Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini

OPINI Upi Asmaradhana: Menolak Lupa Pembunuhan Jurnalis Indonesia

Kemerdekaan pers itu sesungguhnya adalah hak masyarakat yang telah dipinjamkan kepada media dan jurnalis.

Editor: Jumadi Mappanganro
handover
Upi Asmaradhana 

(Catatan Memeringati Hari Kebebasan Pers Internasional)

Oleh: Upi Asmaradhana
(Koordinator Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi)

HARI ini, Kamis 3 Mei 2018, masyarakat internasional memeringati Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day-WPFD).

WPFD mulai diperingati jurnalis sedunia sejak diluncurkan oleh UNESCO PBB pada 1993, menyusul pengumuman Deklarasi Windhoek oleh jurnalis Afrika di Namibia pada 1991.

Deklarasi Windhoek berisikan komitmen dalam menjaga kebebasan pers serta meminta negara menghormati kebebasan berekspresi masyarakat sipil, sebagaimana diatur Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tentang Kebebasan Berekspresi.

Bagi masyarakat pers Indonesia, WPFD 2018, bukan saja sebagai hari untuk memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers semata, tapi juga untuk mengukur kebebasan pers di Tanah Air.

Para jurnalis juga menjadikan setiap peringatan 3 Mei sebagai ajang menguatkan komitmen mempertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang gugur dalam menjalankan profesinya.

Masyarakat pers juga tak henti-hentinya mengingatkan inisiatif publik untuk turut memerjuangkan kemerdekaan pers, khususnya bagaimana pemerintah menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers.

BACA JUGA: Opini: Membaca Moelawarman, Sosok Pengeritik Unhas

BACA JUGA: OPINI: Kebaya Heroisme Opu Daeng Risaju

Antara lain, melindungi jurnalis dari berbagai tindak kekerasan, baik secara fisik dan nonfisik serta menuntaskan berbagai kasus pembunuhan jurnalis yang tak pernah tuntas hingga saat ini.

Ini penting, sebab kemerdekaan pers itu sesungguhnya adalah hak masyarakat yang telah dipinjamkan kepada media dan jurnalis. Masyarakat dan pemerintahlah yang punya tanggungjawab kepada kebebasan pers itu sendiri.

Atas dasar pemikiran itu, hari ini pada peringatan WPFD 2018, relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi (KPJKB) dan jaringan Aksi Kamisan Makassar kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah akan berbagai kasus kekerasan dan pembunuhan jurnalis di Indonesia yang tak pernah tuntas diusut.

Salah satu persoalan yang dihadapi para korban kekerasan dan keluarga jurnalis yang terbunuh di Indonesia hingga saat ini adalah praktik impunitas.
Banyak kasus kekerasan dan pembunuhan, pelakunya tak pernah ditangkap dan diadili.

Belasan aktivis kembali menggelar Aksi Kamisan Makassar (AKM) di depan Monumen Mandala, Jl Jenderal Sudirman, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (15/02/2018) sore.
Belasan aktivis kembali menggelar Aksi Kamisan Makassar (AKM) di depan Monumen Mandala, Jl Jenderal Sudirman, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (15/02/2018) sore. (HASAN BASRI)

Praktik impunitas dalam berbagai kasus itu telah menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

Dalam sebuah forum internasional Front Line di Dublin Irlandia, 2011, penulis yang ikut dalam forum tersebut sudah memberikan pesan darurat bahwa praktik impunitas itu telah merusak sendi-sendi kemerdekaan pers di Indonesia, dan itu sangat berbahaya.

Data yang diolah tim relawan KPJKB sejak 1996, sedikitnya telah terjadi 13 kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia hingga saat ini.

Dari 13 kasus pembunuhan jurnalis itu terdapat sembilan pembunuhan jurnalis yang terbengkalai dan para pelakunya belum diadili dan atau diadili tapi pelakunya dianggap samar alias tidak jelas.

Salah satu kasus yang paling mutakhir adalah pembunuhan jurnalis wartawan harian Metro Manado, Aryono Linggotu (26), November 2012 lalu.

Kasus Ryo sendiri sudah selesai. Namun kuat dugaan, pelaku yang divonis bersalah, bukanlah pelaku utamanya.

Pada Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Solo, Jawa Tengah, kasus Ryo ini bahkan telah dimasukkan sebagai kasus yang direkomendasikan untuk dikaji lebih mendalam kasusnya pada masa datang.

BACA JUGA: OPINI - Peran Perempuan Membangun Peradaban

BACA JUGA: OPINI Guru SMP Muhammadiyah Belawa: Mendongeng di Era Digital

Kasus Ryo sendiri rada-rada mirip dengan peristiwa pembunuhan jurnalis Ridwan Salamun, jurnalis SunTV yang dibunuh sekelompok orang saat meliput bentrokan warga di Desa Fiditan, Kecamatan Dullah Utara, Tual, Maluku pada 21 Agustus 2010 lalu.

Pelaku pembunuhan adalah sekelompok pemuda yang terlibat bentrokan. Polisi sempat menangkap 13 pelaku, namun akhirnya menetapkan tiga tersangka yang diadili.

Ketiga terdakwa kasus pembunuhan Ridwan Salamun yang diadili adalah Hasan Tamange, Ibrahim Raharusun, dan Sahar Renuat.

Namun anehnya pada vonis 9 Maret 2011, Pengadilan Negeri Tual menetapkan ketiga terdakwa tersebut tidak terbukti melakukan penganiayaan dan akhirnya divonis bebas murni.

Untungnya, pada saat kasasi, Mahkamah Agung menghukum para pelaku dengan vonis empat tahun penjara pada 2 Januari 2012 lalu.

Selain kasus Ryo yang misterius, AJI Indonesia juga telah mencatat, setidaknya ada delapan kasus pembunuhan jurnalis lain yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus:

1. Pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, yang ditemukan meninggal 16 Agustus 1996)

2. Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997)

3. Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, ditemukan tewas 25 September 1999).

4. Muhammad Jamaluddin(jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003)

5. Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003).

6. Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006).

7. Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010).

8. Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

Pita Hitam
20 tahun reformasi, demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia, sepertinya tidak menunjukkan kemajuan berarti.

Dalam rilis Reporters Sans Frointiers RSF Prancis, peringkat indeks kemerdekaan pers Indonesia 2018, berada di posisi 124, sama dengan tahun lalu.

Ini bukan posisi yang bagus, bahkan menunjukkan tren yang memprihatinkan.

Aksi Kamisan Makassar yang diluncurkan Desember 2017 tahun lalu, sudah memasuki pekan ke-22 hari ini.

Sebagai bentuk dari kepedulian, jaringan Aksi Kamisan Makassar akan menjadikan kasus pembunuhan jurnalis yang tak terungkap tersebut sebagai bagian dari tema sentral yang digelar di depan Monumen Mandala Makassar.

Sebagai bentuk pesan, maka para peserta Kamisan Makassar akan mengenakan pita hitam di lengan kiri dan membagi-bagikannya kepada masyarakat yang melintas di lokasi aksi atau mereka yang datang ke Monumen Mandala untuk memberikan dukungan dan simpati bagi para korban dan keluarga jurnalis yang telah meninggal.

Aksi Kamisan, kali ini sekaligus mengingatkan kepada publik dan pemerintah bahwa kita tidak boleh diam dan menolak lupa atas berbagai praktik kekerasan dan penghilangan nyawa para pewarta di tanah air Indonesia.

Sebagai bagian dari kampanye penyadaran gerakan HAM di daerah ini, sudah sepantasnya, pembunuhan para jurnalis menjadi isu yang harus kita perjuangkan.

Kami juga ingin mengingatkan pemerintah bahwa selain pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak pernah tuntas, saat ini ada belasan korban jurnalis di berbagai tanah air yang tak pernah mendapatkan keadilan.

Semoga pada momentum WFD yang bertepatan pada Aksi Kamisan Makassar hari ini kita akan selalu mengenang dan menyatakan menolak lupa dan menolak diam atas kasus kekerasan dan pembunuhan jurnalis di Indonesia.

Selamat memeringati WPFD 2018. (*)

Catatan: tulisan di atas telah dimuat di halaman Opini Tribun Timur edisi print, Kamis 3 Mei 2018

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved