Bakal Calon Walikota Dan Kearifan Individual
Entah sudah pernah ada yang menghitung ataukah belum, berapa jumlah baliho politik bergambar figur tersohor
Tentu saja, fenomena tersebut adalah bentuk kebebasan dalam berekspresi dan berpartisipasi secara politik. Dan ini harus kita dukung. Di negara yang mengusung demokrasi sebagai sistem kehidupan bernegara, setiap individu memiliki ruang dan kesempatan yang setara untuk saling berkompetisi. Pembatasan kesempatan untuk berpartisipasi secara politik terhadap seseorang, merupakan bentuk pengingkaran terhadap hakikat demokrasi itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Juan J. Linz dalam tulisannya, “Totalitarian and Authoritarian Regimes (2000)”, bahwa pemerintahan yang demokratis meniscayakan adanya pilihan politik yang bebas serta kompetisi terbuka secara wajar.
Kearifan Individual
Iklim kebebasan dalam berekspresi maupun berpartisipasi politik pada sistem demokrasi adalah keniscayaan. Itu tak bisa terbantahkan. Namun, yang menjadi persoalan adalah: apakah ruang lebar kebebasan berpartisipasi secara politik tersebut, pada saat yang sama, menafikan integritas dan menegasikan kualitas? Tentu saja tidak, bukan? Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana negeri ini akan dikelola dengan baik jika atas nama kebebasan berpolitik, integritas dan kualitas seseorang diabaikan. Untuk itu, selain dibatasi oleh regulasi yang mengatur tentang kualifikasi tertentu yang harus dimiliki oleh calon pemimpin, juga amat penting menumbuhkan kearifan individual dalam diri para bakal calon pemimpin tersebut.
Kearifan individual adalah sarana diri untuk berdialog dengan diri kita sendiri secara jernih dan penuh kejujuran. Kearifan individual berisi rasa mawas diri yang terintegrasi, baik secara pribadi, sosial, maupun transendental. Dengan kearifan individual ini diharapkan terbentuk sikap introspektif yang tinggi akan entitas kediriannya: siapakah kita; kualifikasi apa yang kita miliki; seberapa besar integritas diri kita; di mana maqom kita di depan Tuhan; dan akhirnya mengkristal kepada kemampuan mengukur diri sendiri: “Layakkah diri kita menjadi pemimpin?”
Kearifan individual juga ikut menjaga kewarasan hati nurani yang tercermin ke dalam ucapan, perbuatan, dan janji-janji politik. Kehancuran bangsa yang nyaris di depan mata ini, hanya bisa diatasi dengan kewarasan hati nurani para pemimpinnya, baik yang di pusat maupun di daerah. Jargon-jargon dan janji-janji kampanye politik yang begitu merdu didendangkan ke telinga publik, tidak serta-merta menghilangkan rasa lapar dan dahaga rakyat kecil!
Kearifan individual akan melahirkan sikap logis dan realistis, sehingga dari lisannya tidak perlu mengucur janji-janji bombastis yang sulit direalisasikan. Karena sejatinya seorang pemimpin adalah sosok penuh keteladanan yang mengerti dengan pasti apa yang diinginkan rakyatnya. Dari titik inilah akan muncul visi dan misi yang jelas dan realistis dari seorang calon pemimpin. Tanpa visi dan misi yang jelas, calon pemimpin itu justru akan menjadi bagian dari masalah bangsa yang kini makin kusut. Apalagi jika niat atau langkah awal pencalonannya sekadar dalam rangka peningkatan status sosial-ekonomi. Serta hanya berfikir dalam batas kelompok dan kerabat dekatnya saja.
Kritis dan Rasional
Dewasa ini, pesimisme publik terhadap implementasi kebijakan publik dan kinerja para pengelola negara (baik pusat maupun daerah), semakin menggelembung. Pesimisme dan ketidakpercayaan publik ini seyogyanya tidak membuat masyarakat apatis hingga mengucilkan diri dari jagat perpolitikan. Masyarakat tetap diharapkan berpartisipasi aktif dalam proses seleksi para bakal calon pemimpin, hingga ke puncak proses demokrasi nanti, yakni pemilukada.
Semakin masyarakat bersikap apatis dan tidak menggunakan hak politiknya, maka semakin besar kemungkinan akan munculnya rezim yang tidak amanah.
Memang, di tengah kegalauan dan kegamangan sistem nilai yang menyelimuti
masyarakat di negeri ini, tidak mudah untuk menentukan sosok pemimpin yang baik, apalagi pemimpin yang ideal. Bahkan, kondisi mendung tebal yang menggelayuti dunia politik dan hukum dewasa ini, membuat kita agak kesulitan membedakan mana juru selamat dan mana pengkhianat. Mana calon pemimpin yang alim, dan mana yang lalim bin dzalim. Mana calon pemimpin yang loyal, dan mana yang royal. Sejarah terus berulang, di mana rakyat hanya dicekoki janji-janji kampanye yang nihil realisasi. Tak heran jika sikap distrust yang besar akan menumbuhkan apatisme publik: “toh siapapun walikotanya, tetap saja saya miskin!” Kenyataan ini tentu merugikan proses perjalanan menuju kematangan demokrasi kita.
Meskipun pesimisme publik kian hari kian meningkat, marilah kita tetap memelihara harapan untuk tidak berputus asa demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih matang.
Sepelik dan serumit apapun persoalan bangsa ini, wajib hukumnya bagi kita untuk senantiasa menyuarakan kebenaran dan keadilan. Karena rakyat sendirilah yang paling berhak dan berkuasa untuk mengawal negeri ini agar terhindar dari ulah oknum-oknum politisi, birokrat, dan penegak hukum yang tidak amanah. Untuk itu, dalam memilih pemimpin kita harus membekali diri dengan langkah-langkah kritis dan rasional guna menentukan kriteria pemimpin yang (paling tidak) mendekati ideal. Paling tidak ada empat kriteria yang harus diperhatikan oleh masyarakat dalam memilih pemimpin. Pertama, keimanan. Ada pepatah kaum bijak yang menegaskan bahwa betapapun cerdas dan hebatnya seseorang, tanpa dilandasi keimanan yang kokoh, lambat laun ia akan menjelma sebagai manusia berjiwa iblis (clever devil). Berlaku pula sebaliknya, iman tanpa kecerdasan dan wawasan bagaikan orang yang buta penglihatannya.
Kedua, wawasan kebangsaan. Pemimpin wajib mengenali dan mendalami karakteristik kebangsaan secara nasional dan regional dalam wilayah yang dia pimpin. Wawasan kebangsaan mencakup segi-segi kehidupan yang amat luas, termasuk di dalamnya antara lain: sosial, budaya, potensi daerah, karakteristik etnis, demografi, dan sebagainya. Dengan wawasan kebangsaan, pemimpin akan mampu memetakan strategi kebijakan secara holistik dan selaras dengan kebutuhan daerahnya. Ketiga, rekam jejak calon pemimpin (track record). Tidak mungkin rasanya kita memilih pemimpin seperti membeli kucing dalam karung. Maka masyarakat wajib berlaku cerdas dan waspada dalam “membaca” rekam jejak calon pemimpin, dengan memperbanyak referensi informasi dari berbagai sumber yang punya kredibilitas. Keempat, adalah faktor yang menjadi pelengkap dari tiga kriteria sebelumnya, yakni: kontrak politik.
Dalam kontrak politik wajib mensyaratkan setiap calon pemimpin untuk merealisasikan janji-janji politiknya secara benar dan terukur. Dan tentu saja, apabila kontrak politik itu dilanggarnya, ia harus rela lengser dan/atau dilengserkan. Wa Allahu a’lam.