Dosen Kreatif dan Inovatif
Tulisan yang aktual bagi redaksi itu penting untuk memenuhi tuntutan pembaca moderen yang senang membaca berita dan opini yang up to date.
Tulisan ini terinspirasi dari opini sahabat dan kakanda saya Prof SM Noor di Tribun Timur, kolom opini Rabu 18 Nopember 2015 hal 23. Judul tulisan tersebut Sisi Lain Profesor : Kreatif dan Inovaati . Beliau menulis pengalaman ketika mengajukan berkas pengususlan professor beberapa waktu lalu dan terjadi perbedaan persepsi dengan pihak rektorat (Unhas) yang diberi tugas menghimpun dokumen pengusulan.
Dalam tulisan tersebut penulis keberatan karena di antara buku-buku linier yang sudah diterbitkan tiga buku novel beliau ditolak. Pihak rektorat menolak tentu dengan alasan bahwa novel tersebut tidak relevan dengan disiplin ilmu yang prof geluti. Namun dengan diskusi yang alot, akhirnya novel itu diterima oleh rektorat dengan catatan kesepakatan berdua bahwa biarlah dikti yang seleksi dan melempar ke tempat sampah kalau menolak.
Alhasil seperti kanda Noor tulis, akhirnya novel itu diterima. Bahkan reviewer yang memeriksa dokumen tersebut sedang keasikan membaca novel tersebut. Dia bilang sebagaimana dituturkan oleh teman kanda Noor yang mengawal dokumen tersebut bahwa “Guru besar kreatif seperti inilah diperlukan. Punya nurani dan orisinalitasnya tidak diragukan.”
Pengalaman
Saya dan mungkin juga beberapa teman lain termasuk dosen yang sering menulis dan jauh dari disiplin ilmu. Menulis tentang geng motor, tentang perempuan, tenaga kerja, tentang logika, filsafat dan sebagainya. Tulisan itu locus dan focusnya tidak relevan dengan ilmu pemerintahan yang saya geluti sebagaimana juga tertera dalam sertifikasi dosen yang dikeluarkan Dikti.
Seorang penulis terutama di kolom opini surat kabar, memang dituntut untuk menulis dengan judul-judul yang relevan dengan situasi dan kondisi serta suasana kebatinan masyarakat ketika itu, kalau tidak, maka tulisan itu ditolak oleh redaksi. Tulisan yang aktual bagi redaksi itu penting untuk memenuhi tuntutan pembaca moderen yang senang membaca berita dan opini yang up to date.
Persolanannya adalah apakah karya tulis seorang dosen dalam bentuk artikel yang dimuat di koran-koran dihargai oleh dikti? Apakah artikel itu harus relevan dengan disiplin ilmu untuk memenuhi kewajiban tri dharma perguruan tinggi? Pertanyaan-pertanyaan itu sering menjadi bahan diskusi di antara teman-teman sejawat yang memang hobi dan gemar menulis di koran.
Beberapa waktu lalu jawaban atas pertanyaan di atas saya terima dan syukur alhamdulillah ternyata artikel yang ditulis di koran sudah diterima oleh dikti. Satu tulisan diberi bobot 1 (satu) dengan begitu tiga artikel di koran sudah bisa setara dengan kegiatan penelitian yang kalau tidak dipublikasi nilainya 3 (tiga) dan kalau 10 (sepuluh) tulisan setara dengan satu tulisan di jurnal terakreditasi yang bobotnya 10.
Dengan begitu teman sejawad yang gemar menulis di koran dan tidak berkesempatan melakukan penelitian disebabkan karena waktu, dana dan tenaga, sudah bisa menggantikan kewajiban darma kedua perguruan tinggi yaitu ‘penelitian’.
Kreatif inovatif
Reviewer yang meloloskan karya novel SM Noor yang mengantarkan beliau menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Unhas juga adalah reviewer kratif dan inovatif. Orang seperti ini tentu langka di republik ini. Sebab kebanyakan reviewer kita sangat normatif dan cenderung konservatif.
Mereka ini tergolong orang-orang menganut paradigma ‘positivisme’ yang sejak lama ditinggalkan oleh pemikir-pemikir Barat post modernis. Sekarang zaman sudah berubah. Bukan lagi moderen tetapi post moderen yang sangat menghargai perbedaan, bukan lagi zamannya kuantititaf: tetapi sudah kualitif bahkan mix kuantititatif plus kualitatif.
Pluralisme sebagai turunan post modernis sangat menghargai perbedaan dan karena itulah karya-karya kreatif dan inovatif semacam novel perlu dihargai sebagai bagian dari karya genius dan harus mendapat tempat dalam penilian untuk kenaikan pangkat dosen atau bagian dari persyaratan untuk menjadi guru besar. Jangan berpikir prosedural tetapi harus berpikir subtantif.
Judul-judul penelitian, baik yang dilakukan mahasiswa maupun dosen juga harus inovatif dan kreatif. Jangan melulu judul itu berkaitan dengan peran pemerintah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat atau hubungan model pembelajaran dengan peningkatan kualitas siswa. Judul-judul seperti itu sudah usang dan tidak lagi relevan dengan tuntutan masyarakat yang sedang berubah.
Post modernis sudah sejak lama menawarkan judul-judul penelitian yang lebih kreatif dan inovatif. Misalnya seperti dikemukakan Prof Sofyan Salam MA PhD, dosen UNM yang lama sekolah di Amerika Serikat.
Dalam satu kesempatan perkuliahan, beliau pernah menjelaskan, bagaimana promotor-promotor di perguruan tinggi ternama di Amerika menawarkan judul-judul yang seksi, misalnya, Aku Cinta Padamu atau Aku Sayang Padamu. Judul-judul seperti ini sudah lumrah di Amerika, namun katanya masih susah diterima oleh kebanyakan promotor di Tanah Air.
Promotor kita kata beliau masih sangat konservatif.
Seharusnya sudah saatnya berubah dari positivisme ke post positivisme. Sebab bukan lagi saatnya melihat apa yang nampak dipermukaan, tetapi apa dibalik permukaan itu. Post positivism menggali jauh ke dalam, bukan dangkal dan meluas.
Dosen yang diharapkan saat ini adalah dosen yang kreatif dan inovatif dan dosen seperti ini hanya bisa ditemukan pada peribadi dan institusi yang juga mengalami perubahan ke arah yang juga inovatif dan kreatif. Semoga dan selamat buat kanda SM Noor. (*)
Oleh:
Amir Muhiddin
Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur