Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Laporan On the spot

Kota Tua Hoian yang Benar-benar Tua

SEMALAM 'bermukim' di Kota Hoian, Vietnam, rasanya tak cukup. Kota yang tenang, jauh dari hingar-bingar kebisingan kendaraan

Penulis: Aqsa Riyandi Pananrang | Editor: Muh. Taufik
zoom-inlihat foto Kota Tua Hoian yang Benar-benar Tua
Tribun/Ina Maharani
Pasir bewarna merah ini bisa ditemui di Mui Ne, Vietnam

SEMALAM 'bermukim' di Kota Hoian, Vietnam, rasanya tak cukup. Kota yang tenang, jauh dari hingar-bingar kebisingan kendaraan, dan tentunya kota yang khas dengan keotentikan masa lalu.

Berada di kota yang menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara ini serasa kembali ke masa 16 abad silam dengan pesona khas Pecinan.

Beruntung kami bisa 'bermukim' semalam tepat berada di kota tua itu. Vinh Hung Riverside Resort berada di tengah pusat peradaban masa lalu di Hoi An.

Hotel yang berada tepat di tepi Sungai Hoi An inipun hadir dengan interior khas Vietnam yang selintas mirip dengan bangunan khas Pecinan seperti yang ada di Makassar.

Selama beberapa tahun terakhir, Hoi An menjadi salah satu tujuan wisata populer di Vietnam, terutama wilayah bagian tengah. Budaya masa itulah yang menjadi magnet turis mancanegara berdatangan ke kota terletak 30 km di selatan kota Danang ini.

Tur
Setelah 'mengamankan' barang di hotel, rombongan tak berlama-lama memulai tur di Kota Hoi An. Tidak dengan kendaraan tapi dengan berjalan kaki.

Keotentikan Hoi An pun terlihat nyata. Berjalan di antara bangunan tua milik masyarakat yang justru tetap mempertahankan keaslian bangunannya.

Tak ada bangunan di atas tiga lantai di kawasan kota tua Hoian. Paling banter dua lantai. Itupun tetap peninggalan zaman dulu.

Masyarakat cukup banyak memanfaatkan kediamannya untuk menjual suvenir, membuka restoran, utamanya gerai pakaian.
Tapi bukan barang bermerek. Produk busana hasil karya orang Vietnam seperti kain sutra yang menjadi andalan kerajinan warga atapun busana modern seperti jas hasil jahitan warga di kawasan ini.

Jangan membayangkan menemukan minimarket, pusat perbelanjaan modern, ataupun mal. Semuanya model tradisional.

Begitupun jalan raya. Bukan diaspal tapi dibeton. Bukan pula jalan beton yang umumnya di Kota Makassar. Bagi kendaraan roda empat jalanan cukup sempit.

Ada pedestrian di sepanjang jalan. Kebanyakan turis berjalan kaki atau menyewa sepeda. Sepanjang menyusuri jalan, kendaraan roda empat yang lalu lalang menjadi barang langka bahkan nyaris tak ada sama sekali.

Kendaraan roda dua yang melintaspun bisa dihitung jari. Nyaman rasanya berjalan kaki meski matahari naik di atas kepala. Kamipun melintasi jembatan An Hoi di kawasan Jl Duong Lu Loi.

Jembatan melintas masih di aliran Sungai
Vinh Hung. Nah, jembatan ini sekaligus menjadi 'pembatas' kota tua dan kota. Melewati jembatan ini barulah banyak kendaraan melintas. Itupun motor yang kebanyakan produk buatan China.

Setelah berjalan menyusuri kota tua, rombongan mampir untuk makan siang di Restaurant and Bar Ngoc Tuyet, Jl Tran Hung Dao, Hoian.

Tepat berada di jalan raya beraspal. Lalu lintas kendaraan mulai ramai meski masih bisa tetap dihitung jari. Restoran ini menyajikan beragam menu mulai makanan khas Vietnam seperti Lau Co (mi), menu Asia, hingga menu barat.

Selesai bersantap, saya bersama rombongan bergegas ke bus yang terparkir di depan museum kota. Sasaran selanjutnya menuju ke kawasan situs bersejarah My Son di wilayah Huyen Du Xuyen. Lokasinya lumayan jauh. Dengan menumpang bus sekitar sejam empat puluh menit.

Selain itu, melintasi kawasan persawahan hingga pusat kota yang mulai ramai kendaraan. Kawasan My Son yang tercatat sebagai salah satu warisan dunia UNESCO ini berada di wilayah pegunungan Hoi An.

Melewati gerbang situs dan jembatan  penumpang harus turun dari bus. Berjalan sekitar 200 meter, ada tiga peninggalan jip perang yang bisa menjadi objek foto.

Selanjutnya kembali naik bus. Jalanan sempit. Maksimal untuk dua kendaraan. Jalanan tersebut khas dengan ornamen batu alam. Sampai di persinggahan pertama kembali turun. Di sebuah gazebo,  peserta tur mendapatkan penjelasan mengenai peninggalan kebudayaan Champa itu.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Hujan gerimis tak menghalangi. Kami dibekali mantel plastik. Kali ini jalanan sudah tidak beraspal.

Cukup 15 menit untuk tiba di kawasan situs yang tersisa. Tiga kompleks lainnya sudah hancur dibom Amerika Serikat (AS) saat masa perang di Vietnam.

Situs berupa candi peninggalan beberapa generasi Champa tersebut kondisinya masih cukup kokoh. Menurut pemandu kami, kondisinya tersisa 90 persen.

Ada sekitar 16 stupa yang masih berdiri. Ada yang sebagian kondisinya sisa 60 persen. Di salah satu candi ada arca Dewa Siwa yang menandakan candi tersebut peninggalan Hindu. Arca sudah tak utuh lagi.

Bagian kepala dan tangan yang memegang pedang sudah hancur. Candi diapit sungai dan gunung yang menurut pemandu bentuknya mirip dengan burung Garuda.

Setelah bertandang ke situs bersejarah, kami melanjutkan perjalanan ke Silk Village yang menjadi persinggahan terakhir sebelum kembali ke hotel. Meski nama Silk bukan berarti perkampungan ini milik maskapai penerbangan Silk Air yang memboyong kami tur ke Vietnam.

Perkampungan ini merupakan lokasi pembuatan sutera khas Vietnam. Namun, jangan sangka kawasan ini laiknya pedesaan. Lokasi ini telah disulap menjadi kawasan wisata.

Bangunan telah ditata begitupun arsitektur bangunannya yang mendapat sentuhan modern tanpa meninggalkan kekhasan bangunan tradisional Vietnam.

Lampion menerangi selasar perkampungan yang sekaligus menjadi restoran outdoor maupun indoor. Dengan penataan taman minimalis modern. Kami melihat proses pembuatan sutra mulai dari penangkaran ulat, pemintalan benang, pembuatan kain, hingga produk jadi berupa syal, busana, tas,   serta beragam suvenir.

Kamipun bersantap di taman terbuka yang berlokasi di sebuah bangunan sekaligus teater tempat pertunjukan. Di sepanjang selasar tersaji makanan khas tradisional Vietnam.

Kami bersantap sambil menikmati pertunjukan tari tradisional seperti Apsal yang merupakan peninggalan kebudayaan Champa. Setelah bersantap, kami kembali ke hotel. Kami turun sebelum jembatan An Hoi. Bus tak bisa masuk ke hotel, karena jalanan sudah menjadi lokasi pasar malam.

Pedagang di sepanjang jalan menyediakan beragam suvenir seperti lampion, tas, gantungan kunci, gelang, dan ragam lainnya. Semuanya berjejer rapi dan membelah jalanan menjadi dua sisi.

Kondisinya sama sekali jauh dari semrawut bahkan menjadi salah satu pilihan berwisata bagi turis yang ingin berbelanja suvenir sebagai oleh-oleh ke negaranya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved