Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tak Kenal Maka Tak Sayang

30 Tahun Sate 'IKIP Madura' di Gunungsari, Makassar

Gerobak sate di pojokan itu, sudah ada sejak Universitas Negeri Makassar (UNM) masih bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)

Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Anita Kusuma Wardana
30 Tahun Sate 'IKIP Madura' di Gunungsari, Makassar - sate-ikip_20160613_120337.jpg
TRIBUN TIMUR/THAMZIL THAHIR
Muhammad Ilyas (25), baju merah dan bersongkok To Bone, bersama para kerabat dan karyawan Sate IKIP Madura di pertigaan Jl Landak Baru dan Jl AP Pettarani, Makassar, Senin (13/6/2016) dini hari.
30 Tahun Sate 'IKIP Madura' di Gunungsari, Makassar - sate-ikip2_20160613_120202.jpg
TRIBUN TIMUR/THAMZIL THAHIR
Sate IKIP Madura di pertigaan Jl Landak Baru dan Jl AP Pettarani, Makassar, Senin (13/6/2016) dini hari.

Laporan Wartawan Tribun Timur, Thamzil Thahir

TRIBUN-TIMUR.COM-Senin (13/6/2016) dini hari, tribun-timur.com, mampir di sebuah gerobak sate Madura di pertigaan Jl AP Pettarani dan Jl Landak Baru, Makassar.

Gerobak sate ini dilabeli Sate "IKIP" Madura. Jualannya, sate ayam, sapi, dan sate kambing.

Gerobak sate di pojokan itu, sudah ada sejak Universitas Negeri Makassar (UNM) masih bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang.

"Saya lahir di Ujungpandang, tahun 1992. Bapak saya sudah jualan sate disini sejak 1987," kata Muhammad Ilyas (24), putra bungsu Haji Abdul Bahri (53), perintis gerobak sate di sudut kampus PPs UNM Gunungsari.

Beberapa tahun terakhir, Ilyas sepertinya mulai disiapkan ayahnya jadi pewaris gerobak sate Madura ternama, tertua dan populis di Jl AP Pettarani, selatan kota Makassar itu.

Ilyas pantas "dapat" warisan gerobak sate itu. Dia anak tertua dari tiga bersaudara.

Adiknya, Siti Khomsiyah (23), menikah dengan pria Madura, Syamsul Arifin (34). Syamsul, juga membaur dan ikut membantu "kakak iparnya" jualan sate.

" Fiqri, adik bungsu, saya sekolah di SMP Telkom," kata Ilyas, yang menikahi Hajriyanti (23), wanita asal Banta-bantaeng, Rappocini, Makassar, tiga tahun lalu.

Seperti sang ayah, Ibu kandung Ilyas, Hajjah Siti Maryam (50), juga asli Desa Modung, Kecamatan Modung, Bangkalan, Kabupaten Madura, Jawa Timur.

Ilyas memang dominan di gerobak dan tenda sate dengan 20-an kursi dan lima meja itu.

Dialah pemegang kunci laci "brankas" gerobak. Ayah satu putra (Ramdhan Pratama, 2 tahun) ini, juga yang terlihat memberi instrukksi melayani pelanggan.

Beberapa pelanggan yang membayar, dia handle langsung.

Yang lain sepertinya, belum berani, tepatnya belum dapat otoritas; "Sama Bos, Pak," kata seorang pelayan dengan logat Madura yang amat kental.

Di gerobak sate itu, setidaknya Haji ABdul Buhari mempekerjakan lima "karyawan".

Karyawan pakai tanda " petik" sebab mereka masih terbilang kerabat dekat, minimal sekampung dengan Pak Haji dan Bu Haji di Bangkalan.

"kami semua disini, dari Kampung Langkap, Desa Modung, sekitar 29 km dari Kamal," kata MUhammad Umarullah (32), satu dari dua juru bakar sate.

Kamal adalah nama pelabuhan Ferry di ujung barat Pulau Madura. Sebelum beroperasi utuhnya jembatan Surabaya Madura (Suramadu) 10 Juni 2009 lalu, akses tunggal kendaraan roda empat dan roda dua dari Pelabuhan Ujung (Tanjung Perak) di utara Surabaya, dengan kapal Feri Ro-Ro.

Umar sudah satu dekade lebih mukim di Pulau Sulawesi. DIa menikahi, wanita asal Kalosi, Enrekang. "tiga anak saya, susah tiga kali saya ajak ke Bangkalan," kata Umar.

Selain Umarullah, juru bakar sate lainnya adalah Imam Bukhori (17) dan juga kerap dibantu Muhammad Thoha (20).

Dua "karyawan" lain adalah Lukman (15), dan Syamsul Arifin (32).

Meski lahir, sekolah, dan menikah dengan wanita Makassar, Ilyas juga masih fasih berbahasa Madura.

Di rumah kontrakannya, di Jl Faizal XII, Rappocini, Makassar, kedua orangtua Ilyas mengajarinya bercakap ala Pulau Garam, secara alamiah.

Di rumah bertingkat yang dikontrak untuk tiga kepala keluarga dan gerobak satenya itulah, Ilyas saban hari mempraktikkan bahasa ibu-nya.

Saban Lebaran Idul Adha, atau Lebaran Haji, Ilyas dan dua adiknya, juga selalu diajak pulang melihat dan bertemu dengan kerabat di kampung halaman orangtuanya.

"Insya Allah, Tellasan Rajha (Idul Adha) tahun ini, saya Toron lagi," kata alumni SMK Tri Tunggal 45, Jl Sultan Alauddin, Makassar ini.

Toron adalah istilah mudik lebaran Idul Adha, bagi entitas perantau Madura.

Meski orangtua Ilyas sudah hampir 30 tahun merantau di Ujungpandang, ayah dan Ibu Ilyas masih tetap memilih setia di tanah Medura.

Di Makassar mereka tetap kontrak rumah. Dua puluh tahun mereka, ngontrak di Jl Rappocini X, Cilallang, lima tahun di Jl Hertasning II, dan kini memasuki tahun kelima ngontrak di belakang RS Islam Faizal, sekitar 1,1 km sebelah barat, gerobak jualan mereka.

Ilyas sendiri mengaku mulai betah bermukim di kampung istrinya, Rappocini.

Namun pria bertubuh ceking ini juga tetap akan mengingat dan mengamalkan tradisi Tanah Medura, tanah tumpah darah ibu-bapak, dan nenek moyangnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved