada anak mantunya yaitu K.H. Jalaluddin Gani dan raja pada saat itu adalah Ibu Agung Andi Depu.

Nama K.H. Daeng yang masyhur dan akrab di telinga masyarakat Mandar pada umumnya, adalah Kiai Haji Daeng, ( Puaji Daeng ) karena masyarakat pada saat itu sangat menghormati beliau, oleh karena masyarakat tidak mau menyebut nama secara langsung sehingga disebutlah KH Daeng (bahasa Mandar Poayi Daeng. red).

K.H. Daeng adalah putra dari K.H. Harun bin Rasyid putra bangsawan dari Banggae yang juga menyandang sebagai ulama dari tanah Mandar, sedangkan ibunya bernama Tanri (Puanna Ramuna) adalah seorang putri bangsawan Mandar cucu dari Jallanlino Mara’dia Topeyang, sehingga K.H. Daeng bukan hanya seorang ulama namun mengalir dalam darahnya mengalir darah ningrat yang bersendi Sara’.

K.H Daeng adalah anak pertama dari 5 bersaudara yaitu: K.H. Muhyiddin (Camba), Hj. Nuraeni (Binanga), K.H. Muhammad Said, dan Siti Fatima.

Dakwah yang dilakukan oleh K.H. Daeng bukan hanya dalam tataran berceramah dan pengajian namun dakwahnyapun dilakukan melalui washilah silaturahmi melalui pernikahan. K.H. Daeng menikah untuk pertama kalinya adalah dengan istrinya bernama Bengo, putri bangsawan Mandar dan Pa’bicara Kayyang di Balanipa dan melahirkan 3 orang putra (diseburkan di atas).

Ketiga anaknya juga menjadi kiai, ulama penerus ayahandanya yang tercinta. Kemudian beliau menikah dengan seorang putri bangsawan bernama Hj. Andi Suri ( Daenna Sokori ) dan melahirkan 2 putri Hj. Warda Kanna Yendeng dan Hj Raehan Daenna Ridu.

Kemudian menikah dengan Habibah dan melahirkan 2 putri Aisyah Kanna Sani dan Mariatul Qibtiyyah Puanna Kaeni. saudara K.H Muhammad As’ad bernama KH. Muhammad Said menikah dengan putri bangsawan Bulukumba beliau ke tanah suci Makkah untuk belajar di sana, kemudian kembali ke Bulukumba dan wafat dan dimakamkan di Bulukumba.

K.H.Daeng memiliki segudang kharismatik yang turun-temurun sampai ke anak, cucu, cicit dan buyutnya. Spirit keislaman yang menjadi dasar bahwa K.H. Daeng mencintai masyarakatnya dengan sikap tawadhu yang dimilikinya serta mengajarkan kepada kita untuk senantiasa Taqarrub kepada Ilahi pencipta alam semesta Allah SWT.

Pendidikan KH. Daeng

Menurut Sumber yang valid dari beberapa informan bahwa Kiai Haji daeng berguru ke luar daerah dan bahkan sampai ke tanah suci Makkatul Mukarramah selama 5 tahun, beliau mengkhatamkan Al-qur’an pada saat beliau masih muda.

K.H Daeng sejak kecil senang membaca Al-quran dan membaca kitab-kitab kuning milik ayahandanya sehingga tidak mengherankan bagi kita, beliau mampu membaca kitab kuning dalam usia muda dan mampu mengkhatamkan Al-qur’an.

Sejak kecil K.H Daeng rajin ikut berdakwah bersama ayahandanya K.H Harun. K.H Daeng sewaktu masih belia dididik langsung ayahandanya K.H Harun membaca kitab kuning (Kitab Gundul).

Beliau untuk lanjutkan pendidikannya bersama dengan seorang nelayan dengan memakai kapal layar ( Kapal Sandeq ) pada waktu itu. Selama 5 tahun di Makkah mengikuti pengajian kepada para ulama yang ada disana, beliau juga menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu 'Haji'.

KH Daeng berhasil mendidik ketiga putranya dalam bidang agama dan semuanya mampu membaca kitab kuning dengan baik dan mantap dan Alhamdulillah menjadi ulama besar di tanah Mandar.

Guru dan Murid KH. Daeng

Gurunya yang pertama adalah ayahandanya sendiri, kemudian guru K.H Daeng di tanah suci Makkah adalah seorang ulama besar yang ada di Arab Saudi pada saat itu.

Sedangkan murid K.H Daeng banyak tersebar keberbagai penjuru termasuk banyak murid beliau berada di Jawa dan Sumatera diantara murid beliau adalah guru dari Annangguru Latif ( K.H. Abd Lathif Al Busyra) Pimpinan Pondok Pesantren Salafi Parappe Pambusuang yang mempunyai santri santriwati sekitar 3.000 orang dan guru beliau adalah K.H Mustofa yang menjadi murid dari K.H Daeng.

Yang cukup khas dari beliau, bahwa pendidikan ketiga putranya dididik langsung oleh beliau, sehingga anaknya yang juga muridnya bahkan anak mantunya sendiri jadi muridnya yaitu K.H Jalaluddin Gani yang juga menuntut ilmu di Makkah seangkatan dengan K.H Muhammad Saleh.

Murid K.H Daeng yang lain adalah K.H Abdullah Mubarak, K.H Sirajuddin Salam dan masih banyak lagi murid lainnya sampai ke daerah lain dan muridnya pun aktif dalam mengembangkan syi’ar Islam di tanah Mandar.

Dakwah K.H.Daeng

Kegiatan dakwah adalah menjadi prinsip yang harus dilakukan oleh seorang ulama atau sang kiai, beliau tidak ingin menyimpan ilmu yang dia miliki tinggal begitu saja dalam dirinya, sehingga tekad kuat dan semangat dakwah yang mengalir dalam darahnya dan menggelora dalam hati sanubarinya menjadikan K.H Daeng ulama kharismatik berkarakter dengan keteguhan sikapnya, kecerdasan pemikirannya keberanian menegakkan kebenaran.

Ketawadhuan yang dimilikinya, berjuang dalam Dakwah Bil Lisan dan Dakwah Bil Amal, ilmu dasar yang beliau miliki di tuangkan secara maksimal kepada para muridnya baik Ilmu Al-qur’an, Tajwid, Aqidah, Filsafat, Tasawuf, Nahwu Sharaf dan ilmu agama lainnya. Dengan berbagai variatif ilmu agama yang beliau miliki sehingga menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah bagi para penerusnya.

Hasil Karya KH. Daeng

K.H Daeng melanjutkan hasil karya ayahandanya membangun masjid Nurul Asrar yang sekarang menjadi masjid Nurul Abrar serta menjadi pemrakarsa berdirinya masjid Mara’dia kerajaan Balanipa Tangnga-tangnga, Tinambung Polman, serta masih banyak lagi karya beliau yang belum terungkap dan belum dipublikasikan.

Keistimewaan dan Kharismatik KH. Daeng

Pernah suatu ketika K.H Daeng mengungsi ke perkebunan salama galung, pada waktu itu magrib beliau turun kesungai untuk berwudhu, tiba-tiba pohon bambu yang ada disekelilingnya menunduk, melihat keajaiban itu KH Daeng takjub kemudian beliau langsung berdo’a dan bermunajah kepada Allah SWT, semoga anak, cucu, cicit dan buyut saya dikarunia ilmu yang berberkah, memahami dengan baik ilmu agama dan Alhamdulillah do’a beliau menjadi kenyataan sampai saat ini.

Beliau diberi hidayah oleh Allah SWT sehingga mengetahui tanda-tanda kematiannya. Ada satu tempat obat yang selalu berisi minyak sebagai obat padahal tidak pernah diisi selama bertahun-tahun lamanya hal tersebut terjadi sehingga diakhir hayat beliau penutup botol dari salah satu pohon batang nipa yang dikenal dengan istilah bahasa Mandar Umba, berubah jadi batu.

Ciri khas kharismatik keberanian, berilmu namun tawadhu sabar dan tidak sombong serta ikhlas arif dan bijaksana. Contoh wibawa beliau adalah kalau beliau pergi ke masjid untuk mengajar santri-santrinya. Maka, santri-santrinya akan menunduk menanti beliau apabila santri-santrinya telah mendengar dari kejauhan bunyi langkah kaki dari K.H Daeng.

Contoh sifat keberanian dan ketagasan dalam mengambil keputusan turun kepada putra pertamanya yakni K.H Abd Fattah As’ad. Kemudian contoh kearifan, kesabaran dan sifat tawadhu yang dimiliki K.H Daeng turun kepada putra keduanya yakni KH Makmun As’ad. Kemudian contoh sifat keteguhan hati dari K.H Daeng turun ke putra ketiganya yakni K.H Djuaeni As’ad.

Nama K.H Daeng diabadikan sebagai nama jalan dalam wilayah Kabupaten Majene, pada masa pemerintahan H.Abdul Rasyid Sulaiman (Bupati Majene ke IV ).

Akhir Hayat KH. Daeng

Menghadap kepada pemilik alam jagad raya Al Khalik adalah suatu Qudrah Allah SWT., K.H Daeng menutup kisah dan perjalanan hidupnya didunia fana pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan dengan 17 Ramadhan wafat dalam usia 74 tahun kemudian dimakamkan di Masjid Raya Al-Hurriyah Tinambung Polewali Mandar.

Namun beliau akan terus dikenang sebagai sang ulama kharismatik nan bersahaja. Jasad boleh berpindah namun kharismatik beliau yang diturunkan kepada ketiga putranya yang menjadi kiai. Sosoknyapun melahirkan putra-putri, cucu, cicit dan buyut yang berkiprah dalam berbagai lini, ada yang berkiprah di birokrasi salah satunya adalah DR.H. Fahmi Massiara, yang kini menjabat sebagai Bupati Majene.

Kemudian ada juga akademisi, organisasi sosial dan agama, seni, keartisan, kepolisian, beragam dalam kebersamaan dalam memberikan andil dan peran yang terbaik yang kita berikan untuk daerah yang kita cintai, Mandar pada khusunya dan Indonesia pada umumnya.(*)
Area lampiran

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved