opini
Opini Kepala SMPN 1 Sengkang: Pendidikan Tanpa Roh
Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai education without character (pendidikan tanpa karakter), satu dari tujuh dosa sosial.
Oleh Abidin Raukas SPd MSi
Kepala SMPN 1 Sengkang
KETIKA modernisasi dan globalisasi semakin gencar menyerang Bangsa Indonesia, masyarakatnya justru belum move on dari anggapan bahwa sekolah hanyalah sebuah pabrik besar untuk membentuk dan mencetak anak-anak sebagai target industri pada masa depan.
Mereka dituntut untuk sekadar mencatat, menghafal, dan menjawab soal sesuai target.
Hal lain yang salah disepakati secara berjamaah adalah pendidikan karakter cukuplah dibebankan kepada lembaga dan pakar keagamaan saja.
Ini jelas kesalahan persepsi yang tidak bisa ditolelir dan sekaligus menjadi tantangan terberat dunia pendidikan saat ini.
Tidak bisa disangkal bahwa keseragaman pola pikir tersebut pada dasarnya juga merupakan hasil pendidikan selama ini sebagai akibat dari hilangnya roh pendidikan.
Pendidikan tanpa jiwa yang sudah berlangsung sejak lama tanpa kita sadari telah merusak jati diri bangsa.
Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai education without character (pendidikan tanpa karakter), satu dari tujuh dosa sosial.
Apa yang kita tuai saat ini adalah hasil dari persemaian 20 – 30 tahun lalu.
BACA JUGA: OPINI: Dicari Kandidat Kepala Daerah yang Pro Bantuan Hukum
BACA JUGA: Opini Prof Mardan: Transformasi Universitas Islam
Korupsi berjamaah di kalangan pejabat, pengguna narkoba yang terus meningkat, rendahnya integritas siswa pada saat ujian, meningkatnya tindakan kriminalisasi di sekolah, dan lainnya merupakan indikator jelas tentang hilangnya roh pendidikan.
Bahkan, pada tahun 2017, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan.
Salah satu di antaranya adalah persoalan kekerasan di lingkungan sekolah.
Idealnya, mengikuti perkembangan zaman, komitmen membangun kembali pendidikan yang andal dan berkualitas selayaknya meningkat pula.
Setiap orang harusnya memahami bahwa jiwa utama pendidikan adalah membangun individu yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kriteria yang dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ini mengurai dengan jelas bahwa yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada dasarnya adalah pendidikan yang mampu menyeimbangkan akademik dan moralitas.
Telah ditetapkan porsi pendidikan karakter untuk SD sebesar 70% dan 30% untuk akademik.
Untuk SMP, 60% untuk penguatan karakter dan 40% untuk akademik.
Sekolah tidak berkewajiban mengejar target nilai ujian –dalam bentuk apapun- yang menyebabkan lahirnya budaya pragmatism dan serba instan dalam dunia pendidikan.
Kewajiban sekolah adalah memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik, utamanya penguatan pendidikan karakter sebagai modal utama.
Itulah sebabnya kita seharusnya menggunakan sistem pendidikan dan pola kebijakan yang sesuai dengan keadaan Indonesia.
Terkait dengan nilai karakter, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang prosesnya mampu menghindari indoktrinasi berbagai ajaran.
Dua dampak buruk yang mungkin ditimbulkan indoktrinasi. Pertama, anak-anak tumbuh dan terbiasa berperilaku seragam yakni menghafal dan paham sesuatu tapi tidak terinternalisasi dan teramalkan.
Kedua, anak-anak bersikap dan berperilaku sesuai etika dan estetika namun bukan karena kesadaran dan kemauan sendiri.
Untuk menghindari dampak ini, sudah saatnya sekolah menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah anak sehingga mereka merasa nyaman dan betah.
Ramah Anak
Pendidikan dapat dikatakan ramah anak, hanya jika memenuhi karakteristik inklusif, sehat, dan melindungi semua anak, sesuai dengan kebutuhan anak, dan melibatkan anak, orangtua, serta masyarakat (Shaeffer, 1999).
Di Indonesia sendiri, penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) telah dituangkan dalam Permen No 8 Tahun 2014, sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjunjung hak dan kesetaraan anak.
Sebagai investasi jangka panjang, “masa depan sebuah bangsa” menuntut generasi penerus untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya tanpa meninggalkan nilai moral.
Dengan demikian, daya kritis, beretika, dan partisipatif selalu muncul dalam jiwa anak-anak di sekolah, didampingi oleh unsur pendidikan lainnya yakni keluarga dan masyarakat.
Pendampingan ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kontradiksi antara nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh anak-anak di sekolah dan apa yang harus mereka ikuti di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Selain itu, pendampinganini juga akan mendorong percepatan bangkitnya kembali muruah pendidikan. Yakni pendidikan yang mampu menjadi fundamental pembangunan bangsa.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat yang dikenal dengan nama tripusat pendidikan harus mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam proses transformasi budaya, pun melakukan revitalisasi tanpa menunggu negara ini hancur terlebih dahulu.
Sudah saatnya kita memotong mata rantai pembodohan, yaitu mendidik tanpa roh.
Pendidikan tanpa roh menghasilkan bangsa tanpa roh pula dalam pembangunan dan tumbuh-kembang peradabannya.
Sedangkan pendidikan berkarakter menghasilkan bangsa yang berkarakter pula. (*)