Opini Prof Andi Adri Arief
Refleksi Hari Maritim Nasional: Menggugat Imajinasi Bangsa, dari Agraris Menuju Maritim
Selama laut masih dianggap sebagai halaman belakang, Indonesia akan terus berjalan pincang
Imajinasi yang Masih Keliru
Bangsa ini masih mengimajinasikan dirinya sebagai negara agraris. Sawah, ladang, dan gunung seolah menjadi simbol tunggal dari identitas nasional. Padahal, fakta geopolitik dan geografi berbicara lain: lebih dari 70 persen wilayah Indonesia adalah laut, dengan garis pantai mencapai 95 ribu kilometer—terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Ironisnya, laut justru direduksi hanya sebagai panorama pariwisata, batas pemisah antarpulau, atau ruang kosong yang belum dioptimalkan. Padahal, nenek moyang bangsa ini adalah pelaut ulung, penjelajah samudera, sekaligus pedagang rempah yang jauh sebelum Jalur Sutera telah menghubungkan kepulauan Nusantara dengan India, Timur Tengah, hingga Eropa.
Pertanyaan mendasarnya: sampai kapan bangsa ini membiarkan imajinasi agraris mengekang potensi maritimnya?
Potensi Maritim: Masa Depan yang Terabaikan
Data terkini menunjukkan betapa besarnya peluang maritim Indonesia yang kerap diabaikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2024 mencatat bahwa potensi lestari perikanan tangkap Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun, namun yang baru termanfaatkan hanya sekitar 7,2 juta ton. Artinya, masih ada lebih dari empat juta ton peluang produksi yang belum tergarap.
Dalam bidang budidaya, Indonesia bahkan berdiri sebagai salah satu raksasa dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2023 mencatat produksi perikanan budidaya Indonesia mencapai 16,2 juta ton, menjadikannya produsen terbesar kedua setelah Tiongkok.
Lebih jauh lagi, sektor ekonomi maritim secara keseluruhan telah menyumbang lebih dari Rp1.400 triliun atau sekitar kurang lebih 7 persen PDB nasional pada 2023, dengan proyeksi meningkat hingga 15 persen pada 2045 apabila kebijakan maritim diperkuat dan dikelola secara berkelanjutan.
Namun angka-angka tersebut justru menyingkap paradoks besar. Alih-alih dipandang sebagai pusat pangan dan energi masa depan, laut masih sering dilihat sebatas arena eksploitasi. Ikan dijadikan komoditas ekspor, tetapi nelayan tetap miskin.
Tambak udang memang tumbuh pesat, tetapi di sisi lain ekologi pesisir rusak dan rentan terhadap krisis ekologis.
Dari kacamata sosiologi perikanan, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk kekerasan struktural: laut menghasilkan surplus ekonomi dalam skala nasional, tetapi masyarakat pesisir yang menjadi aktor utama tetap berada di pinggir, termarjinalkan dari hasil pembangunan.
Mengubah Mindset: Dari Darat ke Laut
Perubahan mindset maritim bukanlah sekadar jargon politik yang muncul dalam pidato seremonial, melainkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar. Laut harus dipahami kembali sebagai sumber pangan sekaligus energi bagi bangsa.
Mengutamakan ikan sebagai protein pokok jauh lebih sehat dan berkelanjutan ketimbang mempertahankan ketergantungan pada beras yang terus dipelihara dalam imajinasi agraris.
Dari sisi geopolitik, urgensi kesadaran maritim semakin nyata. Lebih dari 40 persen perdagangan global melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Jalur ini ibarat nadi yang menghubungkan peredaran logistik dunia, tetapi tanpa mindset maritim yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri, sementara negara lain berlomba menguasai armada, teknologi, dan rantai pasok maritim.
Viral Wanita Muda di Jl Lembo Makassar Terkena Busur saat Hendak Beli Bakso, Anak Panah di Leher |
![]() |
---|
Kursi Wahyudin Muridu di DPRD Gorontalo Kosong, Sosok Calon Kuat PAW Terungkap |
![]() |
---|
Listrik Disdikbud Jeneponto Diputus ASN Mabuk, Kantor Gelap Gulita |
![]() |
---|
Bripka Mahir 'Kembali ke Jalan Benar' Sabet Penghargaan di HUT Korlantas Polri |
![]() |
---|
DPR RI Siap Cecar Kemendagri Soal Peraturan Presiden Ubah IKN Jadi Ibukota Politik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.