Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sumpah Pemuda

Pemuda dan Masa Depan Indonesia

Sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan keterlibatan pemuda dalam memperjuangkan ‘kemerdekaan’ tidak bisa dipungkiri memiliki andil yang besar

Editor: Aldy

Euforia perayaan hari Sumpah Pemuda yang telah berusia 85 tahun, mengingatkan kita pada sekelompok pemuda di tahun 1928 yang mendeklarasikan diri mengaku, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
    Pernyataan sekelompok pemuda waktu itu tidak lepas dari kondisi kebangsaan saat itu yang memperjuangkan kemerdekaan. Momentum 27-28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) lahir atas dasar persatuan berbagai kalangan pemuda dari berbagai daerah. Diantaranya perwakilan pemuda dari, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batak, Jong Islam, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Betawi dan PPPI.
    Spirit pemuda saat itu adalah semangat kemerdekaan dan persatuan. Tak lain untuk menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat. Spirit itu beberapa tahun kemudian beberapa tahun kemudian mulai hilang dengan kondisi zaman yang terus berubah.
Tantangan Pemuda
    Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas 2011-2012, sebagian besar pemuda mengakui tonggak perjuangan dan kebangkitan bangsa di motori oleh pemuda. Namun, hanya 9,4 persen pemuda yang menyebutkan dengan benar isi sumpah pemuda. Selain itu, ada sekitar 60 persen lebih pemuda lebih menfokuskan pencapaian pribadi ketimbang terlibat aktif dalam persoalan sosial di masyarakat (Kompas, 28/10/2013).
    Kondisi ini tidak lepas dari sikap pemuda saat ini yang lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya pragmatis. Memilih jalan yang lebih menguntungkan secara pribadi. Tuntunan zaman yang mengharuskan pemuda untuk mengisi prerjuangan dengan memenuhi kebutuhan hidup adalah kondisi yang mendera pemuda saat ini, baik pemuda yang berada pada lingkungan pendidikan maupun di luar pendidikan formal.
    Pemuda yang berasal dari kampus sedikit banyak telah berbuat untuk kemajuan bangsa. Sebut saja penggulingan Soekarno pada era 1960-an sedikit banyak melibatkan kaum muda. Begitupun penggulingan rezim orde baru di tahun 1998 yang dimotori oleh mahasiswa yang juga merupakan bagian dari kaum muda.
    Spirit perjuangan pemuda antara tahun 1960-2000 kini mulai tergerus. Kelompok intelektual dari kalangan pemuda yang menghuni perguruan tinggi lebih disibukkan dengan persoalan yang sifatnya pengembangan diri atau soft skill. Sangat jarang menemukan mahasiswa terlibat dalam persoalan sosial di masyarakat. Jika ada mungkin tidak cukup 1 persen saja.
    Belum lagi, dukungan terhadap mahasiswa yang lebih menfokuskan diri pada  pengembangan diri mendapat dukungan yang serius oleh pemerintah melalui berbagai tawaran beasiswa. Dana bantuan usaha bagi mahasiswa yang nilainya tidak sedikit adalah salah satunya. Sementara itu, aktivitas kelembagaan mahasiswa anggarannya setiap tahun terus menurun.
    Pemuda terpelajar seakan diarahkan pada orientasi menjadi pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan semata tanpa mengingat tugas dan perannya di masa lalu yang telah dirintis oleh Soekarno, Hatta, Syahrir dan puluhan bahkan ratusan pemuda yang rela berkorban demi kemerdekaan Indonesia.

Kepemimpinan Muda
    Tidaklah terburu-buru mengatakan kepemimpinan bangsa saat ini mesti di dominasi oleh kaum muda. Mengigat berbagai fakta sejarah yang dirintis oleh pemuda. Bung Karno di usia 25 tahun telah melahirkan pikiran-pikiran visioner untuk menyelaraskan pemikiran “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam bentuk ideologi negara pada saat itu yang disebut sebagai NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
    Pada usia yang sama dengan Soekarno, Muhammad Yamin juga telah menyodorkan gagasan-gagasan “Persatuan dan Kebangkitan Indonesia” dalam KBPI II yang melihat kemustahilan negeri seluas Indonesia yang memiliki satu bahasa. Olehnya itu, Muhammad Yamin menyerukan persatuan kebangsaan bukanlah berbahasa satu, melainkan “menjunjung bahasa persatuan”, bahasa Indonesia.
    Bung Hatta juga pada usia 26 tahun telah memikirkan dasar-dasar negara. Belajar dari sejarah pemimpin Indonesai, bukan tidak mungkin kalangan pemuda saat ini mesti memikirkan secara serius berbagai persoalan-perasolaan yang mendera bangsa, tidak hanya menjadi bagian dari persoalan.

Politik Pemuda
    Sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan keterlibatan pemuda dalam memperjuangkan ‘kemerdekaan’ tidak bisa dipungkiri memiliki andil yang besar. Masuk dalam pemerintahan juga menjadi fakta sejarah bahwa tak sedikit dari kalangan pemuda yang mengisi tampuk kekuasaan. Walaupun disadari bahwa sebagian juga memilih “di luar” mengontrol pemerintahan bersama rakyat.
    Kedua pilihan ini tentunya sama-sama memiliki andil bagi kemjuan bangsa, meskipun lebih banyak pemuda di dalam pemerintahan tak mampu berbuat apa-apa. Berhadapan dengan sistem politik yang telah ada.
    Pada tahun 1999-2009, komposisi kursi anggota DPR memperlihatkan jumlah politisi muda (usia 25-50 tahun) terus meningkat. Periode 2009-2014 jumlah politisi muda mencapai 66 persen. Angka ini melonjak dibandingkan dua periode sebelumnya yakni 49 persen (2004-2009) dan 38,8 persen (1999-2004).
    Berdasarkan komposisi kelompok pemuda yang masuk di parlemen dari 1999-2009 mengindikasikan keterlibatan pemuda dalam pemerintahan cukup besar. Tapi tak banyak memberikan perbaikan.
    Dominasi pemuda di parlemen tidak menjamin perbaikan bangsa ke depan. Tantangan kaum muda dalam mengisi panggung politik tanah air tidak bisa dilihat dari seberapa banyak pemuda yang masuk dalam ‘lingkaran kekuasaan’, tapi seberapa besar kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat dalam bentuk tindakan praktis. Di tengah maraknya korupsi, kemiskinan, dan pengangguran yang mendesak untuk diselesaikan, pemuda dituntut memilki kontribusi.
    Pemuda dan perubahan Indonesia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan ketika melihat sejarah perjalanan bangsa. Tidak terkecuali pada momentum bersejarah pada 28 Oktober 1928 yang diprakarsai oleh pemuda, yang melahirkan Sumpah Pemuda.
    Kini, pada era globalisasi pemuda memiliki tantangan yang lebih berat lagi yakni terlibat langsung menyelesaikan persolaan korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi. Pilihannya ada pada pemuda, ingin menjadi bagian dari sejarah, seperti yang ditorehkan oleh generasi sebelumnya, atau hanya menjadi ‘penonton’ dari sejarah itu sendiri. (*)

Oleh:
Asri Abdullah
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Unhas/Peneliti Lembaga Riset IDEC)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved