Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI: Dampak Nikah Dini di Sulsel

Tercatat angka titik rawan pernikahan di kalangan perempuan usia 10-14 tahun mencapai 4 juta orang dan Sulsel sekitar 200 ribu orang.

Editor: Jumadi Mappanganro
Andi Baso Tancung 

Oleh: Andi Baso Tancung
(Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM) Sulsel)

Hidup ini sudah diciptakan berpasang-pasangan. Tidak salah jika itu merupakan rahasia tuhan. Jodoh tercipta agar semuanya memiliki pasangan.

Hidup manusia sudah diatur baik itu reski, jodoh dan kematian. Kesemuanya itu sudah ada masanya bahwa suatu saat pasti akan dialami oleh manusia.

Meski secara sepintas manusia tidak mampu menjangkau akal, tapi hal itu tetap akan terjadi.

Begitu pula dengan jodoh yang telah ditetapkan oleh sang pencipta, meski manusia tidak mengetahuinya bahwa dengan siapa mereka berjodoh karena itu sudah diatur oleh yang maha kuasa.

Jodoh tidak boleh ditolak karena itu sudah menjadi garis tangan seseorang untuk menerima jodohnya. Apalagi anak sekarang yang mesih kecil sudah pintar pacaran.

Wajar saja jika banyak anak-anak yang tergolong muda belia sudah melangsungkan pernikahan karena berbagai pertimbangan yang diambil oleh sang bapak.

BACA JUGA: OPINI Upi Asmaradhana: Menolak Lupa Pembunuhan Jurnalis Indonesia

BACA JUGA: Lulus, Siswa SMA di Bulukumba Ini Konvoi Gunakan Motor Dinas

Memang diakui bahwa akhir-akhir ini pernikahan dini yang dialami oleh masyarakat di daerah ini menjadi pembicaraan khusus di tengah masyarakat.

Apalagi media cetak, elektronik dan sosial sudah menjadi berita hangat. Bahkan berita pernikahan anak yang masih dibawah umur ini menjadi pembicaraan di tingkat pusat lantaran banyaknya anak-anak menikah meski umurnya belum cukup.

Padahal berdasarkan undang-undang itu tetap tidak dibolehkan karena sudah ada aturannya. Akan tetapi masyarakat tetap melaksanakan pernikahan dibawa umur tersebut dengan berbagai dalih orangtuanya.

Ada yang takut karena melihat anaknya sudah sangat dekat dengan pacarnya cepat dinikahkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Ada juga karena orang tuanya sakit sehingga anaknya cepat dinikahkan.

Bahkan ada anak yang menikah karena kebutuhan masalah keuangan sehingga dinikahkan dengan orang kaya.

Hal inilah yang menjadi persoalan di tengah masyarakat. Padahal aturan sudah menggariskan bahwa sebelum mencapai umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki tidak boleh menikah, tapi kenyataannya ada umur 14 sudah melangsungkan pernikahan.

Sulsel provinsi dengan usia pernikahan dini tertinggi kedua di Indonesia, sesudah Jawa Barat dan Aceh.

Tercatat angka titik rawan pernikahan di kalangan perempuan usia 10-14 tahun mencapai 4 juta orang dan Sulsel sekitar 200 ribu orang.

Di Makassar selama 2017 ada 333 kasus, Soppeng 2016 ada 159 kasus, tahun 2017 jadi 180 kasus. Sinjai 2016 ada 25 kasus naik di 2017 menjadi 32 kasus.

Wajo 2017 ada 131 kasus, Sedangkan pada Kabupaten Bone 2016 127 kasus dan naik menjadi 154 kasus di 2017 (Tribun Timur, Mei 2018).

Melihat angka tersebut membuat kita harus berpikir sebab kalau persoalan nikah dini sudah tidak mengikuti aturan atau undang-undang berarti percuma ada aturan tersebut.

Padahal, ujung tombak di tengah masyarakat adalah KUA dan sudah tahu persis aturan itu. Tapi kenyataannya tetap dilakukan pernikahan.

Di samping itu, anak yang belum cukup umur juga rawan dengan perceraian lantaran semuanya belum siap seperti belum matang fisik, mental dan seksual.

Namun yang paling rawan terkena penyakit adalah perempuan karena kandungan belum siap sudah berisi sehingga ini rawan akan berbagai penyakit.

Olehnya itu, pernikahan dini anak-anak belum siap dalam berbagai hal. Contoh saja persoalan kecil bisa menjadi besar sebab mentalnya belum kuat dan masih labil serta mudah terpengaruh oleh orang lain.

Jadi kalau mereka cekcok dan curhat dengan temannya biasanya diberikan masukan yang belum siap diterima maka itu bisa menjadi pemicu perceraian.

Apalagi kalau sudah dicampuri orang tua. Sebab kebanyakan anak-anak yang sudah menikah itu tetap mengadu pada orang tuanya.

Padahal, urusan keluarga tidak perlu lagi ditahu oleh orang tua karena itu persoalan rumah tangga, tetapi belum cukup umur tentunya masih tetap bermanja-manja pada orang tuanya.

Jadi pernikahan anak di usia muda ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah sebab kalau tetap dibiarkan tentunya undang-undang pernikahan tidak bergigi.

Lebih baik dicabut saja undang-undang tersebut dari pada hanya sebagai pajangan. Pasalnya, KUA sebagai perwakilan pemeritah di tengah masyarakat tapi tetap melangsungkan pernikahan.

Padahal, kalau memang mau tegas aturan harus ditegakkan tanpa pilih merek karena itu sudah menjadi ketentuan di negara ini.

Di samping itu pernikahan dini juga memicu meningkatnya jumlah penduduk sebab belum apa-apa sudah punya anak berarti jumlah penduduk akan bertambah.

Begitu pula selanjutnya, anaknya sudah besar dan belum mencapai umur yang ditentukan juga melangsungkan pernikahan dan terus berlanjut jika aturan tidak ditegakkan.

Oleh karena itu, untuk menghindari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam rumah tangga, maka kesiapan anak ini perlu dilihat sambil mencapai umur yang dibolehkan undng-undang baru dinikahkan.

Sebab mental sangat berpengaruh pada anak karena kapan tidak siap maka ujung-ujungnya pasti ke perceraian.

Semoga kita bisa menyadari bahwa kesiapan sangat penting bagi anak untuk melangsungkan pernikahan. Semoga! (*)

Catatan: Tulisan di atas telah terbit di Opini Tribun Timur edisi print Kamis, 3 Mei 2018 dengan judul: Pernikahan Anak Rawan Perceraian

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved