Degradasi Peran Guru
Seorang guru dituntut menjadi orangtua bagi segenap peserta didiknya di sekolah, terlebih bagi anggota keluarga sendiri sekembalinya di rumah.
Terhitung baru 21 tahun bangsa Indonesia memiliki Hari Guru Nasional. Tepatnya, sejak pemerintah menetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Hari guru yang jatuh pada setiap 25 November bertepatan dengan terbentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 25 November 1945.
Dalam sejarahnya, PGRI merupakan metamorfosis dari Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang dua dekade sebelumnya bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang didirikan sejak 1912. Spirit pembentukan PGRI adalah kesadaran kebangsaan dan perjuangan menuntut persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda kala itu.
Tantangan Profesi
Secara personal, guru memainkan peran sosial ganda yaitu memberi keteladanan dalam keluarga (rumah) sekaligus dalam masyarakat (sekolah). Seorang guru dituntut menjadi orangtua bagi segenap peserta didiknya di sekolah, terlebih bagi anggota keluarga sendiri sekembalinya di rumah. Dengan begitu, peran keteladanan tidak terbatas pada jam formal sekolah, tetapi diwajibkan melakoni peran serupa di luar sekolah. Internalisasi intelektualitas dan moralitas harus terpancar dari diri seorang guru. Mungkin ini salah satu tugas berat sekaligus kelebihan bagi guru dibanding profesi lainnya.
Dalam konteks kekinian, profesi guru semakin ‘tertantang’. Kompetensi seorang guru tidak cukup hanya dengan menguasai materi pembelajaran ataupun kemampuan merancang dan menerapkan metode pembelajaran yang interaktif. Seorang guru dituntut memiliki kecerdasan emosional karena beratnya tantangan yang dihadapi dalam melakoni profesinya. Tantangan yang dimaksud juga semakin variatif, mulai yang bersifat portofolio hingga psikis. Beratnya beban pelaporan tugas profesional guru secara berkala acap dinomorsatukan ketimbang rutinitas membaca dan mengembangkan kreativitas dan kompetensi keilmuannya. Tuntutan pelaporan seperti itu telah menggiring aktivitas guru ke dalam sangkar birokrasi administratif.
Tantangan yang bersifat psikis tercermin pada pergeseran budaya. Jika dulunya guru diposisikan sebagai pusat segala bentuk pembelajaran, saat ini posisinya mulai tergantikan oleh sarana internet. Update penguasaan materi oleh seorang guru dituntut tanpa henti. Implikasinya pun positif karena kualitas pembelajaran juga terus mengalami kemajuan seiring kemajuan mutakhir. Terbukanya ruang kemandirian dalam mengais informasi bernilai konstruktif bagi proses pembelajaran. Namun, situasi demikian secara tidak langsung berpotensi memengaruhi kapasitas edukatif seorang guru yang berujung degradasi perannya terhadap peserta didik. Akhirnya, peserta didik acapkali ‘mengabaikan’ peran guru karena mereka bertumpu pada ruang kemandirian belajar tersebut. Tantangan psikis yang dirasakan seorang guru dapat mewujud dalam bentuk peremehan terhadap peran dan kompetensinya, sehingga kepercayaan peserta didik pun menurun. Akibatnya kedekatan personal seorang guru dengan peserta didik hanya terjalin dalam ranah transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tidak menyentuh pada ranah penanaman nilai (transfer of value).
Mengajar Belajar
Tantangan psikis semacam itu sejatinya direspons dengan cara menumbuhkan sikap ‘ketergantungan’ peserta didik kepada gurunya. Ketergantungan yang dimaksud adalah memanfaatkan perkembangan teknologi informasi yang ada dengan memainkan ‘peran inspiratif’ di dalamnya. Adalah kreativitas emosional guru yang harus dikedepankan dalam mengoptimalkan peran inspiratifnya. Dalam konteks ini, peran seorang guru harus lebih maju dengan tidak hanya mengaplikasikan konsep “learning to know”, tetapi beranjak ke “learning how to”. Sebab, pada konsep pertama peran guru telah banyak diambil-alih oleh teknologi informasi. Kalaupun guru hadir di dalamnya itu terletak pada aspek klarifikasi dan pengarahan, bukan lagi pada aspek pengenalan. Adapun konsep kedua menekankan peran seorang guru untuk mendalami materi pembelajaran sekaligus mengoneksikannya dengan realitas kekinian dengan tetap mengusung dimensi aktualitas dan moralitasnya.
Banyaknya mata pelajaran yang disuguhkan di sekolah dapat saja berpotensi menjemukan peserta didik. Kepengapan psikis yang dialami peserta didik itu jika tidak direspons secara proporsional akan bermuara pada pencarian ‘ventilasi’ di luar jalur yang wajar. Kecanduan siswa terhadap gadget, bermain play station, menonton tayangan televisi di luar batas kewajaran dan semacamnya kemungkinan akan menjadi pilihan favorit peserta didik dalam merespons kepengapan psikisnya. Keakraban interaksi antara guru dan peserta didik sejatinya lebih dominan ketimbang interaksi antara peserta didik dan gadget, play station, dan semisalnya. Pasalnya, jika dominasi sarana bermain anak ini lebih tinggi, lambat-laun pola interaksi guru dan peserta didik dipastikan akan semakin terdegradasi.
Adalah kapasitas intelektual dan emosional bagi seorang guru yang harus terus diasah, sehingga kedekatan interaktif seorang guru dengan peserta didik menciptakan ketergantungan psikis. Keharusan ini akan mengefektifkan peran edukatif guru dalam kesadaran psikis peserta didiknya. Profesi guru selalu berada dalam siklus mengajar dan belajar yang tiada henti disertai keteladanan moral. Di sinilah letak keluhuran profesi guru karena mampu mengisi, membentuk, sekaligus menghiasi karakter peserta didiknya. Jika ini mewujud secara optimal dalam keseharian setiap guru, maka kontribusinya terhadap pendidikan dan perbaikan generasi bangsa akan terlihat secara kasatmata. Yang tak kalah pentingnya untuk terus ditanamkan pada diri seorang guru adalah bahwa generasi bangsa yang dididiknya akan hidup pada masa mendatang yang akan berbeda dengan masa sekarang.
Kebesaran bangsa ini tak luput dari kontribusi peran guru. Dan, bangsa yang besar akan selalu menghargai jasa guru. Selamat Hari Guru!
Oleh:
Syahrullah Iskandar
Dosen UIN SGD Bandung/Sekretaris Umum Pusat Ikatan Alumni DDI Mangkoso