Opini
Aktivisme Digital dan Demokrasi
Hubungan antara demokrasi dan teknologi menjadi salah satu isu penting dalam wacana politik kontemporer.
Penulis: Yulianto Ardiwinata
Pekerjaan: Komisioner Bawaslu Pangkep 2023-2028
TRIBUN-TIMUR.COM - Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam dua dekade terakhir telah membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam ranah demokrasi.
Hubungan antara demokrasi dan teknologi menjadi salah satu isu penting dalam wacana politik kontemporer.
Perkembangan teknologi informasi membawa kontradiksi terhadap kualitas demokrasi.
Teknologi informasi menjadi pisau bermata dua dalam perkembangan demokrasi.
Di satu sisi, teknologi menawarkan peluang besar untuk memperluas partisipasi politik, mempercepat penyebaran informasi, memperkuat kontrol masyarakat terhadap pemerintah, dan meningkatkan transparansi pemerintahan.
Namun, di lain sisi, teknologi juga membawa ancaman serius terhadap kualitas demokrasi melalui disinformasi, polarisasi opini publik, hate speech, black propaganda serta ancaman terhadap privasi dan integritas data.
Teknologi, khususnya internet dan media sosial, telah mengubah secara mendasar cara warga negara berpartisipasi dalam berdemokrasi.
Jika dalam model demokrasi tradisional partisipasi terbatas pada kehadiran fisik dalam forum politik, diskursus politik maupun aktivisme digital, kini partisipasi politik dapat dilakukan secara virtual, cepat, dan lintas batas geografis.
Melalui media sosial, blog, forum daring , dan aplikasi digital, warga dapat menyuarakan pendapat, mengorganisasi gerakan sosial, melakukan kampanye, serta mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah secara langsung.
Tentu saja ini bisa memperkecil jarak antara pemerintah dan rakyat, memperkuat posisi masyarakat sebagai aktor aktif dalam proses politik, serta membuka ruang baru untuk dialog dan deliberasi publik yang lebih dinamis.
Tidak hanya memperluas ruang dialog, teknologi juga memungkinkan inovasi dalam tata kelola pemerintahan melalui konsep e-government dan e-participation.
Namun demikian, seiring dengan realitas masyarakat tersebut, muncul pula berbagai ancaman serius terhadap kualitas demokrasi akibat perkembangan teknologi.
Salah satunya adalah maraknya disinformasi dan penyebaran hoaks di ruang digital.
Kemudahan distribusi informasi tanpa verifikasi ketat membuat ruang publik menjadi rentan terhadap manipulasi fakta dan propaganda politik yang menyesatkan.
Disinformasi ini tidak hanya mengacaukan opini publik, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi, memperburuk polarisasi politik, dan mengganggu stabilitas sosial.
Media Sosial Sebagai Ruang Baru Demokratisasi
Dalam beberapa dekade terakhir, media sosial telah berkembang menjadi salah satu kekuatan utama dalam membentuk dinamika politik global.
Platform-platform media sosial membuka ruang baru bagi individu dan kelompok untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Media sosial tidak hanya memungkinkan pertukaran informasi secara cepat dan luas, tetapi juga berfungsi sebagai saluran untuk menyuarakan pendapat, mengorganisir protes, dan memobilisasi dukungan dalam berbagai kampanye politik, dengan kata lain, media sosial telah menjadi alat demokratisasi yang memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik yang lebih inklusif dan terbuka.
Salah satu dampak positif yang paling terlihat dari media sosial dalam konteks partisipasi politik adalah kemampuannya untuk mengurangi hambatan komunikasi antara warga negara dan pejabat publik.
Sebelumnya, partisipasi politik dalam banyak kasus terbatas pada ruang-ruang fisik seperti rapat umum atau pertemuan partai politik.
Namun, melalui media sosial, warga negara dapat dengan mudah mengakses informasi politik, mengajukan pertanyaan kepada pejabat, serta menanggapi kebijakan publik secara langsung.
Hal ini memungkinkan dialog yang lebih terbuka dan partisipatif, yang pada gilirannya dapat memperkaya kualitas demokrasi.
Data Reportal (2025) Digital 2025 : Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 143 juta pengguna media sosial, yang mencakup 50,2 persen dari total populasi dan pengguna media sosial ini aktif dalam berbagai aktivitas, termasuk menyebarkan informasi baik melalui postingan pribadi maupun dalam bentuk grup atau komunitas.
Tantangan Regulasi dan Etika
Untuk mengatasi potensi manipulasi opini publik yang terjadi melalui platform digital dibutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berbasis pada regulasi yang ketat namun tidak mengabaikan prinsip kebebasan berbicara.
Pemerintah, penyedia platform, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem digital yang mendukung demokrasi yang sehat dan adil.
Regulasi yang lebih tegas mengenai transparansi algoritma, penyebaran informasi palsu, serta pengawasan terhadap buzzer atau penggerak opini sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak negatif dari manipulasi ini.
Namun, regulasi ini juga harus dimbangi dengan prinsip-prinsip etika yang menjaga kebebasan berbicara dan hak individu untuk mengakses informasi.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak menghalangi ruang untuk diskusi terbuka yang konstruktif, tetapi justru memberikan kerangka untuk mencegah penyalahgunaan teknologi digital untuk kepentingan politik sempit. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.