Lily Yulianti Farid dan Misi Kemanusiaannya
"Akar saya di Makassar, saya anak Makassar dan saya pulang untuk berbakti untuk Makassar. Saya pulang mengurusi project kemanusiaan ini,"kata Lily
Lily ingin pulang sebagai orang biasa yang berdaya, mempersembahkan karya untuk Makassar, yakni sebuah rumah budaya, sebuah tempat yang mampu memberikan identitas baru bagi Makassar. Tidak hanya sebagai kota yang penuh konflik seperti yang tergambarkan dalam framing media, melainkan sebuah indentitas kultur bagi Makassar.
"Kami persembahkan satu rumah budaya dan kita tidak punya interest apa-apa. Jadi bukan saya ingin jadi apa, Riri ingin jadi apa. Karena kami percaya, kalau kita mampu, kita harus berkontribusi untuk Makassar dan ini sudah enam tahun berjalan,"jelasnya.
Nyuknyang Jadi 'Obat'
Lahir dan besar di Makassar, tentu membuat kenangan tersendiri bagi Lily. Kenangan yang menyenangkan dan menciptakan kerinduan untuk pulang.
Ia menghabiskan masa-masa sekolahnya semuanya di Makassar, mulai dari sekolah di SD Pembangunan 3 (SD Sudirman Makassar), SMP Labschool IKIP (SMPN 24 Makassar), SMAN 2 Makassar hingga mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (Unhas), sebelum ia kuliah di Australia.
"Masa kecil saya di Makassar dilihat dari perspektif mata anak-anak., yaitu sebuah kota dengan jalanan yang lebar, lengang dengan banyak sekali pohon peneduh jalan, Pohon Akasia dengan bunganya yang berwarna kuning dan sering jatuh di pinggir jalan atau pohon flamboyan dengan bunganya yang merah banyak di sepanjang jalan,"kata Lily.
Kata Lily, makanan juga menjadi salah satu hal yang mengikat kita dengan kota kelahiran. Laiknya anak pada umumnya, Lily juga suka jajanan di depan sekolah, seperti nyuknyang, es sirop atau jajajan anak laiknya.
Namun, nyuknyang yang paling berkesan bagi Lily adalah nyuknyang ia dijual di salah satu kios di Jl Gunung Latimojong. Jika ia sakit, ibunya tak langsung membelikannya obat, tapi justru membelikan nyuknyang tersebut yang dinilai lebih mujarab.
"Kalau makan nyuknyang itu pasti sembuh. Jadi kalau besoknya sudah tidak demam lagi, artinya tak harus minum obat atau ke dokter lagi. Jadi ibu saya itu jarang bawa kami ke dokter,"ujarnya sambil tertawa mengingat kenangan tersebut.
Semasa kecil, Lily juga senang ikut ibunya ke pasar. Pasar Sawah di Jl Gunung Latimojong menjadi tempat favorit ibunya berbelanja. Hal yang paling ia ingat juga saat itu adalah orang berbelanja dengan ramah lingkungan. Pembeli membawa keranjang belanjaan mereka sendiri
"Tak ada bungkusan plastik, semuanya dibungkus pakai daun atau kertas daur ulang, jadi penggunaan plastik masih sangat jarang,"tambahnya.
Lily juga besar dengan tradisi Pameran Pembangunan yang setiap tahun digelar di Lapangan Karebosi Makassar. Kenangan pameran pembangunan tersebut juga menjadi alasannya membuat MIWF.
Pasalnya, ia menilai pendekatan yang dipakai dalam pameran tersebut sangat developmentalis. Dimana setiap kabupaten yang berpartisipasi seolah 'dipaksa' bercerita mengenai keberhasilan mereka melalui foto-foto yang dipamerkan.
"Nah, di MIWF ini saya membayangkan ada anak kecil yang datang ke MIWF sejak tahun 2011, dia tumbuh dengan setiap tahun pergi ke MIWF dengan pengalaman yang berbeda, dia mendapat ruang untuk mendengar cerita, dan menikmati taman bacaan. Jadi mereka akan lebih beruntung daripada saya,"katanya.
MIWF 2017