Opini: Membaca Moelawarman, Sosok 'Pengeritik' Unhas
kini hadir sebagai bayang-bayang seorang wartawan yang disegani bahkan ditakuti. Hadir diantara tokoh-tokoh penting negeri ini.
Oleh Moch Hasymi Ibrahim (budayawan, alumnus Unhas, tinggal di Jakarta)
Pekerjaannya sebagai wartawan berakhir saat korannya berubah format menjadi koran lokal. Sebagai koresponden Jakarta dari Harian Surya yang terbit di Surabaya, dia harus menutup satu etafe kerja jurnalistiknya sebagai koresponden. Pekerjaan dengan kedudukan yang telah membawanya malang melintang di Ibukota, membangun dan membina relasi di lingkaran bisnis dan politik papan atas negeri ini.
Tetapi jangan salah, meski tak lagi menyandang status koresponden, kerja kewartawanannya tetap berjalan sebagai biasa. Setidaknya, dia masih beredar di gedung DPR RI dan kantor-kantor Kementrian Negara, Sekretariat Negara, Istana Presiden dan tempat penting lainnya untuk meliput dan memantau gerak politik dan pemerintahan.
Bahkan dia bisa berada di lingkaran dalam pejabat kementrian dan lembaga negara, seperti pengurus pusat PDIP, Golkar, Gerindra dan PKS. Dia dekat dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua DPR Bambang Soesatyo atau ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPD Osman Sapta Oddang.
Menjadi wartawan baginya tak sekadar pekerjaan atau profesi. Tidak pula sekadar panggilan hidup. Tetapi menjadi wartawan sudah menjadi totalitas eksistensi, semacam bawaan sejak lahir dan mungkin hingga akhir nanti.
Di chatroom group alumnus Unhas, dia selalu mengeritik almamaternya.
Mengapa Moelawarman penting? Mengapa dia patut dipercakapkan, padahal dia tak lagi aktif menulis berita atau ulasan? Mengapa kehadirannya masih terkesan disegani, untuk tidak mengatakan ditakuti, pihak-pihak yang khawatir memperoleh pemberitaan buruk di depan publik? Bahkan, dia yang bertubuh kecil ringkih itu, masih dipandang dapat “mencelakai” apabila berseberangan pandangan dengannya?
Dan lebih jauh, dia masih dianggap sebagai seorang idealis yang bekerja tanpa pretensi dan dapat membuka borok siapa saja? Adakah jenis profesi formal maupun non-formal yang masih patut disematkan padanya? Pelobi? Pebisnis? Atau apa?
Mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah. Mungkin juga tidak penting. Tetapi sebagian besar kawan-kawan di lingkaran pergaulannya, baik di Jakarta atau di manapun, tetap memandang Moelawarkan sebagai tokoh yang patut disimak tingkah polahnya. Setidaknya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehadiran, kiprah dan sikap-sikapnya menyertai perubahan-perubahan di daerah ini.
Moel mulai dikenal di lingkaran pergaulan jurnalis dan aktivis saat pertama kali menjadi mahasiswa. Dia adalah mahasiswa Kelas Sore Universitas Hasanuddin, program Ekonomi Manajemen dan aktif di koran kampus Unhas, identitas.
Ketika itu dia memperoleh julukan si Kancil, mungkin karena tubuhnya yang kecil dan geraknya yang lincah. Dia bisa hadir dimana saja, pada peristiwa apa saja, dan tidak hanya di kampus melainkan di luarnya.
Dia dikenal sebagai reporter yang gigih. Prof Amirudin, Rektor Unhas dan kemudian Gubernur Sulsel, mengenalnya dengan baik, bahkan menjadi sahabat panutannya. Tokoh kita inilah yang mungkin menjadi “penjamin”, sehingga Moel dapat dengan mudah menjalin hubungan dengan para elit.
Sebagai jurnalis, Moel mula-mula bekerja di Harian Pedoman Rakyat, Makassar. Kelincahannya di kampus kemudian mekar dan menemukan bentuk di sana. Hampir semua news-maker di daerah ini adalah narasumbernya. Bahkan lebih jauh, dia membangun sejenis “pertemanan” yang unik. Pasalnya, Moel tak pernah segan mengeritik, menulis “berita jelek”, meski subyeknya adalah “teman-teman” itu.
Baginya, dalil standar jurnalistik dimana kebenaran harus diungkapkan nyaris seperti harga mati. Moel hampir tak pernah memperhatikan “akibat” dari berita yang ditulisnya. Hal ini pula yang menyebabkan dia “dimusuhi” banyak pihak.
Dia bahkan pernah memperoleh perlakukan buruk, ditempeleng di depan khalayak akibat berita yang ditulisnya. Kalau hanya sekadar ejekan dan ancaman, ibaratnya sudah menjadi santapan sehari-hari.