Gubernur Sulsel Harap 210 Pengungsi Rohingya Tetap Tenang dan Jangan Picu Keributan
Seperti sikap dan response kita sejak 7 tahun terakhir, kita berempati, menerima dan menampung para pengungsi Rohingya di Sulsel, sikap itu tak beruba
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Ardy Muchlis
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo (62 tahun), kembali mengungkapan simpatinya atas tragedi kemanusiaan bagi warga Rohingya menyusul konflik sektarian berdarah di Provinsi Rokhine, barat Myanmar, sepekan terakhir.
"Seperti sikap dan response kita sejak 7 tahun terakhir, kita berempati, menerima dan menampung para pengungsi Rohingya di Sulsel, sikap itu tak berubah sampai sekarang," ujar Syahrul kepada Tribun, usai menghadiri soft opening kedai Kopi Legacy di Jl Onta Lama, Mamajang, Makassar, Minggu (3/9/2017) sore.
Baca: VIDEO: Syahrul YL Bicara Soal Etnis Rohingya
Menurut gubernur empati Yang diberikan pemerintah itu, dengan member izin sekitar 210 pengungsi (87 kepala keluarga), yang bermukim di setidaknya 6 rumah penampungan di Kota Makassar pasca konflik besar pertama di Rakhine, 2012 silam.
"Melalui Dinas sosial, pemerintah Kota, Kita terus berkoordinasi dengan UNHCR dan IOM untuk menjaga mereka, tapi kalau mereka bikin ricu, demo sampai disetting chaos di Makassar, disitu kami terganggu, menumpanglah disini tapi yang damai, jangan bikin ricu," ujar Syahrul.
International Organization for Migration (IOM) adalah lembaga nirlaba yang "dikontrak", PBB melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), untuk program penampingan pengungsi lintas negara.
Akhir Juli 2017 lalu, sekitar 200-an pengungsi dari Rakhine, menggelar aksi protes di kantor perwakilqn UNHC di Menara Bosowa, Jl Jenderal Sudirman, pusat kota Makassar.

Aksi yang awalnya berjalan tentram itu berubah "chaos" karena ada kelompok pemuda Rohingya yang memaksa Naik ke lantai 22 Menara Bosowa, untuk bertemu pimpinan UNHCR dan IOM wilayah Sulawesi.
Aparat Polrestabes Makassar pun menangkap dan menggelandang 18 pria yang dianggap provokator itu ke kantor polisi.
Mereka menuntut perhatian dari komisioner Tinggi PBB untuk pengungsi UNHCR dan mitranya IOM, merealisasikan janji mereka untuk mengevakuasi mereka ke negara ketiga, dan negara tujuan mereka di Australia.
Baca: 6 Fakta Mengerikan Ashin Wirathu, Pembenci Rohingya dan Dalang Gerakan Anti-Islam di Myanmar
Selama tujuh tahun mereka tinggal di Makassar tanpa status yang jelas.
Mereka mengku sudah jengah dengan janji-janji dari UNHCR untuk bisa memberikan mereka penghidupan yang layak. UNHCR menjanjikan mereka segera diberangkatkan ke negara ketiga dalam dua atau tiga tahun.
Sejak 2011 lalu, secara bertahap mereka ingin mencaruli suaka dan memulai kehidupan normal di negeri Kangguru itu.
Namun, regulasi terbaru Australia melarang pencari suaka dan manusia perahu masuk ke negara mereka. Akhirnya mereka ditampung sementara di sejumlah Provinsi di Indonesia, bersama 1000-an pengungsi dari Eropa Timur dan negara-negara Timur tengah.
