Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Dewasa, masyarakat Dewasa, dan Pemerintah Dewasa

Guru yang digelari “pahlawan tanpa tanda jasa” sekarang justeru bertabur “tanda pangkat” yang menyerupai pakaian dinas militer.

Editor: Aldy

Dewasa menurut kamus bahasa Indonesia adalah akil balig. Dewasa menurut Undang-undang perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu kematangan dan tanggung jawab.
Menurut Langeveld (1971) kedewasaan merupakan tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan. Jika manusia sudah mencapai kedewasaan, maka tidak ada lagi perlakuan pendidikan dari orang lain baginya, karena dia telah mampu mendidik diri sendiri.
Meski demikian, pada kenyataannya dalam dunia pendidikan masih dikenal istilah andragogik atau pendidikan untuk orang dewasa. Mengikut pada apa yang dikemukakan oleh Langeveld berarti pendidikan mengantar manusia yang belum dewasa menuju pada kedewasaan. Tentulah makna dewasa menurut Langeveld adalah kematangan karakter, kematangan perilaku, kematangan menghadapi ujian, kematangan menghadapi perubahan, dan kematangan menyikapi kehidupan. Kalau demikian adanya pendidikan yang sedang berproses saat ini membutuhkan guru dewasa. Lalu, siapa guru dewasa saat ini?
Nama “Umar Bakri” telah menjadi sebutan bagi guru di Indonesia. Syair lagu “Umar Bakri” telah mewakili sosok guru yang berdedikasi, mengabdi sepenuh jiwa meskipun hidup dalam keprihatinan karena imbalan yang tak seberapa. “Umar Bakri” mewakili kesederhanaan live style yang mengundang simpati dan rasa kasihan.
Meskipun demikian sosok “Umar Bakri” masih tetap menjadi guru yang dihormati, disegani dalam penampilan yang sederhana dengan menaiki sepeda kumbangnya. Hari ini, guru bukan lagi “Umar Bakri” yang dulu. Kalau “Umar Bakri” dulu diberi imbalan yang tak seberapa tetapi guru sekarang telah “dimuliakan” dengan imbalan yang beberapa (gaji dan tunjangan profesional). Namun apakah perubahan yang besar ini menjadikan guru berubah? Tidak seperti yang dulu lagi? Beberapa fenomena berikut sebaiknya menjadi renungan.
Fenomena pertama, kecukupan penghasilan telah menyulap guru dari menaiki “sepeda kumbang” menjadi mengemudi “mobil mengkilap”. Kemacetan yang terjadi di jalan-jalan kota dan di jalan luar kota tidak terlepas dari adanya kontribusi oknum guru yang “ramai-ramai” membeli mobil. Padahal menurut filsafat pendidikan, semua ketidaknyamanan yang menimpa manusia (termasuk kemacetan) merupakan akibat dari kegagalan pendidikan.
Membeli mobil saat ini sudah merupakan kebutuhan, apalagi jasa penjualan mobil menawarkan kemudahan-kemudahan bagi pembelinya. Tetapi apakah guru yang menjadi tokoh pendidikan juga ikut-ikutan menambah kemacetan? Sekiranya guru berperilaku dewasa, maka kemacetan yang terjadi seperti sekarang ini bukan malah ditambah dengan volume kendaraan di jalanan tetapi dengan pikiran sebagai pendidik yaitu mendorong pemerintah agar memberlakukan transformasi massal untuk mengurangi kemacetan. Adapun “mobil mengkilap” yang terparkir di rumah hanya dipakai untuk situasi dan kondisi tertentu. Kecukupan, kekayaan finansial bukan halangan untuk bergaya hidup sederhana.
Fenomena kedua, kedewasaan guru rupanya teruji lagi dengan kebijakan baru dari pemerintah. Guru yang digelari “pahlawan tanpa tanda jasa” sekarang justeru bertabur “tanda pangkat” yang menyerupai pakaian dinas militer. Banyak guru yang menjadi bangga dengan penampilan barunya meskipun tidak sedikit pula yang merasa “lain-lain” dengan tanda pangkat yang ramai di pundak, di dada, dan di kerah baju. Lagi-lagi kesan sederhana menjadi terganggu. Aspek psikologis yang muncul dengan situasi seperti ini adalah terjadinya “jarak pemisah” untuk bersosialisasi dengan orang lain terutama peserta didik.
Fenomena ketiga. Tahun lalu (2014) guru melakukan demonstrasi di gedung DPR.
Mereka menuntut pencairan tunjangan profesional yang “telat” dibayarkan. Ternyata behasil, beberapa hari kemudian uang tunjangan profesionalpun dibayarkan. Bagi sebagian orang, tindakan demonstrasi guru tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak dewasa. “Guru itu kerjanya mengajar, bukan ikut-ikutan berdemo”. “Guru itu harus memperlihatkan contoh yang baik”. Kurang lebih seperti itulah komentar sebagian orang. Lalu mengapa guru bertindak tidak dewasa? Boleh jadi karena guru merasa diperlakukan tidak seperti orang dewasa.
Fenomena keempat. UKG (Ujian Kompetensi Guru) menjadi beban pemikiran tersendiri bagi guru. Betapa tidak, nilai UKG secara nasional yang telah dilaksanakan sebelumnya belum menggembirakan dengan nilai rata-rata 4,7. Target minimal untuk UKG 2015 yaitu 5,5. Sejak tanggal 9 November 2015, UKG (Ujian Kompetensi Guru) dilaksanakan. Bagi guru yang telah selesai dan memperoleh nilai standar (5,5) dan melebihi standar sudah merasa lega. Ada yang merasa puas, ada yang menerima apa adanya, ada yang mengeluhkan soal, ada yang menyalahkan software komputer. Lalu di mana kedewasaan guru? Dewasa dalam menerima kenyataan, mengakui kekurangan, bertekad memperbaiki diri untuk UKG berikutnya.
Fenomena kelima. Sebagian orangtua dan masyarakat tidak mengikat kerjasama yang baik dengan pihak sekolah (guru-guru). Orangtua hanya ingin mendengar berita baik tentang anaknya di sekolah. Orangtua tidak berani menghadapi kenyataan “pahit” seperti tinggal kelas atau tidak lulus. Padahal semua itu adalah bagian dari proses pendidikan. Apabila orangtua menghadapi kenyataan anak yang tinggal kelas, maka “pindah-naik” dijadikan solusi (win win solution katanya).
Di sisi lain masyarakat senantiasa memantau kinerja pelaksana sekolah. Hal itu sangat baik.
Hanya saja kadang-kadang tidak mengutamakan musyawarah jika ada masalah yang dianggap menyimpang. Mereka ada yang mengadukan ke DPR dan ada pula yang langsung mengadukan di media massa.
Sekarang ini kita diperhadapkan pada kenyatan yang lebih pahit. Perilaku anak usia sekolah seperti geng motor, begal motor, pergaulan bebas, penggunaan obat terlarang, pencurian, perkelahian, dan ketidaksungguhan belajar telah membentang di hadapan kita. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Secara filosofi pendidikan, semua ketidakbaikan yang terjadi adalah karena kesalahan pendidikan. Siapa pendidik itu? Pendidik adalah setiap orang dewasa baik secara individu maupun kelompok atau lembaga. Kalau demikian adanya, maka kita semua orang dewasa adalah pendidik.
Semua orang dewasa harus memperlihatkan kedewasaan dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Siapapun kita, guru, orangtua, masyarakat, pemerintah selayaknya secara dewasa membangun kemitraan harmonis dalam pendidikan karena sasaran pendidikan adalah generasi yang kita persiapkan yaitu anak-anak yang sama kita cintai.(*)

Oleh;
Islahuddin
Guru Matematika SMA Negeri 9 Makassar/Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan UNM

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved