Wanita Makassar Diminta Waspadai Pengungsi Gagah Timur Tengah
Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM Ronny F. Sompie saat jumpa pers bersama Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Thomas Vargas
Penulis: Hasan Basri | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Tujuh tahun sudah, sekitar 1.860 imigran pengungsi dan pencari suaka dari 15 negara berada di Makassar.
Kebanyakan mereka dari negara konflik perang di Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Jumlah terbanyak dan terlama dari Afganistan, sekitar 1.260-an.
Lalu pengungsi tak berwarga negara dari Rohingnya, Myanmar, sekitar 217 orang. Makassar hanyalah satu dari kota ‘transit’ mereka.
Ada sekitar 21 kota lain kota penampungan di Indonesia, Dalam catatan Dirjen Imigrasi Kemenkumham, total jumlah mereka per Maret 2018 jumlahnya mencapai 14.364 imigran.
Dari jumlah terdata iru, sekitar 400-an masih anak-anak, atau dibawa usia 12 tahun.
Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM Ronny F. Sompie saat jumpa pers bersama Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Thomas Vargas, akhir Juli 2017 lalu, mengakui mulai munculnya, potensi masalah sosial dari para pengunsi ini.
Sebenarnya, pencari suaka ini sudah merasa malu tinggal di Indonesia. Setidaknya ini tergambar dari unjuk rasa sekitar 1000-an pengusngsi di depan kantor perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), di Menara Bosowa, Jl Jend Sudirman Makassar,, Rabu (9/8/2017) lalu.
Dari poster dan spanduk protes mereka, selain berterima kasih ke pemerintah Indonesia, mereka menuntut agar PBB segera mengurus kelanjutan perjalanan mereka ke negara tujuan.
“Kami sudah 6 tahun di sini, kapan kami berangkat ke Australia. Kami juga tak mau pulang ke negara kami,” begitu tulisan di spanduk mereka.
Di kota Makassar, sebaran ‘rumah’ mereka di 30 lokasi di empat penjuru kota. Ada juga yang ditampung di kantor Imigrasi Makassar di Jl Perintis Kemerdekaan Km 15 dan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Bollangi, timur Sungguminasa, Gowa.
Namun karena keterbatasan rutan imigrasi Mereka dikarantina di penginapan kelas melati, rumah kos. Lokasi penampungan yang dibayar penuh UNHCR ini, membaur dengan warga kalangan menengah ke bawah.
Karena ketidakpahaman atas status hukum mereka, tak sedikit warga mulai iri. “Masak, mereka bukan warga negara sini, tapi dijaga tiap hari, dapat makan tiap hari, dan digaji bulanan, sedangkan kita tidak,” kata Arsya, warga Jl Kumala, yang dari pemukimannya tinggal sekitar 50-an pengungsi.
Catatan dari Tribun, hampir tiap bulan, ada saja tindak pidana skala ringan hingga berat yang melibatkan mereka. Ada kasus yang masuk ke penyidikan polisi, namun kebanyakan ditangani di Rudenim.
Mulai dari kasus perkelahian remaja, kasus asmara, perselingkuhan, hingga terakhir pelanggaran hukum Sayeed Zabi Afzali (22), akhir April 2018 lalu. Imigran asal Afganistan terciduk coba memalsukan identitas kependudukan untuk bisa mendapatkan paspor, agar bisa terbang ke Australia.
“Tujuan mereka sebenarnya bukan Indonesia, tapi Australia dan New Zealand, jadi banyak dari mereka khususnya yang laki-laki muda, berusaha dekati wanita WNI agar bisa dimanfaatkan untuk urus paspor, mereka kan gagah-gagah jadi mudah memikat wanita sini,” kata Kepala Seksi Penindakan dan Pengawasan Kantor Imigrasi Klas I Makassar Noer Putra Bahagia, kepada Tribun, kemarin.