Pendakian Aconcagua Mapala 09 FT Unhas
Di Puncak Aconcagua, Bendera Tribun Timur pun Ikut Berkibar
Angin bersuitan sebagai penanda laju yang sangat kencang disertai udara dingin -10 derajat celcius tak mereka hiraukan.
Penulis: Arif Fuddin Usman | Editor: Arif Fuddin Usman
TRIBUN-TIMUR.COM - MATAHARI tanggal 1 Februari 2017 bersinar dengan teriknya. Siang itu tepat pukul 15.15 waktu Argentina atau Kamis (2/2/2017) pukul 02.15 waktu Indonesia tengah (Wita), tim Ekspedisi Ewako Merah Putih (EEMP) 3 Mapala 09 Teknik Unhas menjejak puncak Aconcagua.
Haryadi, Ketua Tim Ewako 3 pun langsung sujud syukur. Inilah kali pertama dan mungkin juga seumur hidupnya menginjakkan kaki di puncak tertinggi Amerika Selatan, Puncak Aconcagua yang memiliki ketinggian 6.962 meter dari permukaan laut.
Dua anggota tim Ewako 3 lainnya, Muh Yusuf dan Muh Basri pun menyusul, berjongkok dan bersyujud. Angin bersuitan sebagai penanda laju yang sangat kencang disertai udara dingin -10 derajat celcius tak mereka hiraukan.
“Alhamdulillah, maha besar Allah. Sungguh kami tak percaya berada di titik salah satu puncak tertinggi di dunia ini. Di Argentina, yang letaknya ribuan kilometer dari kampung saya,” kata Basri mengambarkan detik-detik ketika sampai di puncak Gunung Aconcagua kepada Tribun Timur, Sabtu (18/2/2017).
Ya, setelah menempuh perjalanan panjang selama 17 hari dari Makassar, akhirnya ketiga anggota tim Ewako sampai di titik tertinggi Benua Amerika Selatan. Patut Anda ketahui, Indonesia hingga Argentina terbentang jarak 14.440,78 kilometer.

Baca: Hari ke-13, Tim Mapala 09 Teknik Unhas Capai Puncak Aconcagua
Namun saat momen di puncak, ketiganya tak bisa berlama-lama. Setelah mengibarkan bendera Merah Putih, Bendera Universitas Hasanuddin (Unhas), Senat Mahasiswa Fakultas Teknik, Mapala09, Pemprov Sulsel, I Love Macazzar City, Pemkot Makassar, dan tak ketinggalan bendera Tribun Timur, mereka berkemas.
Haryadi dkk berpacu dengan waktu. Puncak Aconcagua mulai tak ramah. Saat tiba di puncak kabut masih tipis. Tapi berselang 5-10 menit, titik-titik air itu semakin lama kian menebal.
“Kalau awalnya jarak pandang masih terjangkau hingga 2 kilometer, menit demi menit terlewati hanya menyisakan pandangan 100-200 meter saja. Kami memang dituntut berpacu dengan waktu. Bersama tim pemandu dan pendaki Indonesia lainnya, kami bergegas turun,” cerita Adi –sapaan Haryadi, mahasiswa PWK angkatan 2013 ini.
Dan benar saja, deru angin berhembus makin kencang. Salju pun kemudian mulai turun dan jalan tim turun dari puncak mendapatkan tantangan berat. Belum lagi suhu udara mencapai -25 derajat celcius. Saat udara lemari es yang membekukan air di titik 0 derajat saja sudah dingin, bagaimana dengan -25 derajat?
Badai Salju
Salju perlahan menutup jalan tim yang dipakai saat proses Summit atau mendaki ke puncak. Dan semua permukaan puncak Mount Aconcagua tersebut berwarna putih. “Hanya di beberapa tonjolan tebing yang masih terlihat warna coklat. Selebihnya putih oleh lapisan salju,” cerita Adi.
Dengan kondisi demikian, perjuangan untuk turun semakin berat dan waktu pun terasa semakin lambat. Dari pukul 15.15 waktu Argentina, hingga pukul 17.10, tim Ewako hanya mampu beringsut sejauh 20 meter.
Badai benar-benar datang saat tim di puncak Aconcagua. Namun Adi dkk harus tetap turun untuk berlindung dari terjangan badai plus udara dingin yang siap meremukkan tulang belulang para pendaki dan tim pemandu.
Aco, sapaan akrab Muh Basri, menceritakan momen trouble 20 meter dari puncak yakni di Canaleta, etape terakhir sebelum puncak, adalah hal yang tak akan pernah dilupakan seumur hidupnya, setelah menjejak puncak.
“Bayangkan saja, kami dari pukul 17.10 hingga pukul 21.20 waktu Argentina hanya mampu turun 200-an meter dari puncak,” kenang Aco dalam tulisannya.

Baca: 24 Peserta Ikut Dikdas dan Ormed Ke-21 Mapala 09 Teknik Unhas
Karena hari mulai gelap, Tim Ewako dan pemandu memutuskan untuk singgah beristirahat di Cueva, sebuah tebing di ketinggian 6700 mdpl dan berjarak 200 meter dari puncak Aconcagua.
Saat itu suhu diperkirakan -25 derajat celcius dengan kecepatan angin 50 km/jam. Tim hanya beratapkan langit dan terbantu oleh tonjolan tebing yang menjorok keluar, hingga udara dingin dan hantaman salju tidak langsung menerpa mereka.
“Ketika itu, kami memutuskan istirahat di tebing Cueva. Hari gelap dan diputuskan pagi hari baru turun karena cuaca dan lingkungan yang tak memungkinkan,” kenang mahasiswa Teknik Geologi angkatan 2011 ini.
Tim hanya berselimutkan bendera almamater Unhas dan bendera Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Teknik Unhas (OKFT-UH). Ya, saat Summit, tim memang tak diizinkan membawa beban berat di carrier bag.
“Alhamdulillah Tim masih diberikan keselamatan dan bisa bertahan di masa kristis saat itu. Tanpa selimut dan bekal yang ada di carrier bag, kami mencoba bertahan,” lanjutnya.
Teringat Norman Edwin
Saat kejadian itu, Aco dan tim Ewako sempat teringat kejadian 25 tahun yang lalu saat dua pendaki Indonesia Norman Edwin dan Didik Syamsu Triwahyudi, anggota Tim Seven Summits Indonesia pertama, asal Mapala UI gugur di Treverse dan Independezia.
Titik dimana kedua pendaki Indonesia tersebut gugur hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari tempat tim Ewako 3 berjuang melawan badai salju.
“Alhamdulillah, kami mendapat sebuah pengalaman hidup yang luar biasa. Dan pelajaran betapa berartinya hidup. Perjalanan ini mempunyai banyak cerita. Ini perjalanan yang paling berkesan selama hidup saya,” ujar Aco diamini Yunus dan Adi.

Baca: Suhu -25 Derajat Celcius, Berikut Menit-menit Setelah Mapala 09 di Puncak Aconcagua
Mereka pun bertahan hingga keesokan harinya. Dan dengan semangat juang pantang menyerah, plus cuaca kembali membaik, perjalanan turun dilanjutkan. Targetnya adalah turun di Camp Berlin di ketinggian 5.970 mdpl.
Pada pukul 09.00 waktu setempat, setelah kondisi kesehatan membaik, tim lanjut turun. Tim berpapasan dengan Ranger di Independencia dan langsung bergerak ke Camp Berlin.
Pukul 13.00, tim tiba di Camp Berlin, berjarak 5,5 km dari puncak. Di sini tim diperiksa oleh dokter dan hasilnya Adi (Haryadi) mengalami gejala frostbite. Aco mengalami High Acute Mountain Sickness (HAMS), sementara Lato –sapaan akrab Yusuf mengalami kelelahan.
“Tim kemudian diarahkan untuk langsung menuju Camp 2 di Nido de Condores (5.590 mdpl) karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap,” tulis Aco.
Pukul 16.00, tim tiba di camp 2, setelah diperiksa tim disarankan untuk segera dievakuasi menggunakan Helikopter ke titik awal pendakian di Horcones Gate (2.980 mdpl), kemudian langsung dijemput mobil menuju penginapan di Mendoza.

Baca: Hari Pertama Pendakian, Tim Ewako Mapala 09 FT Unhas Tracking ke Confluenzia
Tim pun menginap di Condor Suites Mendoza. Lalu dijemput Director Inka Expediciones, Mr. Sebastian pagi harinya tanggal 3 Februari 2017 pukul 08.00 waktu setempat untuk pemeriksaan kesehatan lanjutan.
“Kami diantar untuk medical ceck up di Medical Centre Mendoza. Semua pendaki dari seluruh dunia juga harus menjalani prosedur ini untuk memastikan kondisi para pendaki setelah dari puncak,” komentar Yusuf.
Setelah 3 hari dipantau dokter rumah sakit, perlahan kondisi tim sudah normal. Tim sudah diberi multivitamin dan disarankan memperbanyak waktu beristirahat.
Perjalanan 51 Jam
Layak Anda ketahui, perjalanan dari Indonesia ke Argentina tidak main-main jauhnya. Jarak yang terbentang sejauh 14.440,78 kilometer, dengan estimasi waktu perjalanan udara dengan pesawat terbang selama hampir kurang lebih 18 jam.
Tentu saja tidak ada penerbangan komersiil untuk perjalanan udara sejauh itu. Perjalanan pun ditempuh tim Ewako dengan penerbangan tak langsung dengan lama perjalanan kurang lebih 51 jam dari Jakarta hingga tiba di Mendoza.
Wikipedia menyebutkan, Kota Mendoza merupakan provinsi di bagian barat Argentina. Tepatnya di Provinsi Mendoza. Pada tahun 2001, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 112.900 jiwa dan memiliki luas wilayah 54 km².
Estimasi perjalanan tim Ewako dilakukan melalui proses transit di empat negara, tiga benua. Dari Jakarta tim ke Kuala Lumpur (KL) dengan lama penerbangan 2 jam lalu pindah bandara KLIA2 dan transit 5 jam. Kemudian dari KL ke Istanbul (Turki) selama 12 jam dan transit 5 jam.

Baca: Tim EEMP 3 Mapala 09 Teknik Unhas Wawancara Visa di Kedutaan Argentina
Baca: Tim Ekspedisi Mapala 09 Teknik Unhas Dapat Restu dari Wali Kota
Selanjutnya dari Bandara Ataturk, Istanbul ke Sao Paulo (Brazil) ditempuh selama 13 jam dan transit 3 jam. Berikutnya dari Sao Paulo ke Buenos Aires selama 2 jam dan lama transit 9 jam. Ditutup penerbangan Buenos Aires ke Mendoza selama 2 jam. Waktu tersebut belum terhitung dengan delay.
Mendoza merupakan provinsi yang masih berjarak 2 jam penerbangan dari ibu kota negara Argentina, Buenos Aires. Sebelum ke Mendoza, Haryadi, Muh Basri, dan Muh Yusuf, sempat tinggal selama 8 jam di ibukota negara kelahiran bintang sepakbola Argentina Lionel Messi.
“Sampai di Mendoza tim langsung ke penginapan untuk check in di Apart Hotel. Selanjutnya istirahat dan siangnya langsung mengurus perizinan pendakian,” jelas Ketua Tim Ewako 3, Haryadi.
Di kota Mendoza, tim menetap selama 3 hari untuk mengatasi jetlag. Kita ketahui Jet lag adalah sebuah gangguan sementara yang menyebabkan kelelahan, insomnia, dan gejala lain akibat dari perjalanan udara melintasi zona waktu yang cepat.
Alami Dua Kali Gempa
Cerita lain dari pendakian tim Ewako 3 Mapala 09 ke Puncak Aconcagua, Pegunungan Andes, Argentina, dikejutkan dengan pengalaman dua kali gempa bumi.
Dan tidak tanggung-tanggung, gempa bumi yang dialami Haryadi, Yusuf dan Aco, terjadi saat proses pendakian. Seperti diceritakan Aco, tim merasakan gempa ketika tiba di Penitentes, sebuah kota kecil terakhir sebelum mendaki melalui jalur normal di Horocones Gate.
“Kejadiannya pada pukul 20.25 waktu Argentina. Saat itu gempa berlangsung selama 10 detik namun kekuatan dan pusat gempa tdk diketahui. Yang jelas sangat terasa getarannya. Waktu itu, kami cukup kaget karena masih berada di kamar,” tutur Aco Basri.
“Kemudian kejadian keduanya saat kami turun dan tiba di Penitentes kembali saat tim Ewako sudah melakukan Summit. Tim kembali mendapat gempa, saat itu kejadiannya pukul 22.15 waktu Argentina tanpa diketahui pusat gempa dan kekuatan-nya,” lanjutnya.
Baca: Jelang Pendakian, Tim Mapala FT Unhas Menginap di Penitentes
Baca: Pulang Dikdas dan Ormed Mapala 09 Teknik Unhas, 24 Peserta Segar Bugar
Saat kejadian itu, dari penurutan Aco, anggota tim Ewako sempat berlari keluar hotel. Demikian pula orang-orang yang ada di hotel. “Saat itu kami singgah untuk mengambil barang yang kami titip sebelum mendaki,” lanjut Aco.
Aco Basri yang berlatar teknik geologi ini, mengungkapkan jika fakta gempa yang mereka alami sangat berhubungan dengan penelitian para geologist dunia bahwa daerah Aconcagua ini memang terbentuk dari proses tektonik lempeng.
“Pegunungan Aconcagua sebagai hasil dari proses geologi dan sangat dipengaruhi oleh empat pertemuan lempeng yakni Lempeng Nazca, Lempeng Antartika, Scota Plate, dan Lempeng Benua Amerika Selatan,” ujarnya.
Namun menurut para ahli geologist dunia berpendapat bahwa pertemuan antara lempeng berupa subduksi antara lempeng Nazca di Samudera Atlantik dengan lempeng Amerika Selatan sebagai penyebab terbesar terbentuknya Pegunungan Andes yang merupakan pegunungan terbesar di Dunia.
“Kejadian gempa ini membuktikan bahwa proses geologi ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan di wilayah tersebut, warga sudah terbiasa dengan gempa. Bahkan mereka seperti sudah adaptasi dengan lingkungan gempa yang rutin terjadi setiap saat,” ulas Aco.
Bermakna Jengger Tinggi
Pegunungan Andes dari Bahasa Quechua, artinya "jengger tinggi". Andes adalah pegunungan terpanjang di dunia yang membentuk rangkaian dataran tinggi sepanjang pantai barat Benua Amerika Selatan.
Pegunungan ini panjangnya lebih dari 7.000 km, lebarnya mencapai 500 km pada beberapa tempat (terlebar pada 18° sampai 20° LS), dan memiliki ketinggian rata-rata sekitar 4.000 m.
Pegunungan ini membentang melalui tujuh negara, Argentina, Bolivia, Chili, Kolombia, Ekuador, Peru, dan Venezuela, yang kadang disebut "Negara-Negara Andean" (Andean States).
Rangkaian pegunungan Andes terdiri dari dua pegunungan besar Cordillera Oriental dan Cordillera Occidental, yang sering dipisahkan dengan depresi antara yang dalam, di mana kemudian muncul rangkaian pegunungan minor, seperti Cordillera de la Costa di Chili.
Baca: Unhas Sambut Tim EEMP 2 Mapala 09 Teknik dari Kilimanjaro
Cordillera de la Costa berawal dari ujung selatan benua dan berlanjut ke utara, paralel dengan pantai. Lalu terpecah menjadi beberapa pulau di bagian awalnya dan selanjutnya membentuk batas barat lembah tengah besar Chili.
Ke bagian utara, rangkaian di pesisir ini berlanjut sebagai rangkaian perbukitan atau bukit-bukit terpencil sepanjang Samudra Pasifik sampai mencapai negara Venezuela. Lalu membentuk lembah di bagian barat rangkaian besar.
Di Pengunungan Andes ini sangat banyak gunung tinggi dengan rata-rata 5.000 meter lebih. Dan Aconcagua menjadi yang paling tinggi dengan menjulang mencapai 6.962 mdpl.
Disusul Puncak Chimborazo di wilayah negara Ekuador adalah titik di permukaan bumi yang paling jauh dari pusat bumi karena adanya gelembung khatulistiwa (equatorial bulge).
Andes tidak dapat menyamai Himalaya dalam hal ketinggian, tetapi melebihinya dari segi lebar dan lebih panjang dua kali lipatnya. (*)