Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Aktor Korupsi Pengadaan Barang-Jasa

Aktor-aktor yang terlibat dalam pengadaan barang jasa, diantaranya: Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),...

Editor: Aldy

Gonjang-ganjing penetapan tersangka kepala daerah mengundang atensi publik. Maklum. Ihwal tersebut mempertinggi temperatur emosi suasana pilkada. Contohnya, Hatta Rahman, incumbent Bupati Maros yang juga merupakan kontestan Pilkada Maros menjadi korban bola liar mengenai status tersangkanya. Tersiar kabar bahwa terhadap Hatta Rahman menjadi tersangka korupsi proyek pengadaan lampu hias taman dan jalan. Kabar tersebut akhirnya terbantahkan sendiri dengan pemberitaan media dan klarifikasi dari pihak kepolisian.
Dalam tataran akademik penting untuk mengkaji kasus tersebut dalam realitas penegakan hukumnya (law in action) dengan menggunakan pendekatan case study. Upaya ini dibutuhkan agar pembelajar hukum (mahasiswa dan publik) tidak tumpul jika berhadapan dengan kasus yang terjadi di masyarakat.
Selain itu case study sengaja digunakan dalam penelaahan permasalahan hukum untuk melihat secara jernih sebuah kasus tanpa ada bumbu politisasi dan aroma kriminalisasi.
Secara in abstracto, ada dua legal issue yang perlu dianalisis berkaitan dengan peristiwa yang melibatkan Hatta Rahman. Pertama, apakah posisinya dalam kasus dugaan korupsi lampu ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi? Kedua, Bagaimana probabilitas status hukum Hatta Rahman in casu?
Aktor Korupsi
Dalam persidangan, korupsi yang banyak diadili adalah mengenai pengadaan barang jasa yang melibatkan banyak aktor. Aktor-aktor yang terlibat dalam pengadaan barang jasa, diantaranya: Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pihak perusahaan pelaksana proyek.
Karenanya, pusaran pelaku-pelaku korupsi dapat dilacak di sekeliling para aktor tersebut. Dengan penentuan pelaku korupsi, tentu didasarkan pada adanya niat jahat (mens rea) dan adanya perbuatan atau peran masing-masing aktornya (actus reus). Selain para aktor yang disebutkan di atas, dimungkinkan pelaku korupsi datang dari aktor lain yang membujuk (uitlokker), ikut serta (medepleger), ataukah yang membantu terjadinya peristiwa korupsi (medeplichting).
In casu a quo, pengadaan lampu taman dan jalan di Kabupaten Maros adalah program dari Dinas Pertambangan dan Energi sehingga yang menjadi pengguna anggaran adalah kepala dinas. Adapun kuasa pengguna anggaran adalah orang yang ditunjuk oleh PA.
Maka terkait dengan aktor yang terlibat dalam proyek pengadaan ini, Bupati sangat tidak memungkinkan terlibat di dalamnya. Mengapa? Sebab tidak terdapat satupun posisi/jabatan bupati dalam hal pengadaan proyek tersebut.
Tindak pidana korupsi proyek pengadaan lampu ini bisa terjadi jika ada aktor yang menyalahgunakan kewenangannya, memberikan keuntungan bagi dirinya atau pihak lain dan ada kerugian negara. Potensi kejahatan yang biasa terjadi adalah illegal tender, volume pekerjaan tidak sama, pekerjaan kualitas yang rendah atau tidak sinkron dengan dokumen kontrak. Sehingga deteksi dini pelaku korupsi hanya dapat di arahkan kepada aktor-aktor yang secara formil terlibat dalam pengadaan barang jasa tersebut.
Berkaitan dengan perkara a quo, secara formil sulit untuk melibatkan bupati sebagai pelaku jika terjadi tindak pidana korupsi dalam proyek ini. Ratio decendinya adalah kedudukan bupati bukanlah sebagai aktor yang terlibat langsung dalam mengambil kebijakan proses pengadaan barang jasa.
Pemenang tender dan pengawasan terhadap pengerjaan proyek semua dilakukan oleh aktor-aktor pengadaan barang jasa. Sehingga, penyalahgunaan wewenang, hanya dimungkinan bisa dilakukan oleh aktor di proyek tersebut. Dalam hal ini biasanya dilakukan oleh KPA.
Kedudukan Hatta Rahman (secara formil) sebagai bupati tidak punya causalitas terjadinya tindak pidana korupsi. Bahkan jika dilihat dari segi kewenangan, posisi Bupati yang bukan aktor proyek, maka tidak mungkin melakukan feit materil penyalahgunaan wewenang. Juga tidak ada moral hazard karena kebijakan (wewenang) yang dimiliki Bupati dalam proyek pengadaan lampu ini tidak ada yang melekat dalam jabatannya.
Bahwa secara materil bupati, itupun kecil kemungkinannya, dapat dilibatkan sebagai pelaku korupsi jika dalam penentuan pemenang tender tersebut, manakalah Bupati aktif melakukan intervensi terhadap aktor proyek tersebut, sehingga antara aktor dan Bupati terdapat meeting of mind (kesepakatan). Tetapi kalau faktanya tidaklah demikian. maka Bupati dianggap tidak pernah melibatkan diri dalam proyek tender tersebut. kecuali terjadi sebaliknya maka Hatta Rahman dapat dikaitkan dengan menggunakan teori pembantuan atau turut serta ataupun pelaku.
Inweten En Inwilen
Berdasarkan fakta yang nampak dipermukaan, belum ada alat bukti mengenai keterlibatan Bupati sebagai pembujuk dan menerima uang dari proyek tersebut. Apatah lagi menurut pengakuan aktor-aktor yang terlibat, menyatakan Bupati tidak tahu-menahu mengenai proyek pengadaan tersebut. Ini tentunya, kedudukan Bupati yang inweten en inwilen (tidak mengetahui dan tidak menghendaki), sehingga tidaklah berdasar kalau hendak dijadikan tersangka dalam proyek pengadaan lampu hias taman dan jalan di Kabupaten Maros.
Isu menarik yang berkaitan dengan peristiwa sedang menimpa Hatta Rahman, yaitu fitnah mengenai status tersangka. Padahal faktanya Hatta Rahman tidak pernah dipanggil sebagai saksi maupun tersangka oleh pihak kepolisian. Jika pihak Penyidik bekerja dalam “professional conduct” maka tak mungkin seseorang menjadi tersangka tanpa ada klarifikasi dari pihak yang akan di tersangkakan. Penyidik perlu mendengar “pembelaan” dari calon tersangka agar dapat mengkonfrontasi dalil-dalil “alibinya”.
Dalam menyikapi sebuah kasus, haruslah dengan fakta dan analisis hukum cermat agar tidak mengadili orang hanya berdasarkan opini dan persepsi publik (trial by mass opinion). Hukum menjunjung tinggi kehormatan/nama baik seseorang sehingga tercipta asas luhur bernama praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Itulah pentingnya, pemahaman hukum yang benar kepada publik agar istilah, konsep, dan segala prosedural hukum tidak lagi dijadikan sebagai alat provokasi, politisasi, yang bisa menghancurkan reputasi seseorang.*

Oleh;
Dr Amir Ilyas SH MH
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved