Anekdot Minyak Pertamina dan Pemerintah
Secara tidak langsung, kebijakan menaikkan harga BBM yang direncanakan seakan menjadi kebijakan yang tidak dipandang serius oleh kedua belah pihak.
ANEKDOT nyata ini bermula pada saat PT. Pertamina memiliki rencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada hari Jumat (15/5/2015) pukul 00.00 WIB. Dalam Surat Edaran Pertamina, disebutkan bahwa bahan bakar jenis Pertamax akan naik menjadi Rp 9.600 per liter dari yang sebelumnya Rp 8.800 per liter, sementara harga Pertamax Plus naik menjadi Rp 10.550 per liter, Pertamina Dex menjadi Rp 12.200 per liter, dan Biosolar keekonomian menjadi Rp 9.200 per liter, sedangkan harga Premium tetap.
Sebelumnya, tidak banyak yang memperhatikan rencana kenaikan ini karena jenis bahan bakar khusus (BBK) memang rutin mengalami peningkatan harga. Sebagai informasi, pada 1 Mei 2015 lalu Pertamina telah menaikkan harga Pertamax dari Rp. 8.600 per liter menjadi Rp. 8.800 per liter.
Namun, tepat 1,5 jam sebelum waktu kenaikan, atau pukul 22.30 WIB Pertamina yang semula merencanakan kenaikan harga BBK, membatalkan rencana tersebut. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro memberitahukan bahwa tidak kenaikan harga seluruh jenis BBM yang dipasarkan oleh Pertamina.
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan bahwa pembatalan kenaikan harga BBK yang dilakukan sendiri oleh Pertamina adalah karena intervensi dari pemerintah. Sudirman mengatakan bahwa intervensi pemerintah terhadap Pertamina ini dilakukan untuk mencegah terjadinya gejolak di lingkungan masyarakat.
Sudirman menambahkan bahwa pemerintah tidak boleh melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar semata-mata. Kedua pihak tersebut secara bersama mengamini bahwa pembatalan ini dilakukan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat terhadap jenis bahan bakar yang akan mengalami kenaikan. Sekedar informasi, Pertamina dan pemerintah memiliki area tersendiri dalam mengumumkan kenaikan harga BBM. Pertamina untuk BBM nonsubsidi dan BBM subsidi diumumkan oleh pemerintah.
SE Pertamina
Kalangan masyarakat bingung dengan adanya Surat Edaran Pertamina yang salah satu poin memberitahukan soal harga premium dan solar atau biosolar keekonomian yang mengalami perubahan harga. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kalangan masyarakat beranggapan bahwa solar subsidi juga mengalami kenaikan dari harga Rp. 6.900 menjadi Rp. 9.200 per liter. Padahal menurut Pertamina, bahan bakar yang dimaksud bukanlah solar bersubsidi, melainkan biosolar.
Kepala Pusat Komunikasi Kementrian ESDM Dadan Kusdiana memiliki pendapat yang berbeda. Dadan menegaskan bahwa pemerintah tidak mengintervensi pembatalan kenaikan harga BBK oleh Pertamina. Menurut Dadan, pemerintah hanya bertugas menjaga harga BBM sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. Dari sinilah, kejanggalan itu muncul ke permukaan.
Secara terang benderang, ada perbedaan prinsip secara mendasar yang dialami oleh Pertamina dengan pemerintah. Sebagai sebuah perusahaan BUMN besar yang menangani persoalan minyak mulai dari hulu hingga hilir di Indonesia, Pertamina seharusnya dapat bersinergi dengan baik terhadap pemerintah. Komunikasi intens antara Pertamina dengan pemerintah sangat diperlukan dalam menjalankan persoalan di bidang perminyakan seperti salah satunya menentukan harga BBM. Pun demikian dengan pemerintah yang selayaknya sigap menghadapi persoalan seperti itu.
Sebelum Pertamina mengeluarkan Surat Edaran tentang rencana kenaikan harga BBM, pemerintah wajib terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap kebijakan Pertamina tersebut sebelum diumumkan kepada publik. Jika skema seperti ini tidak dilakukan oleh Pertamina dan pemerintah, maka peristiwa pembatalan kenaikan harga BBM yang terjadi kali ini akan secara rutin terjadi di kemudian hari.
Main-main
Secara tidak langsung, kebijakan menaikkan harga BBM yang telah direncanakan seakan menjadi kebijakan yang tidak dipandang serius oleh kedua belah pihak. Baik Pertamina maupun pemerintah terkesan bermain-main dalam membuat suatu kebijakan strategis yang mempunyai dampat sangat besar terhadap kehidupan masyarakat luas.
Pemerintah wajib untuk menjaga segala aspek yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat, seperti halnya kenaikan harga BBM yang imbasnya akan berdampak langsung terhadap kenaikan bahan-bahan pokok.
Namun, pemerintah sering melupakan satu hal bahwa kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga barang-barang pokok dan kebutuhan hidup lainnya, adalah tidak mengimbangi kenaikan harga-harga tersebut dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Terpaksa, rakyat pun harus mempertahankan hidupnya dengan kondisi yang terjepit.
Untuk mengatasi hal demikian, Presiden Joko Widodo harus mengkondisikan segala sesuatunya dipersiapkan secara baik dan lebih matang dikemudian hari. Presiden harus bisa menata ulang dan memperbaiki sistem administrasi pemerintahannya. Buruknya sinergitas antara Pertamina dengan pemerintah menjadi tanda kebobrokan komunikasi antara keduanya. Jika hal ini terus dibiarkan dalam jangka waktu yang cukup lama, stabilitas kehidupan masyarakat Indonesia dipastikan akan terganggu.
Tidak hanya dengan Pertamina, pemerintah harus menginstropeksikan dirinya dalam menjalin hubungan dengan perusahaan-perusahaan BUMN lainnya. Miscommunication yang terjadi antara pemerintah dan Pertamina ini menjadi contoh yang tidak baik untuk dipertontonkan dihadapan seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin meragukan kapabilitas pemerintahan Jokowi jika sang Presiden tidak dapat menuntaskan permasalahan yang membelit internal pemerintahannya sendiri.
Oleh;
Rizky Putra Zulkarnain SH MS
Advokat