Fenomena Klakson Telolet
Tak Terkait dengan Yahudi, Ternyata Inilah Sebenarnya Arti 'Telolet'
Saat booming, pada media sosial dan grup pesan instan beredar arti "om telolet om" dan pada intinya dikaitkan dengan keyakinan tertentu.
TRIBUN-TIMUR.COM - “Om Telolet Om” menjadi perbincangan di kalangan netizen di Indonesia lalu dibahas massif dan go viral di dunia maya merupakan fenomena “kemenangan sesaat” dalam pertarungan budaya global.
Di konteks budaya, fenomena adalah pengukuhan kembali era globalisasi itu ada, dengan motor utama internet dan media sosial.
Kenapa fenomena "om telolet om" mendunia?
Guru Besar Komunikasi Universitas Indonesia, Ilya Revianti menyebut fenomena sebagai pertarungan budaya hasil konstruksi realitas sosial kreatifitas anak bangsa yang meluas dan diterima sebagai bagian dari budaya popular era millenial.
“Ini merupakan fakta nyata akan kekuatan teknologi komunikasi media dengan karakter khasnya yang menengahkan prosumer. Semua orang bisa menjadi produsen pesan berupa ungkapan kreativitas tentang realita sosial yang dihadapinya sehari-hari,” katanya.
Saat ini, tambah Ilya, arus informasi global tak lagi satu arah.
Ada arus balik budaya berisi realita asli yang dihadapi anak muda di belahan bumi "Selatan”.
“Walaupun realita tersebut direkayasa dalam bentuk meme lucu.”
Ilya menambahkan, seperti isu besar atau penting lainnya, fenomena ini ditentukan media mainstream sebagai pembentuk opini publik.
Media sosial bisa menjadi alternatif sumber informasi penyeimbang.
“Tentu dengan catatan, kita harus bijak menggunakannya. Dan yang terpenting bisa memilah-milah mana yang merupakan konten sampah dan mana yang bermanfaat,” imbuhnya.
Tren Menurun
Isentia, perusahaan monitoring media asal Australia, melakukan pemantauan terhadap fenomena ini.
Dalam rilis Isentia di Jakarta, yang diterima Tribun-Timur.com, Jumat (23/12/2016), istilah yang mulai populer sejak Senin (19/12/2016) tersebut lalu dimonitor pembicaraannya di semua kanal media sosial sampai Jumat (23/12/2016).
General Country Manager Isentia Jakarta, Luciana Budiman, menyebutkan tren percakapan mengenai topik ini sudah mencapai titik klimaksnya pada tanggal 21 Desember dan saat ini cenderung menurun.