Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pejuang Kemanusiaan dari Timur 

Ishak Ngeljaratan Bukan Toleransi Melainkan Akseptansi Beragama

Di toleransi identitas saya melebur menjadi kami.Sedangkan di akseptansi, identitas saya tetap ada dan diterima orang lain.

Penulis: AS Kambie | Editor: Thamzil Thahir
dok_tribun-timur
Ishak Ngeljaratan (82 tahun) di Jl Baji Dakka, usai mengajar di Kampus Sekolah Tinggi Teologia (STT) Intim, Makassar, Jumat (11/5/2018) 

GURU Filsafat Ishak Ngeljaratan (82), menegaskan rangkaian teror di dua kota terbesar Indonesia, Jakarta dan Surabaya adalah kejahatan kemanusiaan.
Aksi teror seperti ini bukan hal baru dan terus berulang di negeri ini.

Ada apa?
"Bukan karena mereka membom gereja, membunuh di jalan raya, pasar, kampung sama saja, mereka penjahat kemanusiaan. Korbannya orang-orang yang sedang berbuat baik, mencari nafkah untuk keluarga, semua kebaikan yang dirusak niat jahat. Ini kejahatan kemanusiaan yang bersembunyi di balik jubah agama," ujarnya kepada Tribun, Senin (14/5) lalu.

Ishak menggambarkan agama sebagai anugerah transendental langit yang turun ke manusia secara personal.

Di mata Ishak, agama itu semacam hidayah individu yang diajarkan seseorang ke banyak umat untuk membentuk peradaban.

Jika kemudian teror berjubah ideologi agama ini melembaga dan jadi pelampiasan kelompok tertentu, patut dipertanyakan bahwa upaya toleransi yang dibangun selama ini belum mengendapkan ajaran kemanusiaan, masih mendahulukan ajaran langit.

Sejak lima dekade terakhir, Ishak sering mengemukakan pokok pikirannya tentang intoleransi. Dia langganan banyak organisasi kader berbasis agama seperti HMI, PMKRI, GMNI, GMKI, PMII, IMM, Pemuda Ansor, dan ormas keagamaan kerap mengundangnya jadi pembicara toleransi.

Namun, anomalinya, Ishak ternyata tak sepakat dengan penggunaan istilah toleransi. “Kamu catat ini. Saya sejak dulu tidak setuju dengan istilah toleransi beragama. Yang cocok itu adalah akseptansi, saling menerima agama orang lain dengan azas harmoni dan cinta. Toleransi itu kebersamaan, sedangkan akseptansi adalah kebersesamaan. Di toleransi identitas saya melebur menjadi kami. Sedangkan di akseptansi, identitas saya tetap ada dan diterima oleh orang lain. Itulah esensi Bhineka Tunggal Ika.” ujarnya kepada Tribun, sesaat sebelum naik pete-pete sepulang mengajar di Sekolah Tinggi Teologia (STT) INTIM di Jl Baji Dakka, selatan Makassar, Jumat (11/5/2018) lalu.
Ishak memang sosok pejuang kemanusiaan.

Jika negara adalah legitimator budaya, maka Ishak Ngeljaratan (82) berhak bergelar budayawan.

Namun, saya Ishak lebih nyaman disapa guru filsafat tinimbang budayawan.
Tanggal 23 Agustus 2016, di tahun kedua Joko Widodo menjabat Presiden ke-7 Indonesia, negara mengundang sekitar 30-an budayawan se-Nusantara.

Ishak Ngeljaratan, yang kala itu, sisa menghitung hari merayakan ulang tahun ke-80-nya, masuk daftar undangan.

Sayang, pertemuan dua jam di ruang utama Gedung Galeri Nasional, Museum Indonesia, Jl Medan Merdeka Timur No 14, Kawasan Gambir, Jakarta Pusat itu tertutup.

Meski judulnya “budayawan se-Nusantara’, namun faktanya, dari 30 nama tetamu undangan, hanya Ishak Ngeljaratan-lah budayawan dari timur Indonesia. Sekitar 87% budayawan lain hadir dari pulau Jawa. Sisanya dari Bali, Sumatera, dan Kalimantan.
Bukan ‘mewakili’ tanah kelahirannya, di Tanimbar, Kepulauan Timur Laut Provinsi Maluku, Ishak Ngeljaratan malah diklaim negara, “mewakili” budayawan Makassar.

Ishak memang kerap lebih “Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja” dari akademisi atau mereka yang lahir dan besar di selatan pulau Sulawesi.

Prof Dr M Qasim Mathar (73), Cendekiawan Muslim yang juga kolega Ishak, menyebut sahabatnya sosok teladan yang populis .
"Kalau tak pernah berjumpa dengannya, nama Ishak Ngeljaratan dijumpai pembaca pada tulisan dan wawancaranya di media cetak dan elektronik," ujar Qasim yang juga berlatar belakang ilmu filsafat, seperti Ishak.

Qasim menyebut Ishak sebagai seorang Katholik yang selalu mengapresiasi secara bermartabat agama lain. "Dia," tambah Qasim, "dengan fasih bisa menjelaskan ajaran "rahmatan lil alamin" dalam Islam sefasih dia menerangkan ajaran kasih Kristus dalam teologi Kristen."

Di mata Qasim, Ishak selalu melihat Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena hanya pada manusia ada kekuatan kemanusiaan. Dengan kemanusiaan itu pula manusia sanggup menghargai segenap makhluk selain dirinya. Ruh kemanusiaan itulah yang membuat Ishak Ngeljaratan tetap hadir di tengah-tengah kita," ujar Qasim kepada Tribun.

***
Menetap di Makassar sejak dekade 1950-an, Ishak banyak melihat, merasakan dan berinteraksi dengan pelaku dan akademisi budaya di Sulsel.

“Pak Ishak itu angkatan dosen pertama Fakultas sastra Unhas. Beliau dosen seangkatan dengan Prof Mattulada dan Prof Mister Zainal Abidin Farid MS,” ujar Dahlan Abubakar MA, kandidat doktor ilmu sastra dan budaya dari Unhas, Senin (14/5/2018).

Dua nama yang diistilahkan ‘dosen seangkatan’ Ishak Ngeljaratan, oleh mantan Pemimpin Redaksi harian Pedoman Rakyat (1947-2007) ini, adalah dua mendiang guru besar ilmu budaya dan sastra dari Unhas.

Ishak, kata Dahlan, juga termasuk mahasiswa sekaligus dosen ‘terlama’ di Fakultas Sastra dan Budaya Unhas.

“Kalau saya hampir 10 tahun kuliah di Fakultas Sastra, karena asik jadi wartawan. Kalau Pak Ishak itu, lebih lama lagi, mungkin hampir 15 tahun, Kenapa? Selain dia aktif urus budaya dan sastra, Dia bilang semua yang mau menguji skripsi dia adalah mahasiswanya semua,” ujar mahasiswa Sastra Unhas angkatan 1972, M Dahlan Abubakar. (bie/zil)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved