Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Prof Abrar Saleng Sebut 'Rincik Coca-Cola' Jadi Modus Mafia Tanah

Guru Besar Universitas Hasanuddin yang juga Ahli Hukum Agraria/Pertanahanan, Prof Abrar Saleng meminta masyarakat yang akan membeli tanah

Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Waode Nurmin
MUH ABDIWAN
Guru Besar Universitas Hasanuddin yang juga Ahli Hukum Agraria/Pertanahanan, Prof Abrar Saleng (kedua dari kiri) berbicara pada acara Tribun Nongki, di kantor Tribun Timur, Jl Cemdrawasih No 430 Makassar, Selasa (4/12/2018). 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru Besar Universitas Hasanuddin yang juga Ahli Hukum Agraria/Pertanahanan, Prof Abrar Saleng meminta masyarakat yang akan membeli tanah agar lebih berhati-hati agar tak bermasalah dengan hukum.

Menurutnya, masyarakat harus berhati-hati karena saat ini banyak mafia tanah, sehingga ia menyarankan mengecek terlebih dahulu ke badan Pertnahan Nasional (BPN) sebelum transaksi jual-beli tanah.

"Kalau mau beli tanah, sebaiknya masyarakat berhati-hati, yang paling tahu tentang tanah itu adalah BPN, jadi sebaiknya cek terlebih dahulu statusnya di sana," kata Abrar Saleng dalam acara Tribun Nongki, di kantor Tribun Timur, Jl Cemdrawasih No 430 Makassar, Selasa (4/12/2018).

Abrar mencontohkan salah satu yang biasanya dipakai mafia tanah adalah rincik "Coca-Cola".

Rincik Coca-Cola yang dimaksud Abrar adalah, rincik yang baru dibuat namun direndam ke dalam minuman soda Coca-cola agar terlihat seperti rincik lama, dan bisa dipakai oknum tertentu untuk sengketa tanah.

Rincik alias Surat Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 yang merupakan salah satu bukti pemilikan yang berdasarkan penjelasan pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 merupakan bukti pemilikan atas pemegang hak lama. 

Rincik merupakan istilah yang dikenal di beberapa daerah seperti Makassar dan sekitarnya, namun rincik memiliki nama atau sebutan yang berbeda-beda di berbagai daerah.  

Sebelum diberlakukannya UUPA, rincik memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi setelah berlakunya UUPA, rincik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah, namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah, dan terakhir dengan adanya UU No 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Rincik sendiri, dapat dijadikan alat untuk membuktikan penguasaan dan penggunaan seseorang terhadap tanah yang dikuasai, sehingga jika tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, rincik tidak mutlak dijadikan alat bukti hak milik atas tanah, melainkan hanya penguasaan dan penggunaan atas tanah.
"Di daerah itu yang banyak yang berkasus rincik lawan rincik, tapi sekarang ada yang namanya rincik Coca-Cola, maksudnya ini rincik baru dibikin tapi disiram Coca-Cola maka kelihatan sudah lama. Tapi ada alat uintuk membuktikan ini, dan polisi pernah menemukan ada yang memproduksi," ungkapnya.

Abrar mengatakan, saat ini orang-orang khususnya hakim tak bisa membedakan mana hukum tanah adat, mana hukum tanah nasional. 

"Dulu ada dualisme antara hukum tanah adat dan Belanda, sekarang UU Agraria ada satu hukum saja yang dipakai yaitu UU Pokok Agraria, tapi faktanya kembali lagi dualisme, hukum adat dan PA (Pokok Agraria) , dan pasti yang dipakai di pengadilan adalah hukum PA apalagi kalau bukan hakim kita dari sini," imbuhnya.

"Kalau hakim kita dari sini yang paham hukum adat, rincik, dan lain sebagainya pasti juga mengambil dari hukum adat. makanya jangan heran kalau ada sertipikat yang kalah oleh rincik, dan ini tidak salah karena dasar hukum agraria kita hukum adat," pungkasnya. (*)

Lebih dekat dengan Tribun Timur, subscribe channel YouTube kami: 

Follow juga akun instagram official kami: 

ii
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved