Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

7 Tahun Pengungsi Rohingya di Makassar, Untung Kami Masih Punya Harapan

PBB dan media internasional menyebut mereka Refugees (pengungsi). Sedangkan diplomat, menyebut mereka pencari suaka politik.

Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Thamzil Thahir

Dengan alasan kemanusiaan dan penegakan demokrasi ‘dunia’, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), tetap menampung dan memberi mereka kehidupan.

Bukan paspor atau jatah makanan, masalah terbesar dan mendasar mereka adalah tak ada negara berdaulat yang mau mengakui ‘status mereka. Mereka ‘stateless’, tak punya kewarganegaraan.

Kini para pengungsi sudah sampai pada dua kesimpulan; Pertama tak ada lagi kehidupan laik di Myanmar. Kedua, masa depan kian suram. Tapi harapan itu masih ada.

Salah satu pengungsi Rohingya, di Makassar, Musa (23) menceritakan ke Tribun Timur, Senin (4/9). Ia keluar dari Myanmar pada 2013 lalu.

Dia nekat meninggalkan “tanah” kelahiran ayah dan ibunya, dengan menggunakan sebuah kapal kayu kecil. Myanmar memang bukan tanah nenek moyang mereka.

Sebelum berlabuh di Makassar, bersama 50-an pengungsi lain, ia menyeberangi laut selama kurang lebih 15 hari menuju Banda Aceh, ujung barat Indonesia.

Mereka melintasi laut Andaman, untuk mencari kehidupan.
"Kami masuk Aceh, April 2013, di sana kami dipenjara satu bulan karena masuk secara ilegal," kata Musa yang mengaku berasal dari Kota Maungdaw, Provinsi Arakan, Myanmar. Di Arakanlah Rakhine tercatat sebagai wilayah administratif layaknya kabupaten di Indonesia.

Musa dan pengungsi lainnya sadar, meski keluar dari Myanmar dan masuk di Indonesia dengan selamat, namun mereka dipastikan tidak akan bebas karena statusnya yang ilegal. Namun hanya cara itu yang bisa mereka tempuh. "Kami tak mau lagi jadi korban perang di sana," kata dia.

Tak hanya di Aceh, Musa dan pengungsi lainnya juga kembali hafus ditahan di Tanjung Pinang, Riau Kepulauan selama kurang lebih setahun.

Mereka ditahan di sana sebelum mendapatkan kartu tanda pengungsi resmi dari UNHCR.
"Kami ditahan di Tanjung Pinang untuk dapat keterangan karena kami tak punya passport. Setelah itu awal 2014 ke Makassar. Hanya di Makassar ini kami bisa sedikit bebas karena sudah punya kartu," kata dia.

Meski sudah lebih bebas di Makassar, Musa mengatakan status mereka sebagai pengungsi membuat mereka tetap harus mematuhi aturan ketat. seperti tak boleh menggunakan kendaraan bermotor, keluar di atas jam 10 malam, dan bekerja, meski para imigran setiap bulan mendapat uang Rp1.250.000.

Musa mengungkapkan harapannya., Ia bercita-cita melanjutkan pendidikan, bekerja, dan menikah di Australia.
Namun hingga saat ini statusnya tidak jelas di Indonesia selama bertahun-tahun.

"Saya tinggalkan Myanmar waktu baru lulus SMA, saya mau kuliah di Australia tapi tak jadi karena ditahan di Indonesia," ungkap Musa yang saat ini tinggal di salah satu kamar wisma pengungsi, di Jl Perintis Kemerdekaan, Biringkanaya, Makassar.

Ia melanjutkan, status mereka sebagai pengungsi, ada tiga solusi yang bisa diperoleh, kembali ke negara asal, jadi warga negara Indonesia, atau pergi ke negara ketiga penerima pengungsi.

"Solusi 1 dan 2 tidak mungkin, hanya yang ketiga memungkinkan. Semua Rohingya di Indonesia khususnya Makassar menginginkan solusi itu, karena kami sudah terlalu banyak dan lama di sini," imbuhnya.
Ia mengatakan, ada sekitar Ada 220 warga Rohingya yang tersebar di 12 wisma di Makassar.
"Kami ingin ke negara manapun yang mau menerima kami dengan hidup normal, kalau Indonesia kami juga mau sekali. Kami hanya dibiayai hidup, tapi tak bisa berbuat apa-apa di sini," pungkasnya. (zal/ian)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved