Eksotiknya Rumah Hijau DeNassa di Bontonompo, Cocok Liburan Akhir Pekan untuk Anak!
RHD adalah kawasan konservasi alam seluas 1,1 Hektar di Kampung Borongtala, Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Mansur AM
TRIBUN-TIMUR.COM, SUNGGUMINASA - Bukan tanggal 22 April belaka, di Rumah Hijau Denassa (RHD), Hari Bumi diperingati sepanjang 365 hari.
In RHD, Everyday is Earth Days.
RHD adalah kawasan konservasi alam seluas 1,1 Hektar di Kampung Borongtala, Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, sekitar 19,2 km selatan Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Baca: TERPOPUPER: Kabar Buruk dari Hotman Paris Usai 5 Jam di Kopi Johny, Identitas Asli Istri Daus Mini
Baca: Cantiknya Erica Majdi, Istri TGB Zainul Majdi Yang Jarang Terekspos Intip Foto-fotonya
Baca: Marquez Nakal Tapi Hebat Juara MotoGP Amerika, Rossi Urutan Berapa? Ini Klasemen Lengkap
Kata "konservasi" dilekatkan penggagas sekaligus pemilik lahan itu, Darmawan Daeng Nassa (42 tahun), tahun 2007 lalu.

Denassa, --lafalan mudah namanya dalam bahasa latin--, juga tidak "mengingat" Hari Bumi, kala membibitkan dan menata aneka tumbuhan di lahan peninggalan moyangnya.
"Semua tanaman disini sudah tumbuh alami. Saya cukup menjaganya, menanam bibit tumbuhan langka agar bisa dilihat anak-anak nanti," ujar Denassa, kepada Tribun-Timur.com, di sela-sela meladeni pengunjung, Minggu (22/4/2018), yang bertepatan peringatan Hari Bumi Internasional.
Sehari sebelumnya, Denassa dan istri juga ikut memandu sekitar 120 murid, guru, dan orangtua murid TK Telkom Sandhy Putra Makassar, menggelar Earth Days Outing Class di kampung berjariak sekitar 300 m dari jalan poros Makassar-Takalar itu.
RHD sejatinya adalah lahan sisa "pabrik" pembuatan bata.

Ide membangun kawasan konservasi alam ini juga datang alami.
Denassa bukan berlatar pendidikan biologi. Juga bukan insinyur teknik lingkungan. Jiwa seninya diasah di fakultas budaya dan sastra Unhas.
Ia dapat ‘momentum’ menyalurkan ide harmoni alam dan manusia.
Selepas kuliah di Fakultas Sastra Unhas, 1999, usaha peninggalan orangtuanya kena paceklik, efek krisis moneter.
Toh, meski sering menulis mengamati karya sastra, namun Denassa lebih mengamalkan harmoni atau keselarasan filosofis karya sastra untuk kelestarian alam.
"Alam itu sudah harmoni . Kita cukup membiarkanya tumbuh, merambat, dan tidak menganggunya, apalagi mencabut dan menebangnya."
Denassa memang sudah total mengabdikan hidup untuk harmoni alam.

Dia merelakan ruang-ruang privasinya jadi milik publik, khususnya anak TK dan murid sekolah dasar.
Dari pantauan Tribun, di kawasan itu ruang privasi hanya toilet publik dan dua kamar tidur untuk dia dan istri, serta empat anaknya. "Toilet itu juga untuk publik, dan juga kamar saya sering dipakai salat sama teman," ujarnya berkelakar.
Dia mendesain hutan alami untuk jadi tempat bermain, sekaligus sarana literasi lingkungan.
Denassa pun mengabdi sebagai dosen lepas di almamaternya. Keprihatinannya atas eksploitasi lingkungan dan alih fungsi tak hutan untuk kepentingan ekonomi, memutuskannya kembali ke kampung.
Berbekal filosofi seni, pengalaman mendidik, dan lahan "nganggur" wasiat ayah yang penuh rerimbunan pohon, Denassa menjadi "social-preneur".

Jiwa sosial Denassa diabdikan untuk alam dan pendidikan generasi berikutnya.
Kini setelah memasuki tahun ke-9, RHD sudah membiakkan 490 jenis flora dan 10 jenis fauna.
Ini belum termasuk 310 jenis bibit siap tanam, yang jadi salah satu "pajangan" di satu dari empat bangunan di kawasan RHD.
Denassa merasa bahagia, sebab dua tahun terakhir, kini jenis burung endemik bertambah jadi tujuh.
Ada burung Kaca Mata Makassar (Zosterops anomalus), Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum), Cilpuk Sulawesi (Otus manadensis), Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense), Caladi Sulawesi (Dendrocopos temminckii) jenis pelatuk, Perkici Dora (Trichoglossus ornatus) dan Cikarak Sulawesi (Myza celebensis) .
"Burung itu datang sendiri, tak kami tangkar. kami hanya buat rumah mereka secara alami, dan mereka makan dari tumbuhan yang ada disini."

Bahkan, setelah akhir tahun lalu dapat penghargaan dari Bunda PAUD Indonesia, Iriana Jokowi di Hotel Allium Tangerang pada Senin (20/11/2017), Denassa berhasil membiakkan Taipa Le'leng (mangga hitam endemik Gowa).
Jenis ini sudah termasuk langka karena tanamannya sulit ditemukan. “Kita mencarinya selama enam tahun baru bisa menemukan kembali Taipa Le’leng” kata Denassa mengenang perjuangan menyelamatkan kekayaan hayati unik ini. Unik karena ini menjadi salah satu jenis tanaman yang diabadikan dalam nama kampung, kata Denassa.
Dari mana Denassa membiaya "harmoni alam kecilnya?
Semua dia sisihkan dari hasil mengelola kawasan itu, menerapkan hidup sederhana ala orang kampung, dan aneka subsidi dari lembaga atau donasi yang tak mengikat.
Denassa membiayai sendiri tagging atau penamaan jenis-jenis pohon dengan papan bicara.
Di papan itu dia diskripsikan nama lokal pohon, istilah biologis, khasiat dan durasi aneka tanaman itu.
Papan bicara inilah yang membedakan aneka tanaman di RHD dengan tanaman yang tumbuh di sekitar 200-an rumah para warga Borongtala.
Nah, selain papan bicara berisi informasi aneka tanaman, dia juga memasang pengumuman "aneka larangan".
Saat pertama masuk kawasan itu di bahu jalan kecamatan, pengunjung sudah "diingatkan" dengan larangan merokok, larangan parkir kendaraan di gerbang masuk, larangan melintas dan menginjak diatas rumput dengan alas kaki, dan larangan membuang sampah sembarangan.
"Sebenarnya itu bukan larangan. Itu hanya peringatan kami kepada pengunjung dari kota bagaimana agar hutan kecil ini lestari, dan tidak rusak," ujarnya.
Denassa mafhum, kebanyakan pengunjung dari kota amat permisif, dan belum terbiasa memperlakukan alam.
"kalau Anda perokok, kami siapkan tempat. kalau ada sampah plastik, kami juga siapkan tempat. kalau dilarang injak rumput pakai alas kaki di Pelataran Mappasomba, itu karena disitu sering dipakai solat sama bapak saya dan jamaah," ujar Denassa.

Pelataran Mappasomba adalah lahan berumput hijau di tengah lahan konservasi. Luasnya cukup untuk memarkir lima hingga enam mobil jenis MPV sedang.
Pelataran Mappasomba, diabadikan dari nama pribadi ayah Denassa, Mappasomba Daeng Beta.
Hingga hari ini, dengan "papan larangan" kawasan itu kini jadi obyek wisata alternatif.
Di Google Reviewer, kebabanyan pengunjung merekomendasika RHD dengan kalimat, "highly recomended for kids." Anak Anda dijamin betah di lokasi hijau ini.(TRIBUN-TIMUR.COM/THAMZIL THAHIR)
Baca: Wow! Kemarin Hotman Paris Dibayar Pisang Goreng, Kini Terima Honor Lebih Mahal dari Lamborghini
Baca: Klasemen MotoGP 2018 - Andrea Dovizioso Teratas Usai GP Amerika, Berapa Poin Marquez dan Rossi?
Baca: Marquez Nakal Tapi Hebat Juara MotoGP Amerika, Rossi Urutan Berapa? Ini Klasemen Lengkap