Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Masih Menunggu Godot

Ayo jangan hanya asyik menonton dan berdiskusi tentang drama perdebatan ala Masih Menunggu Godot

Editor: Aldy

KEGELISAHAAN, penantian, harapan, kesia-siaan, putus-asa, penguasaan, pengingkaran, kebohongan, ketegangan, tipu=tipu, tarik-ulur peran adalah siklus yang terus berputar entah hingga kapan. Adalah wacana dan suasana menarik dan kaya imajinasi dalam drama Waiting for Godot alias Masih menunggu Godot, naskah klasik karya Samuel Beckett yang maha terkenal.

Atmosfir demikian itu, juga sangat terasa, ketika suatu malam saya berkunjung ke Gedung Kesenian Societeit de Harmoni ( GKSdH ), setelah bertahun-tahun meninggalkan Makassar. Saat bertemu beberapa teman dan sejenak berbincang-bincang; naluri saya menangkap ada semacam kelesuan yang merayap dalam semangat perlawanan, ada gelisah yang diam-diam mengendap, gerak lambat menanti saat mencuatkan ekspresi kepermukaan.

Hati kecil saya berharap, mudah-mudahan ekspresi itu nantinya adalah ekspresi pentas kesenian semata. Saya percayai itu. Karena seperti yang saya kenal dulu, seniman-seniman di GKSdH adalah mereka yang berkarakter tangguh, matang, bijak, berdaya hidup, terus bergerak, bekerja, mengkonstruksi dan tetap mampu melahirkan karya seni dalam suasana dan kondisi apapun. Layaknya kaum revolusioner progresif, gigih mendorong ide-ide pembaharuan, empati dari yang ideal hingga ekstrim demi perubahan ke yang lebih baik.

Dulu, GKSdH-Gedung peninggalan kolonial di jalan Karaeng Ribura’ne itu, pernah dikenal sebagai “magnet” utama kreativitas, inovasi, difusi dengan wujud kejutan-kejutan pentas kesenian kerena fasilitasnya memadai, juga lingkungan yang kondusif. Sarana ini pernah menjadi pentas yang paling memadai untuk menunjukkan capaian maksimal mutu kesenian di Sulawesi Selatan.  Juga jadi pusat liputan kegiatan kesenian-kebudayaan. Tapi, saat ini GKSdH seperti surut denyut peranannya. Inikah dampak renovasi gedung yang tak kunjung selesai sejak dimulai beberapa tahun lalu? Pembangunan yang terbengkalai membuat para aktor kehilangan arena?

Galau ini mengingatkan kembali akan resep utama Samuel Beckett dalam menguatkan konflik pada ceritera Masih Menunggu Godot; Membiarkan panggung acapkali sepi. Diam. Para aktor pelaku dibiarkan gundah di atas panggung. Sesekali merenungkan berbagai peristiwa untuk mencari kebenaran atau pembenaran dengan logika yang waras. Perdebatan-perdebatan yang bersahaja hingga cerdas. Suasana kadang juga dirancang mencekam, kuat - tegang, dramatis dalam suspense. Isi dan suasananya memang dengan sengaja dibuat mencekam atau cair dan bening, untuk mengetahui rahasia dikedalaman peran. Inikah teknik yang juga dipinjam si aktor pemangku kebijakan.

Agaknya kegelisahan para aktor di Gedung kesenian bersama pemerhatinya, serta penyikapannya pada suasana yang mencekam, sementara ini dapat dibandingkan dengan para pelakon Masih Menunggu Godot  itu. Sahabat-sahabat yang sama menunggu. Menunggu ada sesuatu yang datang, meski yang ditunggu entah apa? Yang ditunggu itu tak ada kepastian kapan akan muncul.  Maka ketika para aktor yang menunggu tercekam gelisah, berjalan hilir-mudik dalam komposisi, berbicara soliluque dengan diri sendiri, lalu sesekali dengan orang yang ditemuinya maka kegelisahan semacam itu menimbulkan ketegangan berkepanjangan. Sahabat bisa jadi seteru, seteru bisa jadi sahabat. Jika dalam cekam ketegangan semacam itu tidak ada yang jelas dikerjakan, hanya membiarkan pikiran bersimpang-siur, menunggu dan menunggu maka kejadian selanjutnya adalah: lakon ketidakberdayaan, kegetiran hidup, keterasingan dari lingkungan sosial, lalu putus asa menatap kehidupan. Merencanakan bunuh diri, apakah solusi ? Sama seperti pilihan Estragon dalam lakon Masih Menunggu Godot yang berharap menemukan ekstasi.

Namun jangan abai, sebab Samuel Beckett dalam lakon Menunggu Godot  juga menorehkan pentingnya secercah harapan. Ibarat cahaya pemandu ketika menelusuri ruang gua yang gelap berliku-liku, menjanjikan bahwa di ujung gua sana tetaplah akan ada seberkas sinar. Matahari harapan. Sama seperti gugatan Arifin C Noor pada dramanya Dalam Bayangan Tuhan, siapapun dia, harus percaya pada harapan, termasuk Sandek sang pekerja yang termarginalkan. Bersama anak istrinya Sandek nyaris putus asa berhadapan dengan kekuasaan. Lewat mulut Sandek, Arifin berkata; Harapan, Ingat, Sekali lagi Harapan!

Dalam hidup dan kehidupan kita yang betapapun seringkali penuh kegetiran, tapi tetaplah terus memelihara harapan - sekecil apapun atau mungkin pula absurd – harapan jangan dibiarkan padam. Seperti halnya harapan Estragon dan Vladimir saat menunggu Godot. Keduanya tetap menunggu Godot. Godot, sesuatu yang tidak pernah jelas kedatangannya sampai akhir cerita. Apakah Godot yang ditunggu itu Tuhan, manusia, dewa penyelamat, uang, makanan, kesenangan, atau binatang. Namun pesan tersirat dalam lakon Masih Menunggu Godot  jelas: Kalau tidak mau bunuh diri maka peliharalah: Harapan.

Apakah kita juga sedang menunggu Godot? Berharap pada Gubernur baru; Walikota baru, anggota DPR baru; atau Presiden baru. Ia yang datang membawa harapan baru. Konsep visi dan misi kesenian-kebudayaan dengan jelas disertai komitmen kuat untuk mewujudkannya. IA yang datang membawa Solusi.

Jangan-jangan bukan Godot pula yang kemudian datang, melainkan Pozzo sang tuan tanah yang kejam dan lucky budaknya yang kuat laksana badak- karakter yang kehadirannya saling melengkapi. Sosok penguasa yang tidak peduli dan abdinya.  Abdi yang membabi buta memuja tuannya. Dua karakter yang kontras, berbeda tapi saling membutuhkan. Kemudian datang lagi  seorang bocah polos bersahaja yang mengaku utusan Godot, ia atas nama Godot mengatakan bahwa Godot tidak bisa datang sekarang melainkan besok.

Ayo jangan hanya asyik menonton dan berdiskusi tentang drama perdebatan ala Masih Menunggu Godot. Sebagai pengembangan wacana bolehlah, sesekali berdiskusi lagi tapi jika tidak juga melaksanakan apa yang layak dan apa yang bisa. Lalu apa ? Dunia macam apa yang kita akan wariskan pada anak-anak pada masa mendatang. Dunia kesenian tanpa harapan?
Kampong Pisang, 20613

Oleh:

Yudhistira Sukatanya

Pendiri Sanggar Merah Putih Makassar

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved