Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bendahara Pengeluaran Dinkes Enrekang Bersaksi di Pengadilan, Ini Kasusnya

Mendudukan ketiga terdakwa dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.

Penulis: Hasan Basri | Editor: Suryana Anas
TRIBUN TIMUR/HASAN BASRI
Sidang Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RS Pratama Belajen, Enrekang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, Senin (9/4/2018). 

Laporan wartawan Tribun Timur Hasan Basri

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan  Rumah Sakit (RS) Pratama Belajen, Kabupaten Enrekang, masih bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar.

Senin (09/04/2018) hari ini Pengadilan Tipikor Makassar akan mendudukan ketiga terdakwa dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum.

"Untuk saksi hari ini kiya hadirkan dari Bendahara Pengeluaran Dinas Kesehatan Enrekang," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kamaria kepada Tribun.

Adapun terdakwa dalam perkara ini yakni Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang Dr H Marwan Ahmad Ganoko, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Serta Direktur PT Haka Utama Ir Andi M Kilat Karaka, selaku pelaksana proyek dan Kuasa Direksi PT Haka Utama Sandy Dwi Nugraha.

Kasus ini diketahui bergulir sejak 2015 lalu. Dimana pembangunan rumah sakit tersebut menggunakan pagu anggaran sebesar Rp. 4.738.000.000, yang bersumber dari yang APBD (DAK) Tahun 2015.

Proyek tersebut dimenangkan oleh PT Haka Utama sesuai Kontrak Nomor : 15 / KONTRAK /PENG.RSPratama / DKE / XI / 2015 tanggal 09 November 2015, dengan nilai Kontrak sebesar Rp 4.566.800.000.

Pekerjaan pembangunan RS Pratama yang dituangkan dalam Akte Notaris Fatmi Nuryanti, SH dengan Nomor: 08 tanggal 09 November 2015, terdapat pemberian fee sekitar Rp80.000.000 dari
Direksi PT Haka Utama.

Fee itu diberikan kepada pelaksana proyek sebagai tanda terima kasih pinjam pakai perusahaan. Namun dalam pekerjaannya Direksi PT Haka Pratama melakukan penggantian personil inti serta peralatan yang ditawarkan sebelumnya, tanpa sepengetahuan dan persetujuan PPK, PPTK maupun Konsultan Pengawas.

Sehingga pengerjaan proyek tersebut diduga mengalami keterlambatan. Akibatnya terjadi penambahan waktu pekerjaan selama 56 hari kalender dan mendapat denda keterlabatan sebesar Rp 255.740.800.

Sementara dalam pelaksanaan pekerjaan ditemukan beberapa alat yang tidak digunakan sesuai analisa penggunaan alat, kendati alat tersebut tetap dibayarkan. Seperti, Whell Loader, Dump Truck dan Stamper.

Berdasarkan hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Ahli BPKP Perwakilan Provinsi Sulsel diperoleh hasil Perhitungan Kerugian Negara sebesar Rp1.077.878.252, 65. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved