Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Orangtua Buta Huruf, Arief Balla Tak Gentar Raih Pendidikan Tinggi hingga ke Amerika Serikat

Rumahnya menyendiri di ujung jalan kampung. Tak ada tetangga, listrik, dan hanya ada jalan setapak yang dibuat sendiri oleh bapaknya.

Penulis: Munawwarah Ahmad | Editor: Anita Kusuma Wardana
Arief Balla 

Laporan Wartawan Tribun Timur Munawwarah Ahmad

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Arief kecil tak pernah memiliki cita-cita yang jelas. Ia memang memiliki semua prasyarat untuk pesimis. Ia lahir di Safauhae, sebuah kampung di Tellulimpoe, Sinjai, Sulawesi Selatan.

Rumahnya menyendiri di ujung jalan kampung. Tak ada tetangga, listrik, dan hanya ada jalan setapak yang dibuat sendiri oleh bapaknya.

Kedua orang tuanya tak pernah menuntut pendidikan di jenjang manapun sehingga tak dapat membaca (Meski begitu, Arief belajar mengaji dari ibunya). Arief pun paham jika bapaknya tak terlalu mendukung pendidikannya dahulu.

I want to see what happens if I don’t give up (Saya hanya ingin melihat apa yang terjadi jika saya tidak berhenti berjuang),"kata Arief kepada tribun-timur.com dari Amerika, Senin (18/12/2017).

Beranjak kelas 4 SD, ia merantau dan tinggal di rumah sebuah keluarga berada di Kota Watampone, tak jauh dari rumah Wapres Jusuf Kalla. Keputusan yang diambilnya sendiri inilah yang kemudian merubah peta perjalanan hidupnya walau ia masih tak berani bermimpi.

Di kota tersebut, ia menyelesaikan SD dan SMPnya. Hari-harinya diisi dengan belajar dan membersihkan dan merawat di rumah di tempat ia tinggal.

Sejak SMP, ia menanggung biaya sekolahnya sendiri dengan beasiswa BOS (Biaya Operasional Sekolah). Tak jarang harus meminjam ke teman karena sejak awal memang tidak ada kiriman dari orang tua.

Saat SMP ia harus belajar keras sebab berada di kelas unggulan di SMP terfavorit di kota itu. Pada titik inilah ia belajar banyak. Bukan hanya karena sekelas dengan siswa-siswa terbaik di kotanya tetapi Arief mulai membaca banyak bacaan mulai dari karya sastra, koran, tabloid atau majalah terbitan berpuluh tahun sebelumnya.

Setamat SMP, ia kembali ke kampung halaman dan melanjutkan di sekolah yang baru dua tahun berdiri, SMAN 9 Sinjai (SMAN 1 Tellulimpoe dahulu). Walau selalu meraih peringkat pertama umum, Arief agak kesulitan menembus kampus terbaik saat tamat. Sementara teman-teman sekolahnya dengan leluasa memilih kampus favoritnya di jurusan-jurusan terbaik.

Nasib membawanya berkuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UIN Alauddin. Tak ingin larut dengan keputusan setamat SMP, ia pun memancang target tinggi. Ia harus selesai 3,5 tahun tetapi di satu sisi harus aktif berorganisasi. Misi ini bertambah berat sebab Arief harus bekerja dan tak bebas mengatur waktunya.

April 2014, ia sukses meraih gelar sarjana dalam waktu 3,5 tahun dengan IPK 3,9. Arief juga aktif sebagai wakil ketua himpunan di masanya. Ia dan beberapa temannya menginisiasi kembali Forum Lingkar Pena (FLP) UIN Alauddin yang sempat mati suri selama 5 tahun.

Ia juga aktif di United English Forum (UEF) dan beberapa organisasi atau kegiatan luar kampus. Ia juga sempat mengemban amanah sebagai ketua Ikatan Alumni SMAN 1 Tellulimpoe selama 2 tahun dan aktif melakukan kegiatan untuk meningkatkan kualitas alumni sekolahnya.

“Tidak ada alasan untuk tidak menyeimbangkan antara akademik dan organisasi. Satu-satunya alasan adalah malas,"tambah Arif.

Meski sibuk kuliah, berorganisasi dan mengajar, Arief aktif menulis baik berupa esai, cerpen atau puisi dan dimuat di harian-harian lokal terutama Tribun Timur. Beberapa tulisannya juga terbit di media nasional, termasuk Kompas. Tulisan-tulisannya banyak berisi protes-protes sosial yang kritis, termasuk tak segan mengkritik almamaternya sendiri dan sesamanya mahasiswa.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved