Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pekan Depan, Walhi Hadirkan Saksi Fakta di PTUN

Selain menghadirkan saksi, tim penggugat juga akan menyerahkan bukti bukti yang diminta oleh Majelis Hakim PTUN atas gugatannya

Penulis: Hasan Basri | Editor: Anita Kusuma Wardana
TRIBUN TIMUR/HASAN BASRI
Komisi Yudisial penghubung Sulawesi Selatan mengawal sidang reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia (CPI) yang sedang bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Selasa (26/4/2016). 

Laporan wartawan Tribun Timur Hasan Basri

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR-Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) selaku penggugat atas
ijin reklamasi pantai proyek pembangunan proyek Central Point Of Indonesia (CPI) di bagian barat pesisir pantai Losari Makassar akan menghadirkan saksi fakta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

"Pekan depan pada sidang agenda pemeriksaan saksi, kami rencana menghadirkan saksi fakta dari masyarakat nelayan,"kata Tim kuasa Hukum Walhi, Zulkifli Hasanuddin di gedung PTUN Makassar.

Selain menghadirkan saksi, tim penggugat juga akan menyerahkan bukti bukti yang diminta oleh Majelis Hakim PTUN atas gugatannya. Surat itu berupa ijin dari Walikota tentang pelaksanaan reklamasi.

"Untuk hari ini kami telah menyerahkan sejumlah bukti bukti hasil penelitian dampak lingkungan. Isinya perihal dampak dari pelaksanaan reklamasi,"sebutnya.

Walhi Sulawesi Selatan diketahui menggugat Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar pada Januari lalu.

Walhi menggugat setelah memastikan pemerintah provinsi menerbitkan izin reklamasi pantai yang diduga cacat prosedural. Pokok gugatan tersebut adalah Surat Izin Gubernur tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi bernomor 644/6273/TARKIM.

Dalam surat keputusan tersebut, Gubernur Syahrul memberikan izin proyek reklamasi seluas 157 hektar di kawasan CPI. Lahan seluas 57 hektar akan diserahkan kepada pemerintah provinsi untuk pembangunan Wisma Negara.

Sedangkan sekitar 100 hektar sisanya dikuasai oleh swasta untuk kepentingan perhotelan, bisnis, dan pemukiman mewah. Hal itu dinilai menyalahi aturan dan hanya merusak ekosistem laut.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved