Pilkada Wajo 2018
Begini Isi Hati Wawan Mattaliu Terhadap KH Anwar Sadat
Berikut tulisan Wawan yang ditujukan untuk mantan koleganya di DPRD Sulsel KH Anwar Sadat:
Penulis: St Hamdana Rahman | Editor: Imam Wahyudi
Laporan Wartawan TribunWajo.com, St Hamdana Rahman
TRIBUNWAJO.COM, TEMPE - Keputusan Calon Wakil Bupati Wajo, KH Anwar Sadat untuk bertarung di Pilkada, awalnya ternyata banyak menuai tantangan dari sahabatnya.
Salah satu yang menentang hal tersebut adalah sahabatnya di DPRD Provinsi Sulsel, Wawan Mattaliu.
Wawan yang merupakan legislator Partai Hanura pun menuliskan sebuah ungkapan, tentang alasan hingga akhirnya dia mendukung putra mantan Ketua As'adiyah AG KH Malik Muhammad tersebut maju di Pilkada Wajo.
Ungkapan yang ditulis Wawan mulai beredar di group WhatsApp Wajo, Rabu (18/4/2018).
Berikut tulisan Wawan yang ditujukan untuk mantan koleganya di DPRD Sulsel KH Anwar Sadat:
Seperti apa persahabatan itu engkau maknai? Saya sederhana saja, ketika ada palung kosong di dadamu ketika seseorang itu pergi. Meski sesungguhnya tak pergi jauh, tapi akhirnya berjarak karena keadaan dan ada lirik kehilangan yang muncul di debar jantungmu.
Saya merasakannya dua bulan terakhir dan saya yakin tak sendiri. Ada puluhan orang bahkan ratusan orang yang kesehariannya berjibaku di urip 59 (kantor DPRD Provinsi Sulsel) turut merasakannya.
Lelaki muda yang subur itu, seperti menjejakkan senyumnya di setiap sudut tempat ini. Sapaan hangatnya masih menyisakan vibrasi di setiap lorong. Dan kini dia utuh tak lagi di urip 59. Dia pulang kampung untuk sesuatu yang lebih baik.
Jujur saja, saya agak menyesal turut mensupportnya untuk kembali ke Wajo. Saya dan banyak kawan akhirnya harus kehilangan tempat bertanya tentang banyak nilai. Juga kehilangan kawan canda yang manusiawi. Saya kehilangan kawan yang amarahnya entah di simpan di mana sehingga tak pernah muncul ke permukaan.
Saya yakin bukan hanya fraksi Sulsel Bersatu yang kehilangan. Tapi sungguh menjadi egois untuk menahan hasrat orang banyak untuk membawanya pulang demi Wajo yang lebih baik. Pada titik ini saya harus pasrah.
Saya ingat diskusi kecil dengannya, tentang Wajo yang religius tapi modern dan memanusiakan. Dia paparkan harapannya untuk melihat Wajo bertumbuh dengan identitasnya sebagai kabupaten santri tapi sanggup mengakselerasi daerah lain dengan memaksimalkan anak-anak muda yang progresif. Dia membayangkan Lipa Sabbe juga Danau Tempe menjadi local identity yang tergarap maksimal. Lipa Sabbe bisa hadir di panggung kebudayaan dunia juga di lurusnya catwalk-catwalk Paris. Dan orang-orang berbondong datang ke Danau Tempe melepas penat dengan bahagia, darimana pun orang itu datang. Air bersih untuk semua, juga ikhtiar untuk mendorong petani sampai pada penghidupan yang bersahaja.
Saya membayangkan apa yang ada di kepalanya, adalah sebuah Kabupaten yang berderap. Sebuah kabupaten yang menjadi jembatan kultural yang asyik dan tetap memiliki karakter lokal yang kuat.
Saya paham, dia punya pengalaman empirik tak hanya karena dia di urip 2 periode. Tapi masalalu dan genetika yang merambat di tubuhnya lebih dari cukup untuk membawa Wajo ke arah yang lebih bercahaya.
Mesir dan kota-kota besar Eropa yang menjadi pertautan budaya tentu akan menjadi referensinya. Kitab-kitab yang merawat norma pasti akan menjadi demarkasi kebijakan. Dan ada darah Topanrita yang melengkapi kesemua itu. Darah yang akan membungkus kebijakan untuk selalu "wa ta awanu alal birr wa taqwa."