Geng Motor, Kenakalan Remaja atau Kejahatan?
Melihat pada kasus-kasus yang dilakukan “geng” motor maka sudah dapat dikategorikan kejahatan, sebagaimana termuat dalam KUHP.
Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini muncul setelah penulis membaca pernyataan Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol. Fery Abraham, bahwa geng motor masih sebatas kenakalan remaja (Tribun Timur, 14/9/2014). Padahal, tindakan mereka sudah taraf mencemaskan dan menebar teror. Kelompok bersepeda motor ini bukan hanya menyerang warung internet dan warung kopi, tapi juga merusak mobil, menyerang pos Satpam, merampok mini market, hingga merusak rumah ibadah. Mereka tak segan-segan melukai sasarannya, hingga membunuh korban dengan cara keji. Dalam bulan Agustus 2014 saja, ada 7 kasus geng motor dan di bulan September ini sudah 2 orang tewas dibunuh. Ada kesan, polisi gagap menerjemahkan tugasnya dalam menangani apa yang disebut sebagai “geng” motor itu, jika tidak mau dikatakan gagal memberi rasa aman terhadap warga.
Perjelas Definisi
Dari berbagai pemberitaan, sebenarnya sudah diidentifikasi ciri-ciri geng motor tersebut. Pengidentifikasian ini penting sebagai bagian dari pemetaan masalah agar bisa ditempuh langkah-langkah dan tindakan yang tepat agar tidak dituding melanggar hak asasi manusia. Karena itulah, terkait judul tulisan ini, polisi perlu mendudukkan secara proporsional masalah ini dengan membuat batasan yang jelas tentang: Siapa geng motor itu? Apakah mereka masih tergolong remaja? Apakah tindakan mereka hanya sebatas kenakalan atau sudah pada level kejahatan? Jika pertanyaan-pertanyaan kritis itu bisa kita urai dan menemukan jawabannya, niscaya kita bisa membuat strategi penanganan dan menemukan solusinya.
Pertama, tentu kita perlu membedakan mana komunitas motor dan mana geng motor. Sebuah komunitas berkumpul berdasarkan minat dan kepentingan yang sama dengan semangat berbagi dan saling dukung untuk tujuan yang bermanfaat (positif). Sedangkan “geng” lebih cenderung memiliki asosiasi pada kegiatan sekelompok orang yang kerap bertindak destruktif (negatif). Tapi, tepatkah mereka dilabeli “geng”? Jangan-jangan dengan label itu justru memberi pengakuan akan eksistensinnya.
Kedua, perlu diperjelas adalah soal penyebutan “remaja”. Sarlito Wirawan Sarwono (2002) menjelaskan, konsep tentang “remaja” bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan dari bidang ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan paedagogi. Dalam berbagai perundang-undangan di dunia, termasuk Indonesia, tidak mengenal istilah “remaja”. Meski WHO menetapkan batas usia remaja antara 10-20 tahun (Soerjono Soekanto, 2009). Hukum Indonesia hanya mengenal batas usia anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan juga bermacam-macam. Menurut UU Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, bahkan masih dalam kandungan.
Ketiga, definisi lain yang perlu diperjelas, yakni apakah tindakan merusak fasilitas publik, menyerang dan menghilangkan nyawa orang masih bisa dianggap kenakalan atau sudah pantas disebut kejahatan? Dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud anak nakal bukan saja yang melakukan tindak pidana tapi juga anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangan-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Namun, UU ini sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sementara secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana (Kartini Kartono, 2013). Melihat pada kasus-kasus yang dilakukan “geng” motor maka sudah dapat dikategorikan kejahatan, sebagaimana termuat dalam KUHP. Misalnya, pembunuhan memenuhi Pasal 338, mencuri melanggar Pasal 362 dan penganiayaan diatur dalam Pasal 351.
Keadilan Restoratif
Dari analisis sederhana ini, direkomendasikan bahwa mestinya polisi tidak ragu lagi untuk menggunakan pendekatan represif terhadap anggota “geng” motor yang tidak lagi berusia anak yang tindakannya sudah masuk kategori kejahatan. Sebaliknya, terhadap yang masih kategori anak perlu pendekatan khusus, mengingat UU Sistem Peradilan Anak mengatur bila anak yang belum berumur 12 tahun melakukan tindak pidana, maka polisi sebagai penyidik perlu mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali anak itu kepada orangtua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan dan pembinaan. Bila pelaku berusia 12-18 tahun dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut, termasuk penahanan, dengan catatan dilakukan sebagai upaya hukum terakhir dan dalam rangka kepentingan terbaik anak.
Dalam sistem peradilan anak ditegaskan wajib mengutamakan pendekatan restoratif dalam menangani perkara anak. Hadi Supeno (2010) mengatakan, dalam model keadilan restoratif, hukuman terhadap anak sebagai pelaku delinkuensi tetap ada, tapi hukuman itu diletakkan sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan balas dendam dan pemidanaan. Hukuman itu bukan untuk melemahkan masa depan anak tapi secara moral mesti mendewasakan anak sebagai pribadi yang utuh. Karena itulah, sistem peradilan anak mewajibkan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum diupayakan melalui diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan. Tujuannya, untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat berpartisipasi, dan menanamkan tanggung jawab kepada anak.
Pendekatan diversi dimungkinkan dilakukan terhadap aksi “geng” motor berupa tindakan merampas tas, kamera, HP, dan uang, atau tindakan penganiayaan ringan serta membawa senjata tajam. Polisi dalam pendekatan diversi bertindak sebagai mediator. Penting diperhatikan, ketika menggunakan pendekatan diversi, harus mempertimbangkan kategori tindak pidana yang dilakukan, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas serta dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.(*)
Oleh;
Rusdin Tompo
Direktur Lembaga Informasi dan Advokasi Anak