'Senjakala PPP, Partai Kakbah yang Terancam Jadi Paria'
Usianya memang 43 tahun, seumur dengan partai penguasa sekarang, PDI Perjuangan.
TRIBUN-TIMUR.COM - Tak hanya media massa platform cetak (print) yang terancam menemui senjakalanya, namun juga partai.
Partai apa?
Mantan jurnalis Tempo, Tomi Lebang melalui kolomnya pada Facebook, Selasa (22/3/2016), menyebut, partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Usianya memang 43 tahun, seumur dengan partai penguasa sekarang, PDI Perjuangan.
Namun, PPP tercancam menemui senjakalanya karena partai sebayanya itu.
Mengapa?
Menurut Tomi, karena PPP yang sedang terpecah belah, nasibnya berada di tangan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly (62).
“Inilah yang dirasakan benar oleh Ketua Umum PPP, Djan Faridz. Yasonna Laoly seperti menari di atas konflik dalam tubuh PPP yang sesungguhnya telah selesai. Ia seolah menjaga api perseteruan agar tetap membara,” tulis pria asal Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat tersebut.
Selengkapnya, baca kolom penggemar ikan koi tersebut.
SENJAKALA PARTAI KAKBAH
-- PPP Yang Terancam Jadi Paria
Politik tanah air sungguh-sungguh gaduh, berita panas datang bergelombang silih berganti, dan kita pun melupakan partai lawas yang kini terancam runtuh: Partai Persatuan Pembangunan.
Partai yang berdiri tahun 1973, hasil gabungan empat partai keagamaan -- Partai Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia, Perti dan Parmusi -- dan karena itu menyebut dirinya “rumah bersama umat Islam” pernah bertahan dalam hempasan zaman dan tekanan penguasa Orde Baru bersama Golkar yang berkuasa. PPP-lah yang hampir tak pernah kalah di kota paling majemuk di Indonesia, DKI Jakarta. Ia baru bisa disalip Golkar di penghujung kekuasaan Orde Baru, di tahun 1997.
Saya masih ingat singa-singa podium partai ini: Rhoma Irama, Zainuddin M.Z., Jailani Naro, Ismail Hassan Metareum, dan lain-lain. Di setiap musim kampanye, jika Rhoma bergoyang, ribuan massa berkaus hijau di mana pun di negeri ini akan terbakar serempak meneriakkan kesetiaan kepada PPP. Juga Zainuddin M.Z., sang kiai sejuta umat yang lama menjaga marwah PPP.
PPP pula yang pertama kali berani melawan kehendak Soeharto untuk senantiasa “musyawarah untuk mufakat” ketika pada Sidang Umum MPR Maret 1988 mencalonkan Ketua Umumnya, Jaelani “John” Naro sebagai calon wakil presiden pesaing Sudharmono. Kegaduhan politik di parlemen yang jarang terjadi di zaman itu memaksa Presiden Soeharto turun tangan. Naro, seorang bekas jaksa yang jadi politisi, mundur di detik-detik terakhir pemilihan. Sebagai protes atas tekanan ke Naro yang tak demokratis itu, Sarwo Edhie Wibowo, seorang jenderal bekas sekutu Soeharto mengundurkan diri dari MPR dan DPR.