Tanggapan Kang Emil, Ruhut, hingga Pakar IPB Soal Polling yang Banyak Menangkan Prabowo-Sandi
Dari polling twitter yang telah dilakukan, ternyata pasangan Prabowo-Sandiaga Uno memperoleh suara terbanyak
Dari polling twitter yang telah dilakukan, ternyata pasangan Prabowo-Sandiaga Uno memperoleh suara terbanyak
TRIBUN-TIMUR.COM - Dinamika pertarungan di Pilpres 2019 tampaknya sudah ramai diperbincangkan.
Berbagai polling pun kini ramai dibuat oleh khalayak di media sosial, termasuk Twitter.
Hasilnya, kebanyakan dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Ia membuat polling pada 10 Agustus 2018 lalu.
Di polling twitter, Ia menyingkat nama pasangan capres-cawapres Jokowi- Ma'ruf Amin dengan singkata JokMar.
Sementara pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno disingkat PraSan.
Dari polling twitter yang telah dilakukan, ternyata pasangan Prabowo-Sandiaga Uno memperoleh suara terbanyak dengan memperoleh 68 persen.
Sementara pasangan Jokowi-Ma'ruf hanya memperoleh 27 persen.

Sama halnya dengan akun Iwan Fals, akun Indonesia Lawyers Club juga membuat polling di Twitter.
Pada polling di Twitter Indonesia Lawyers Club ada 110 ribu pemilih.
26 persen diantaranya memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
63 persen lainnya memilih pasangan Prabowo-Sandiaga Uno dan 11 persen memilih golput.

Di media sosial Twitter memang terdapat fitur polling.
Polling Twitter bisa dibuat lewat mobile atau website Twitter.
Meski begitu, pro dan kontra mengenai hasil polling pada laman Twitter pun tetap saja ada.
Salah satu tokoh yang ikut mengomentari tentang polling tersebut adalah Gubernur Jawa Barat yang baru terpilih, Ridwan Kamil.
Melalui laman Twitternya, Ridwan Kamil pun mengungkapkan bahwa polling yang banyak dibuat di Twitter itu kurang ilmiah.
Karena menurut Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil, mayoritas pemilih yang memiliki hak suara tidak menggunakan Twitter.
Selain itu, Ridwan Kamil pun beranggapan banyak akun-akun yang bisa dibuat untuk mengisi polling tersebut.
Karenanya, Ridwan Kamil mengatakan bahwa polling di Twitter itu hanya untuk hiburan.
Berikut adalah cuitan yang dituliskan oleh Ridwan Kamil dilansir TribunnewsBogor.com dari laman Twitternya.
poling via twitter itu menurut saya kurang ilmiah. mayoritas pemilih pun tdk maen twitter.
Jg byk akun bot yg bisa dikondisikan. Hanya utk hiburan.
pengalaman pilkada Jabar membuktikan.
Be a smart voter: Mari fokus edukasi demokrasi ini pada jualan gagasan & visi jalan keluar.
Mantan kader Demokrat Ruhut Sitompul menyebut bahwa polling di Twitter tentang pilihan netizen terhadap pasangan Capres dan Cawapres merupakan sebuah kebohongan.
Lewat akun Twitternya Ruhut Sitompul menanggapi soal polling yang banyak dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Menurut Ruhut Sitompul pada cuitannya, polling di Twitter hanyalah sebuah kebohongan.
"Polling yg banyak nongol dijagat twitter akhir2 ini yg hampir semua hasilnya memenangkan Capres/Wapresnya lucu banget,
“Kenapa tidak 100% saja Jagonya Menang, kalau bohong jangan tanggung2 nanti Faktanya Kalah yg Menang dituduh Curang” #2019 Mohon Pak JOKOWI 1X lagi MERDEKA." katanya dalam cuitan di akun @ruhutsitompul.
Diberitakan sebelumnya, Guru Besar yang juga pakar statistik dari Intitut Pertanian Bogor (IPB), Khairil Anwar Notodiputro memberikan penjelasan terkait ramainya polling yang diadakan melalui akun Twitter.
Penjelasan ini diberikan Khairil melalui Twitter miliknya, @kh_notodiputro, Senin (13/8/2018).
Khairil mengatakan ada beberapa alasan mengapa polling Twitter tidak layak untuk dipercaya.
Pakar statistik ini menambahkan jika polling merupakan teknik pengumpulan data dalam survei untuk mengetahui pendapat dari sekelompok orang dan berbeda dengan survei.
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi polling dari Twitter agar bisa dianggap sahih.
Berikut ini kutipan Tweet dari Khairil yang dirangkum TribunWow.com.
"MENGAPA HASIL POLLING TWITTER TIDAK LAYAK UNTUK DIPERCAYA?
Polling merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam survei untuk mengetahui pendapat dari sekelompok orang.
Sedangkan survei pada dasarnya adalah mengamati sebagian orang untuk memperoleh gambaran dari seluruh orang yang ada.
Sebagian orang yang dikumpulkan datanya itu lazim disebut “sample” sedangkan keseluruhan orang itu lazim disebut “population”.
Jadi “sample” adalah bagian dari “population” dan kita hanya mengukur “sample” walaupun “population” yang ingin diprediksi.
Survei lazim dilakukan dalam kegiatan riset dan menjadi alat penting untuk mengumpulkan data secata sahih. Jadi survei itu kegiatan ilmiah, bukan kegiatan biasa.
Polling sbg salah satu teknik mengumpulkan data dlm survei juga harus dijamin kesahihannya.
Mengapa harus sahih? Karena metode pengumpulan data yang sahih ditambah dengan teknik dan model analisis yang tepat akan memberikan hasil dengan akurasi yang terukur.
Jika datanya tidak sahih maka akurasinya menjadi tidak terukur.
Jadi kesahihan itu akan membuat akurasi dari hasil polling dapat terukur dan dengan demikian risiko salahnya pun terukur.
Itulah sebabnya hasil dari proses pengumpulan data yg sahih dapat dipercaya.
Harap dicatat disini bhw “dapat dipercaya” itu tidak sama dengan “benar”. Begitu juga “tidak dapat dipercaya” itu tidak sama dengan “salah”.
Dapat dipercaya disini artinya akurasinya terukur, risiko salahnya terukur, dan presisinya terukur pula.
Apa syarat dari metode pengumpulan data agar sahih? Syarat pertama, “sample” yg kita pilih merupakan representasi dari “population”.
Jadi “sample” itu haruslah mrp miniatur dari “population” dan sample itu bagian dari “population” yg ingin diprediksi.
Bagaimana agar “sample” itu representatif? “Sample” bisa representatif jika “sample” itu ada dalam kendali kita. Jadi “sample” itu harus terkendali. Pengendalian ini sangatlah penting.
Pengendaian di sini maksudnya kita tahu bhw “sample” yg terpilih adalah anggota dari “population”. Selain itu “sample” yg terpilih bukanlah sembarang orang (“voluntary”) melainkan orang yg terpilih. Jadi sample itu dipilih, bukan sembarangan.
Bagaimana memilih “sample” supaya data yg terkumpul sahih? Banyak cara untuk memilih “sample” ini. Disini diperlukan pemahaman ilmu statistik agar dapat memilih “sample” yg sahih.
Tapi apa pun teknik memilih “sample”nya prinsipnya adalah “sample” dipilih dari “population” menggunakan teknik peluang (“probability”) tertentu.
Mengapa pakai teknik peluang? Supaya risiko salahnya terukur dan supaya hasilnya tdk berbias. Lagi2 ini perlu ilmu statistik.
Syarat kedua dari metode pengumpulan data agar sahih adalah jumlah “sample”nya cukup. Ukuran “sample” mencerminkan akurasi dan juga presisinya.
Nah, sekarang bagaimana dengan polling via twitter? Ada banyak kelemahan dari polling twitter shg tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Ini menjadi masalah ketika akan kita gunakan untuk menyimpulkan populasi, khususnya populasi rakyat Indonesia.
Pertama, siapa yg menjadi populasinya ketika kita melakukan polling via twitter? Kita tdk bisa mengatakan bhw pengguna twitter adalah populasi Indonesia. Tidak bisa juga dikatakan bhw semua pengguna twitter berhak memilih. Tidak ada jaminan bhw satu org hanya punya satu akun.
Kedua, siapa yg menjadi “sample”nya? Apakah teknik peluang bs digunakan disini? Sayangnya tdk bs digunakan krn yg ikut polling twitter bukan mereka yg terpilih tetapi mereka yg mau ikut polling saja. Juga brp jumlah “sample” yg tepat utk mencapai akurasi dan presisi tertentu?
Berbagai kelemahan tsb menjadikan data yg terkumpul tidak sahih adanya, sehingga sulit mengetahui akurasi dan presisinya. Jadi hasil polling twitter tidak layak untuk dipercaya.
Dari uraian itu jelas masalah utama dari polling twitter adalah yg melakukan polling tidak bisa mengendalikan “sample” dan “populasinya”. Seandainya kita bisa mengendalikannya, maka kita bisa mendapatkan data yg valid. Tapi apakah mungkin dilakukan pengendalian itu?
Sependek pengetahuan saya pengendalian “sample” dlm polling twitter sangat sulit dilakukan. Mengapa? Karena kita tdk bisa memilih “sample”nya, tdk bisa memastikan apakah yg mengisi orang Indonesia, apakah berhak memilih atau tdk, bahkan kita tidak bisa menolak robot.
Hal penting lainnya karena wawancara tidak mungkin dilakukan dlm polling twitter maka sulit melakukan verifikasi atas kebenaran atau kejujuran jawaban yg diperoleh.
Demikianlah mengapa hasil polling via twitter tidak layak dipercaya, dan cukup sebagai hiburan saja..
Terimakasih dan tabiiiiiik...!!!," tulis Khairil.
Cara beda Rafly Harun
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun turut meramaikan polling yang diadakan oleh para tokoh politik maupun akun-akun media sosial dengan pengikut yang banyak.
Jika para tokoh membuat polling melalui Twitter, berbeda dengan Refly Harun yang membuat polling melalui Instagram.
Namun, Refly tidak terang-terangan menyebut ini sebagai polling.
Ia mengatakan dengan istilah 'testing the water'.
Kedua pasangan calon (paslon) pun tidak diunggah Refly dalam satu postingan.
Mulanya, Refly mengunggah foto Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin pada 10 Agustus 2018.
Foto yang diunggah pun juga terlihat formal dengan jas yang dipakai oleh keduanya.
Selain itu dihias dengan grafis nuansa merah dan putih.
"180810. Testing the water, berapa banyak yg like," tulis @reflyharun pada Instagramnya.
Setelah tiga hari berselang, Refly mengunggah foto paslon yang lain yakni Prabowo dan Sandiaga Uno.
Refly mengunggah foto keduanya saat pemeriksaan kesehatan dengan mengenakan baju khas pasien test kesehatan.
"180813. Testing the water juga, kalau ini banyak yang like," tulis Refly.