Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Prof Andi Adri Arief

Refleksi Hari Maritim Nasional: Menggugat Imajinasi Bangsa, dari Agraris Menuju Maritim

Selama laut masih dianggap sebagai halaman belakang, Indonesia akan terus berjalan pincang

Editor: AS Kambie
Ist
PENULIS OPINI - Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi, Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto ini diterima Tribun-Timur.com dari Prof Andi Adri Arief pada September 2025 untuk keperluan identitas penulis Opini Tribun Timur. 

Imajinasi yang Masih Keliru

Bangsa ini masih mengimajinasikan dirinya sebagai negara agraris. Sawah, ladang, dan gunung seolah menjadi simbol tunggal dari identitas nasional. Padahal, fakta geopolitik dan geografi berbicara lain: lebih dari 70 persen wilayah Indonesia adalah laut, dengan garis pantai mencapai 95 ribu kilometer—terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Ironisnya, laut justru direduksi hanya sebagai panorama pariwisata, batas pemisah antarpulau, atau ruang kosong yang belum dioptimalkan. Padahal, nenek moyang bangsa ini adalah pelaut ulung, penjelajah samudera, sekaligus pedagang rempah yang jauh sebelum Jalur Sutera telah menghubungkan kepulauan Nusantara dengan India, Timur Tengah, hingga Eropa.

Pertanyaan mendasarnya: sampai kapan bangsa ini membiarkan imajinasi agraris mengekang potensi maritimnya?

Potensi Maritim: Masa Depan yang Terabaikan

Data terkini menunjukkan betapa besarnya peluang maritim Indonesia yang kerap diabaikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2024 mencatat bahwa potensi lestari perikanan tangkap Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun, namun yang baru termanfaatkan  hanya sekitar 7,2 juta ton. Artinya, masih ada lebih dari empat juta ton peluang produksi yang belum tergarap.

Dalam bidang budidaya, Indonesia bahkan berdiri sebagai salah satu raksasa dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2023 mencatat produksi perikanan budidaya Indonesia mencapai 16,2 juta ton, menjadikannya produsen terbesar kedua setelah Tiongkok.

Lebih jauh lagi, sektor ekonomi maritim secara keseluruhan telah menyumbang lebih dari Rp1.400 triliun atau sekitar  kurang lebih 7 persen PDB nasional pada 2023, dengan proyeksi meningkat hingga 15 persen pada 2045 apabila kebijakan maritim diperkuat dan dikelola secara berkelanjutan.

Namun angka-angka tersebut justru menyingkap paradoks besar. Alih-alih dipandang sebagai pusat pangan dan energi masa depan, laut masih sering dilihat sebatas arena eksploitasi. Ikan dijadikan komoditas ekspor, tetapi nelayan tetap miskin.

Tambak udang memang tumbuh pesat, tetapi di sisi lain ekologi pesisir rusak dan rentan terhadap krisis ekologis.

Dari kacamata sosiologi perikanan, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk kekerasan struktural: laut menghasilkan surplus ekonomi dalam skala nasional, tetapi masyarakat pesisir yang menjadi aktor utama tetap berada di pinggir, termarjinalkan dari hasil pembangunan.

Mengubah Mindset: Dari Darat ke Laut

Perubahan mindset maritim bukanlah sekadar jargon politik yang muncul dalam pidato seremonial, melainkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar. Laut harus dipahami kembali sebagai sumber pangan sekaligus energi bagi bangsa.

Mengutamakan ikan sebagai protein pokok jauh lebih sehat dan berkelanjutan ketimbang mempertahankan ketergantungan pada beras yang terus dipelihara dalam imajinasi agraris.

Dari sisi geopolitik, urgensi kesadaran maritim semakin nyata. Lebih dari 40 persen perdagangan global melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Jalur ini ibarat nadi yang menghubungkan peredaran logistik dunia, tetapi tanpa mindset maritim yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri, sementara negara lain berlomba menguasai armada, teknologi, dan rantai pasok maritim.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved