BMKG Deteksi Awan Kumulonimbus, Jarak Pandang di Bandara Hanya 800 Meter, 3 Pesawat Gagal Mendarat
Cuaca buruk melanda Sulawesi Selatan, termasuk Makassar, Selasa (22/1/2019).
Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Anita Kusuma Wardana
TRIBUN-TIMUR.COM-Cuaca buruk melanda Sulawesi Selatan, termasuk Makassar, Selasa (22/1/2019).
Hujan terus mengguyur sejak dini hari. Bahkan, sejumlah ruas jalan sudah tergenang.
Air danau di Universitas Hasanuddin (Unhas) juga sudah meluber hingga ke jalan raya.
Baca: Jeneponto Diprediksi Hujan Ringan Siang Hingga Malam Hari
Baca: BMKG : Toraja Diguyur Hujan Malam Hari
Baca: Bulukumba Diprediksi Hujan Ringan Sepanjang Hari
Baca: Sedia Payung, Wajo Diguyur Hujan Hingga Malam

Baca: Waspada! Air Sungai di Pangkejene Pangkep Mulai Naik
Baca: Sepanjang Hari Selayar di Guyur Hujan Ringan
Baca: Diprediksi Hujan Deras dan Angin Kencang, TRC Sidrap Siaga 24 Jam
Baca: Hujan Deras Disertai Angin Kencang Landa Polman dan Majene
Hujan juga masih mengguyur wilayah Bandara Sultan Hasanuddin Makassar di Maros.
Dikutip dari laman BMKG, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar juga sedang diguyur hujan dengan suhu mencapai 25 derajat celsius.
Pada pukul 10.00 WITA, arah angin bergerak dari Barat Laut dengan kecepatan 25.5 km/jam. Angka ini menunjukkan kecepatan angin sangat tinggi
Sementara jarak pandang hanya 800 meter. Padahal umumnya jarak pandang aman untuk penerbangan di atas 2 km.

Baca: Pengumuman CPNS Kemenag atau Kementerian Agama 2018 di Sini, Cek Namamu
Baca: Harga & Spesifikasi Xiaomi Redmi Note 7, Kamera 48 MP Harga Rp 2 Jutaan, Kapan Masuk ke Indonesia?
Baca: Fakta Baru Vanessa Angel Bisa Tersangka, Mucikari Ke-3 Ditahan Kenapa Mucikari Ke-4 Kabur?
Baca: Kenapa Prabowo Subianto Sebut Gaji Dokter Lebih Kecil dari Tukang Parkir? Reaksi IDI & Ali Ngabalin
Sementara di Bandara Pongtiku Tana Toraja terpantau berawan.
Angin bertiup dari arah selatan dengan kecepatan 5,6 km/jam. Jarak pandang cukup baik sejauh 8 km.
Kondisi di Bandara Andi Djemma Masamba, Luwu Utara tampaknya lebih baik.
Angin tercatat lebih tenang, dengan jarak pandang di atas 10 km dan cuaca juga berawan.
Dengan kondisi tersebut, Anda perlu mempertimbangkan keselamatan saat melakukan penerbangan.
Tiga Pesawat Gagal Mendarat
Cuaca buruk melanda wilayah Sulawesi Selatan, khusus Kota Makassar beberapa hari terakhir berdampak pada terganggunya aktivitas penerbangan di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Akibat hujan deras yang turun sejak kemarin malam, pagi ini dilaporkan tiga pesawat gagal mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Baca: Jeneponto Diprediksi Hujan Ringan Siang Hingga Malam Hari
Baca: BMKG : Toraja Diguyur Hujan Malam Hari
Baca: Bulukumba Diprediksi Hujan Ringan Sepanjang Hari
Baca: Sedia Payung, Wajo Diguyur Hujan Hingga Malam
Baca: Hujan dan Angin Kencang di Makassar, Ini Penjelasan Resmi BMKG Tetap Waspada 6 Daerah Lain Juga
Ketiga pesawat tersebut yakni Lion Air JT791 dari Ambon, Garuda Indonesia GA641 dari Ambon, dan Lion Air JT781 dari Palu.
Ketiga pesawat dialihkan (divert) untuk mendarat di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan.
"Pagi tadi, jarak pandang sempat turun di bawah batas minimal 800 meter, kondisi cuaca hujan deras ditambah angin kencang sehingga beberapa pesawat tak bisa mendarat, salah satunya pada pukul 08.57 Wita pesawat Lion JT791 rute Ambon ke Makassar, pilot memutuskan untuk menuju ke bandara alternatif di Balikpapan," kata GM AirNav Cabang MATSC, Novy Pantaryanto kepada Tribun Timur.
Selain pesawat Lion, pada pukul 09 06 Wita, giliran pesawat Garuda Indonesia GIA641 rute Ambon ke Makassar juga memutuskan untuk ke bandara alternatif di Balikpapan.
Sementara untuk keberangkatan, Novy mengatakan peswat di Bandara Sultan Hasanuddin menunggu cuaca dan jarak pandang membaik.
Awan Kumolonimbus
Masih dilansir dari situs bmkg.go.id, juga terpantau adanya awan Kumulonimbus di ketinggian 1.500 meter.
Tutupan awan antara 1-2 oktas (few). Artinya 25 persen luasan langit ditutupi awan.
Sementara di ketinggian 1.600 meter, tutupan awan mencapai 5-7 oktas (broken). Artiya 90 persen luasan langit ditutupi awan.
Awan kumulonimbus inilah yang paling dihindari pilot karena di dalam awan itu juga terdapat pusaran angin.
“Sangat mengerikan itu awan kumulonimbus. Kalau kita liat angin puting beliung, ekor angin itu ada di dalam Awan Kumulonimbus. Awan ini juga dapat membekukan mesin pesawat, karena di dalamnya terdapat banyak partikel-partikel es. Terdapat partikel petir dan sebagainya di dalam awan itu,” kata Novy Pantaryanto dikutip beberapa waktu lalu.

Meski Awan Kumulonimbus dianggap membahayakan bagi penerbangan, kata Novy Pantaryanto, pihaknya telah mempunyai alat radar cuaca pada rute penerbangan yang bisa melacak cuaca hingga radius 100 km.
Oleh karna itu, jika terlihat Awan Kumulonimbus pada radar, pihaknya langsung menyampaikan hal itu dan pilot akan membelokkan pesawat hingga 15 derajat.
“Tidak ada pilot yang berani menembus Awan Kumulonimbus. Jadi kita mempunyai radar cuaca dan berkoordinasi dengan BMKG sehingga data dari BMKG yang diperoleh terkait cuaca buruk akan disampaikan kepada pilot. Jadi cuaca buruk yang terjadi, aman bagi lalu lintas penerbangan,” katanya menerangkan.
Novy Pantaryanto menambahkan, Awan Kumulonimbus berada diketinggian 1.000 hingga 15.000 kaki sehingga penerbangan dengan ketinggian 30.000 hingga 40.000 kaki aman bagi pesawat.
“Jadi, lalu lintas penerbangan aman jika ada cuaca buruk yang mengancam,” katanya menambahkan.
Tragedi AirAsia QZ8501
Pesawat udara AirAsia QZ8501 yang jatuh di Laut Jawa dekat Selat Karimata pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2014, diduga disebabkan Awan Kumulonimbus.
Sebelum kecelakaan, pilot pesawat AirAsia QZ8501 Kapten Irianto, sempat meminta belok ke kiri untuk menghindari Awan Kumulonimbus pada pukul 06.17 WIB.
Semenit berselang, ATC Bandara Internasional Soekarno-Hatta kehilangan kontak dengan Irianto.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan terkait cuaca disepanjang rute yang dilalui Pesawat AirAsia yang hilang kontak tersebut.
Menurut BMKG, terdapat Awan Kumulonimbus di sekitar rute pesawat.
"Area kawasan rute penerbangan berawan dan banyak awan sepanjang rute. Ada awan Cumulonimbus juga dan ada juga awan-awan jenis lainnya," ujar Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan dan Maritim BMKG Syamsul Huda saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Minggu (28/12/2014).
Garuda Indonesia GA-421
Awan Kumulonimbus menjadi penyebab kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia GA-421.
Setelah terjebak di dalam Awan Kumulonimbus, pesawat tersebut mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, 17 Januari 2002.
Abdul Rozaq adalah pilot pesawat tersebut.
Dia mendapat pujian dunia karena bisa melakukan pendaratan darurat di atas Sungai Bengawan Solo, dengan semua penumpang selamat. D
alam insiden tersebut, satu pramugari meninggal di tengah proses mengeluarkan penumpang dari pesawat, setelah melewati Awan Kumulonimbus dan pendaratan darurat.
"Saat itu pesawat saya belum berteknologi secanggih sekarang, terutama untuk weather radar, alat yang bisa memproyeksikan kondisi cuaca di depan pesawat hingga jarak 20 mil sampai 40 mil," tutur Rozaq di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/12/2014).

Abdul Rozaq menuturkan, pada waktu itu, dia menerbangkan pesawat Boeing 737 dalam penerbangan dari Mataram ke Yogyakarta.
Ketika pesawat sudah mengarah ke Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, ujar dia, pesawat tiba-tiba berhadapan dengan CB yang sangat besar.
"Jaraknya sudah sangat dekat, sangat sulit untuk menghindar. Kalau enggak salah, di sebelah kiri restricted area, kanannya gunung-gunung, jadi mau enggak mau harus masuk ke dalam awan CB," kenang Abdul Rozaq.
Begitu sudah berada di dalam Awan Kumulonimbus, lanjut Abdul Rozaq, pesawat terguncang bahkan terpental-pental naik-turun hingga sejauh 500 kaki.
Prosedur penerbangan darurat pun langsung diaktifkan, termasuk menyampaikan kepada penumpang untuk duduk dan mengenakan sabuk keselamatan, serta berkoordinasi dengan menara pengatur lalu lintas udara (ATC) terdekat.
Namun, tak berselang lama sejak masuk ke dalam CB, mesin kedua di pesawat itu mati karena membeku terkena imbas Awan Kumulonimbus.
Komunikasi dengan ATC pun terputus. Selama beberapa waktu, pesawat terbang tanpa kepastian dan tak tahu kondisi lalu lintas udara di sekitarnya.
"Kami restart mesin, tetapi tidak berhasil. Kopilot teriak mayday, mayday, mayday. Saat itu sudah pasrah dan berdoa saja. Kemungkinan terjelek, kami semua mati," tutur Abdul Rozaq.
Mayday adalah kode yang menyatakan kondisi darurat dalam dunia transportasi internasional, terutama penerbangan.
Menurut Abdul Rozaq, ketinggian pesawat juga sudah turun dari area jelajah 30.000 kaki menjadi 20.000 kaki, dan sudah semakin dekat dengan Bandara Adisutjipto.
Perlahan pesawat melewati Awan Kumulonimbus, dan daratan mulai terlihat, tetapi pesawat tak pada posisi bisa langsung mendarat di bandara tujuan.
Dari semua pilihan yang membentang di depannya, Rozaq memutuskan mendarat di permukaan Sungai Bengawan Solo.
"Masih dengan tangan gemetar dan shock, saya coba memberi tahu petugas terdekat (dari lokasi pendaratan darurat)," kata dia.(*)