OPINI
OPINI Dosen UIN Alauddin: Mengembalikan Makna Hijab
Hijab telah menjelma menjadi fashion, mode, gaya, yang biasanya tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi dan bisnis. Lalu,letak syar’i-nya?
Sebagaimana lazimnya, trend dan popularitas fashion tertentu, termasuk di dalamnya hijab, sangat tergantung dari penilaian media.
Media telah menjadi barometer dan penentu apakah model hijab atau jilbab masih up to date (modern) atau sudah out of date (kuno).
Di sinilah makna bagaimana hijab telah menjadi bagian dari budaya pop. Bukan hanya model dan bahan hijab yang mengikuti trend, tetapi cara memakai hijab juga tidak luput dari perkembangan trend.
Begitu banyak tutorial hijab yang berseliweran di berbagai media sosial, bahkan kadangkala cara pemakaian hijab ini juga diperagakan dan diperlombakan di berbagai channel TV.
Bahkan melalui media, seperti diungkapkan oleh Rima, para muslimah ini telah membentuk komunitas sendiri yang kemudian disebut ‘komunitas hijabers’.
Komunitas ini biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas dan memiliki tempat kongkow-kongkow yang juga terbilang mewah dan jauh dari kesan sederhana.
Pada titik ini, menurut penulis, hijab telah membentuk identitas sendiri yang kemudian berbeda dengan komunitas yang lain.
Baca juga: Ini Penjelasan Dua Legislator DPRD Bone yang Nyaris Adu Jotos Saat Puasa
Baca juga: Toleransi Beragama di Madandan Tana Toraja, Non Muslim Ikut Siapkan Hidangan Buka Puasa
Melalui hijab, mereka kemudian memiliki kelas atau stratifikasi sosial yang berbeda. Jika kita meminjam terminologi Karl Marx (1848) dalam teori kelasnya, borjuis dan proletarian, maka kelompok hijabers juga memiliki dua kelas.
Ada hijabers borjuis dan hijabers proletarian. Kelompok hijabers yang memiliki modal yang besar yang bisa dilihat dari bahan hijab dan komunitasnya, akan berada pada kelompok borjuis, dan kelompok hijabers yang memiliki modal yang pas-pasan akan berada pada kelompok proletarian.
Differensiasi ini tentu saja menggiring hijab jauh dari apa yang menjadi esensi dari syar’i itu sendiri.
Filosofi Hijab
Melihat fenomena hijab yang begitu massif ini, kita tentu harus mengapresiasi spirit yang dimiliki oleh para muslimah kita dalam konteks kekinian.
Mereka memiliki kesadaran kolektif untuk menutup aurat mereka. Tentu bukan pekerjaan mudah mengajak para muslimah untuk berhijab.
Hanya saja, ketika motivasi menutup aurat hanya dilandasi oleh ikut trend dan fashion, maka pada hakikatnya, telah mendegradasi filosofi hijab itu sendiri.
Di sinilah ambiguitas dari hijab syar’i. Trend dan fashion menjadi elemen penting yang melatari dan mendominasi alam pikir muslimah kita dan cenderung mengalahkan faktor religiusitas.
Padahal sejatinya, hijab adalah simbol ketundukan kepada sang Pencipta. Ia adalah lambang kesederhanaan, kepasrahan dan egalitarian, tidak ada kelas di antara hijabers.