Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mantan Ketua KPPU Minta Pemerintah Larang Predatory Pricing Ojek Online, Ini Penjelasannya

Kemenhub diminta untuk melarang aplikator transportasi ojek online (Ojol) menerapkan tarif promo berlebihan

Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Suryana Anas
TRIBUN TIMUR/MUHAMMAD FADLY ALI
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Syarkawi Rauf yang juga mantan Ketua KPPU Pusat 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diminta untuk melarang aplikator transportasi ojek online (Ojol) menerapkan tarif promo berlebihan dan mengarah pada praktik predatory pricing.

Predatory pricing merupakan strategi yang dilakukan pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar.

Dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.

Baca: Akademisi: Promo Ojol Bisa Picu Monopoli dan Beratkan Mitra Driver

Baca: Akademisi: Persaingan Tarif Ojol Kian Tak Sehat, Pemerintah Harus Awasi

Baca: Tarif Baru Ojol Dikeluhkan Warga, Begini Reaksi Pengamat

Perilaku persaingan usaha yang tidak sehat tersebut dinilai berpotensi menyingkirkan kompetitor hingga pada akhirnya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.

Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) Syarkawi Rauf yang juga Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2015-2018 menilai dua payung hukum yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bisnis transportasi online, masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh aplikator.

Dua beleid tersebut adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KP 348 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

“Dalam aturan itu ada ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen, serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Tapi tidak diatur soal promosi,” ujar Syarkawi via WhatsApp, Selasa pagi (21/5/2019).

Ia menyayangkan pemerintah tidak mengatur ketentuan pemberlakuan promosi yang bisa diberikan oleh aplikator kepada konsumennya. Pasalnya dari situ bisa muncul praktik predatory pricing.

“Misal ongkos produksinya 20, lalu aplikator jual 0. Atau kenapa dengan tarif promosi bisa diskon 100 persen, yang malah bisa menjual ke konsumen secara gratis. Istilahnya dia berani jual rugi untuk memperbesar pangsa pasar dan menyingkirkan kompetitornya,” katanya.

Praktik ini, kata Syarkawi, terindikasikan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang ‘Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat’.

Di mana, pasal 20 beleid tersebut mengatakan pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi.

Atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

Sehingga dapat menyebabkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Jika dilihat dari kacamata konsumen, Syarkawi membantah bahwa tarif promosi itu menguntungkan dalam jangka panjang.

Pasalnya, jika suatu perusahaan yang melakukan predatory pricing itu sudah berhasil menyingkirkan kompetitornya dan menjadi pemain tunggal (monopolis).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved